
Ada satu hal yang selalu saya cari setiap kali berkunjung ke Singapura atau Malaysia — bukan mal megah, bukan destinasi wisata populer, tapi sebuah tempat sederhana yang aromanya sudah akrab sejak langkah pertama: kopitiam. Tempat di mana cangkir keramik putih pucat, roti kaya panggang yang aromanya menguar ke udara, dan percakapan hangat bercampur dengan suara sendok beradu di gelas teh tarik.
Bagi saya, kopitiam bukan sekadar kedai kopi. Ia adalah ruang sosial yang menyatukan orang dari berbagai latar belakang — pekerja kantoran yang tergesa mengejar kereta MRT, kakek yang membaca koran pagi, hingga turis yang mampir karena didorong rasa ingin tahu. Ada keintiman khas di sana, perpaduan budaya Tionghoa, Melayu, dan kolonial Inggris yang kemudian melahirkan satu identitas: Peranakan taste of life.
Kopitiam: Lebih dari Sekadar Tempat Minum Kopi
Kata kopitiam sendiri berasal dari dua kata: “kopi” (bahasa Melayu) dan “tiam” (bahasa Hokkien yang berarti ‘kedai’). Dari sinilah lahir tradisi minum kopi gaya Peranakan yang unik — kopi robusta disangrai dengan margarin, diseduh kental, lalu dituang ke dalam cangkir porselen. Biasanya ditemani roti panggang isi selai kaya (santan dan telur) serta telur setengah matang.

Saya lupa kapan tepatnya saya mencicipi kopi tarik dan teh tarik untuk pertama kalinya, entah di Singapura atau Malaysia. Namun, di mana pun saya menikmatinya—bandara, kedai makan, kopitiam, hawker center, atau hostel tempat saya menginap—kopi/teh tarik selalu memiliki paduan yang pas antara manis, pahit, dan kental. Ia tak pernah gagal mengembalikan kembali energi yang sudah terkuras.
Dari kebiasaan itulah saya kemudian punya satu “ritual pribadi”: setiap kali bepergian ke kota baru dengan budaya melayu, saya selalu mencari kopitiam terdekat. Entah melalui Google Maps, rekomendasi lokal, atau sekadar berjalan tanpa arah sampai aroma kopi tua itu menuntun saya. Palembang, Bangka, dan Pontianak adalah contoh beberapa kota tempat saya menumpas rindu dengan suasana kopitiam di Indonesia.
Ada sesuatu yang terapeutik dari suasana kopitiam. Ia tidak menuntut kita untuk terlihat keren seperti kafe modern, tidak juga memaksa kita memotret setiap sajian untuk Instagram.
Kopitiam hanya meminta satu hal: hadir sepenuhnya.
Duduk, dengarkan cerita orang lain, atau sekadar menikmati momen ketika busa teh tarik perlahan turun sebelum tegukan pertama sambil melihat dunia terus bergerak di depan mata.
Bagi saya, kopitiam adalah tempat beristirahat dari ambisi. Mungkin karena di sanalah budaya “perlambatan” masih hidup — sesuatu yang semakin langka di kota besar seperti Jakarta. Namun, selama ini, mencari pengalaman kopitiam yang autentik di Jakarta masih seperti mencari kenangan lama: sulit ditemukan. Beberapa tempat memang mengusung nama “kopitiam”, tapi lebih terasa seperti kafe tematik daripada ruang peranakan yang hangat.
Amah Kopitown: Upaya Menghadirkan Kembali Semangat Itu
Maka ketika saya mendengar kabar bahwa akan ada tempat baru bernama Amah Kopitown yang segera hadir di Jakarta, rasa penasaran saya langsung muncul.
Nama “Amah” sendiri memberi kesan yang akrab. Dalam budaya Tionghoa-Peranakan, amah berarti ibu, sosok yang sabar, penuh perhatian, dan menjadi penjaga tradisi keluarga. Dan “Kopitown” memberi sentuhan modern yang menandakan bahwa tempat ini ingin merangkul generasi baru penikmat kopi.

Meskipun keberadaannya di dunia digital masih minim — bahkan di Google Maps belum muncul — saya justru melihatnya sebagai sesuatu yang menarik. Sebuah kedai yang belum ramai, tapi siap memperkenalkan dirinya perlahan kepada publik. Seperti biji kopi yang baru disangrai: aromanya belum menyebar jauh, tapi potensinya jelas terasa.
Dari beberapa bocoran yang saya dapat, Amah Kopitown akan mengusung nuansa klasik dengan desain interior khas kopitiam: meja marmer, kursi rotan, cangkir porselen, dan tentu saja aroma kopi robusta yang kuat. Belum banyak informasi soal menunya, tapi bisa dibayangkan akan ada roti kaya, telur setengah matang, teh tarik, dan kopi O — menu wajib bagi pecinta kopitiam sejati.
Dan jika benar Amah Kopitown akan berlokasi strategis di pusat kota Jakarta, maka ini bisa menjadi jawaban baru bagi pencarian “kopitiam terdekat” untuk warga sekitar Pantai Indah Kapuk, Pluit, hingga Sunter yang rindu suasana nostalgia tapi tak ingin jauh-jauh ke luar negeri hanya untuk secangkir kopi dan teh tarik otentik.
Kenapa Kopitiam Masih Relevan di Era Modern
Bagi sebagian orang, mungkin sulit memahami kenapa konsep sederhana seperti kopitiam masih menarik di tengah menjamurnya coffee shop modern. Tapi justru di situ letak kekuatannya.
Kopitiam bukan hanya tentang minuman, tapi tentang cerita.
- Di sana, obrolan ringan bisa berubah jadi diskusi panjang.
- Seorang pekerja bisa merasa “pulang” sejenak di tengah kesibukan kota.
- Anak muda bisa menemukan inspirasi, tanpa tekanan untuk tampil “produktif.”
Bagi saya pribadi, ada kepuasan tersendiri saat menemukan kopitiam terdekat yang benar-benar memahami esensi itu. Tempat di mana wangi kopi, keramahan pelayan, dan suara sendok di gelas bisa menenangkan lebih dari sekadar kafe berkonsep industrial.
Kehangatan yang Ingin Dibawa Amah Kopitown
Kalau melihat arah branding-nya, Amah Kopitown tampaknya ingin menjadi lebih dari sekadar tempat minum kopi. Ia ingin menjadi ruang nostalgia yang hidup kembali di Jakarta, tempat kita bisa kembali mengingat masa di mana percakapan lebih penting dari notifikasi.

Bayangkan datang di pagi hari, memesan kopi susu kental, melihat embun di kaca, lalu mendengar pelayan memanggil dengan logat peranakan yang khas. Itu bukan sekadar pengalaman kuliner, itu pengalaman budaya. Di tengah semakin cepatnya ritme hidup kota besar, kehadiran tempat seperti ini sangat dibutuhkan.
Bagi saya, Amah Kopitown berpotensi menjadi jembatan antara generasi — tempat anak muda bisa menikmati cita rasa lama tanpa merasa “tua”, dan generasi yang lebih dewasa bisa menemukan kenangan lama dalam suasana baru. Mungkin, dalam hidup yang serba cepat ini, kita memang butuh ruang seperti kopitiam — tempat sederhana yang mengingatkan kita untuk melambat, mendengarkan, dan merasa cukup.
Ketika saya menulis ini, saya belum tahu kapan tepatnya Amah Kopitown akan buka. Tapi saya tahu pasti: saya akan datang. Karena di balik setiap cangkir kopi dan teh tarik, selalu ada cerita, dan saya ingin menjadi bagian dari cerita pertama yang diseduh di sana.

Cari kopitiam terdekat di Jakarta yang membawa kamu kembali ke suasana klasik Asia Tenggara? Amah Kopitown akan segera membuka pintunya — dan mungkin, di sanalah cerita kopimu berikutnya dimulai. Terima kasih sudah membaca, keep learning by traveling~













