Agenda utama untuk hari pertama di Singapore adalah jalan-jalan menyusuri Singapore River dari Raffles sampai Marina Bay. Hari sudah sore saat kami tiba di Tresor Tavern Hostel di Jalan Besar 243, Little India. Nggak lama setelah istirahat, kami langsung memutuskan untuk bergerak, tak ingin kehilangan banyak waktu di negeri mungil ini. Sebenernya sih gue pengen langsung ke Raffles naik MRT, tapi Al semangat banget buat jalan menyusuri kota ini. Baiklah, misi jalan kaki dari Little India menuju Raffles Place resmi dimulai! #Priiittt!!!
Untuk beberapa menit pertama, kami melalui daerah Little India tempat hotel kami berada, dari Kitchener Road sampai Serangoon Road. Little India adalah daerah yang terbilang kotor untuk Singapura, dengan lembar-lembar kertas dan beberapa sampah plastik tertebar acak di trotoar dan pinggir jalan. Orang-orang berkulit keling dan bermata lebar hilir mudik di berbagai sudut, sementara aroma khas bunga-bungaan menguar dari setiap toko yang berjejal di sepanjang jalan. Lantunan musik India menghentak keras dari beberapa toko, dan tubuh ini serasa ingin bergoyang itik ala Zaskia Gothik. Untung gue bisa menahan diri, karena sebenernya gue juga masih sedikit inget koreografi beberapa lagu India (sebutlah Bole Chudiyan) yang gue gandrungi semasa SMP #eh #ketauandeeehhhh
Hiasan berwarna-warni tergantung di awang-awang, melintang di sepanjang jalan. Sementara itu, kami juga berjalan melalui stand-stand murah ala pasar kaget yang disesaki oleh kaum serumpun itu. Rupanya mereka lagi (atau baru aja?) merayakan Hari Diwali, atau Deepavali. Agak tepat juga ‘nih momen kedatangan gue ke Singapore 🙂
Tak lama setelah kami berjalan menyusuri Selegie Road, rasa-rasanya perut gue udah nggak tahan lagi. Kebetulan, tepat di persimpangan jalan di dekat Beacon International College, ada sebuah kedai makan chinese yang kelihatannya sih nggak mahal-mahal amat. Kami memutuskan untuk mampir. Dilihat dari daftar menunya sih, harganya standar, sekitar 3-5 SGD. Bolehlah. Gue menjatuhkan pilihan pada Rendang Cumi dan teh Cina dengan es dan gula, sementara Al — laper mata — memesan rendang ayam dan nasi campur. Kami agak kesulitan berkomunikasi dengan sang waitress. Kalau kata Al sih, dia itu bahasa Inggris nggak bisa, tapi bahasa Cina juga nggak becus, hahaha. Harus pakai bahasa isyarat kali. Misalnya, “fried rice” aja dilafalkan “falasa” #gubrakkk
Pesanan dataaanggg. Saatnya mencicipi bagaimana rasa rendang ala Singaporean ini, dan ternyata… agak aneh! Ehehe. Bumbunya agak berbeda dengan rendang asli Padang, warnanya juga sedikit kemerahan, dan pedesss! Cumi pesanan gue… kayak debat anggota DPR gitu deeehhh, ALOT! Tapi rendang ayamnya empuk, kayaknya udah direbus dulu sebelum diolah. Gula untuk chinese tea gue dikit banget, nyaris terasa hambar seperti air putih dingin. Oh iya, kalau tadi gue nggak bilang minta gula, si pelayannya nggak bakal kasih gula lho. Es batunya juga disajikan terpisah. Rempongisasiii!
Makanan sudah tandas, dan tiba saatnya kami harus membayar. Nah, ini nggak tahu deh, entah kita yang nggak teliti cek harga atau apa, tapi ujung-ujungnya kami harus membayar 23 SGD untuk makan siang kami #nyesek #langsungmendadakmiskin. Gue agak sedikit berharap kembaliannya ditambahin yaaa. Mungkin setiap pesanan ada tambahan kali ya, seperti es batu dan gula pasir.
Sebelum melanjutkan perjalanan, Al yang terobsesi dengan pendidikan menyempatkan diri untuk mampir ke Beacon International College, sekedar tanya-tanya ada jurusan apa aja di situ. Dia sih berencana ambil Master Hukum di NUS (National University of Singapore) atau SMU (Singapore Management University). Gue? Memanfaatkan kesempatan ini untuk jepret-jepret lingkungan di sekitar kampus, terutama Tamil Methodist Church X))
Kami kembali meneruskan perjalanan kami ke Barat mencari kitab suci, melalui jalanan Singapura yang bersih, mulus, teraspal sempurna, tertib, dan bebas macet. Despite that Singapore is a modern city, kota ini tetap hijau dengan taman-taman kota yang ada di hampir setiap jalan dan pepohonan rindang yang mengapit jalanan. Jadi, meski bersuhu tropis, tetep asyik jalan kaki menyusuri kota berkat keteduhan pohon-pohon itu 🙂
Nanti gue akan buat post khusus yang berisi foto-foto jalanan Singapura yang saya lewati 😀
Kami sampai di sebuah bangunan menarik bernama Singapore Art Museum. Kami coba masuk, dan untunglah buka. Seorang petugas museum, bapak-bapak beretnis Cina, memberi kami sebuah peta. Banyak tanda X di situ. Nggak banyak yang bisa kami dapet, entah emang banyak yang ditutup atau kami yang kurang mblusuk-blusuk. Beberapa menit kemudian, kami udah keluar lagi 😀
Berkat petunjuk dari seorang pemuda chinese yang stylish dan masih brondong, kami berhasil menemukan tempat tujuan kami. Beberapa menit berjalan, melalui trotoar kota yang lebar dan nyaman, kami tiba di Gedung Parlemen Singapura. Itu berarti kami sudah akan sampai di Singapore River.
Gue dan Al udah aja mau foto-foto ngeksis di depan gedung parlemen itu, tapi keburu diserobot sepasang turis India paruh baya. Bapak itu seenak jidat berpose di atas rumput, padahal kelihatannya… rumputnya nggak boleh diinjak.
Tak lama kemudian, kami sudah sampai di Eldin Bridge, salah satu jembatan kuno yang masih terawat, melintang di atas Singapore River yang besar dan bersih. Sama sekali tak ada sampah terlihat di Singapore River, pun bau menyengat yang biasa menguar dari sungai-sungai di Jakarta. Kapal-kapal river cruise yang dipenuhi penumpang hilir mudik dengan nyaman. River walk-nya lebar, warga lokal menggunakannya untuk jogging atau jalan-jalan sore. Salut banget sama semangat hidup sehat mereka.
Lihat pasangan berbaju biru dan bergaun putih itu? Nah, gue ceritain aja, mereka di situ berduaan nggak kenal gengsi. Dari yang hanya gombal-gombal lucu, lalu si cewek meraba-raba dan colek-colek pantat cowoknya bikin gue pengen, dan akhirnya berciuman. Berciuman! Yah, mungkin di sana udah biasa kali ya, udah nggak ada yang peduli. Coba di Indonesia, bisa langsung dikeroyok warga satu kelurahan.
Setelah beberapa saat duduk-duduk galau menghadap Singapore River yang berkilauan tertimpa cahaya emas matahari sore, kami kembali melangkah. Sebentar kemudian, tampak The Fullerton Hotel yang historis nan anggun, menyapa kami bersama sebuah jembatan lain yang tak kalah indahnya: Cavenagh Bridge. Sementara di sisi yang lain, berdiri Asean Civilization Museum dan sebuah taman tempat patung Raffles dan patung-patung lain berada.
(Oh ya, pasangan turis India tadi juga ikut-ikutan duduk di pinggir sungai loh. Curiga mereka nguntit kita)
Berbeda dengan Eldin Bridge yang bisa dilalui kendaraan, Cavenagh Bridge hanya dilalui pejalan kaki. Indah banget ya pemandangan di atas? Meski agak redup karena kualitas handycam gue yang kurang oke, tapi keindahannya tetap mempesona. Bagai lukisan abstrak yang tergores di atas lembar kanvas raksasa. Gue tetep seneng ngelihatinnya, dan semoga temen-temen juga suka 🙂
[…] sempet gue jamah tahun lalu, dengan menyelipkan beberapa destinasi utama seperti Marina Bay dan Singapore River untuk temen […]
[…] Air Asia, aku dapat melihat langsung megahnya Menara Kembar Petronas, atau menyusuri Sungai Singapura yang romantis, hingga berkeliling kota Georgetown yang cantik. Aku disadarkan akan satu hal, bahwa […]
[…] pulang pergi jalan kaki full!), gue cukup pede dengan jarak 2.5 kilometer itu. Gue bahkan pernah jalan kaki dari Serangoon Road hingga Marina Bay, Singapura, pulang […]
Salam kenal Mas, aku Inna dari Aceh, rencana trip April 2015 ini akan menjadi semacam tour leader secara tersirat.. bareng 3 temen cewek dan 2 temen cowok, Berbagai persiapan dari membuat itinerary, merancang anggaran biaya, hingga memesan hotel, juga aku jalanin dengan senang hati. hehe.. Nah, beberapa hari ini wara wiri terus di blogmu.. aku tertarik pengen tahu itinerary dan budget detailnya, boleh share ke emailku innamayniza@ymail.com mas 🙂
Akan saya respon nanti malam ya, kak. Masih di kantor.
Makasih sudah mampir 😀
Salam kenal kak..bermanfaat sekali ulasannya..kak mau tanya kalo dari MRT Lavender ke Tresor tavern hotel itu jauh ga ya? soalnya banyak ulasan di trip advisor, agoda dll yg bilang jaraknya beda2..ad yg bilang 300m, ad yg bilang 28m, dll..kakak kan ud pernah kesana jd mohon pencerahannya ya kak..makasihhh 🙂
Hai, Dian.
Jauhhh!!! Turunnya di Farrer Park, bukan Lavender.