Berada di Singapura selama kurang lebih 3 hari 2 malam membuat saya sedikit banyak mulai memahami budaya dan gaya hidup mereka. Apalagi, selama 3 hari itu saya dan Al cukup banyak berinteraksi dengan mereka, terutama saat di jalan dan di dalam MRT.
Yang pertama, ini mungkin udah pada banyak yang tahu, orang Singapura itu tertib banget luar biasa. Tahu dong ya di sana nggak boleh buang sampah dan merokok sembarangan. Selain itu, dari pengalaman saya kemarin, mereka sangat tertib saat harus menyeberang jalan. Nggak kayak di Indonesia yang kita bisa asal menyeberang sakkarepe dhewe, menyeberang di sana ada aturannya. Di setiap persimpangan, akan ada jalur menyeberang yang ditandai dengan garis putus-putus berwarna putih. Tekan tombol menyeberang di tiang lampu lalu lintas. Kalau nggak ketemu, berarti tombolnya ada di lampu lalu lintas sebelah. Tunggulah sampai lampu untuk menyeberang berwarna hijau, baru deh boleh nyeberang. Tenang, saat kita menyeberang, pengendara nggak akan nyerobot atau bunyiin klakson sok penting. Amaaannn 🙂
Pernah kami baru memulai menyeberang bersama seorang wanita beretnis Cina yang kami tanyai untuk menunjukkan jalan, namun lampu menyeberang sudah kembali berwarna merah. Wanita itu lantas menyuruh kami untuk berjalan kembali menuju trotoar, dan menunggu lampu menyeberang berwarna hijau lagi. Niat banget!
Akan ada timer yang menunjukkan berapa detik lagi waktu yang tersisa untuk menyeberang. Jika lampu sudah berkedip-kedip, berarti lebih baik jangan mulai menyeberang. Boleh menyeberang di luar jalur, jika memang saat itu sedang berada di daerah yang jauh dari tempat penyeberangan atau persimpangan jalan.
Kedua, di luar dugaan saya, ternyata tidak semua orang Singapura fasih berbahasa Inggris. Beberapa warga lokal yang coba kami hampiri untuk meminta petunjuk jalan langsung buru-buru ngelengos dengan muka ketakutan. Parahnya lagi, pengucapan mereka untuk bahasa Inggris itu super duper aneh! Seperti men-Cina-kan bahasa Inggris, kayak “fried rice” yang dengan seenaknya dibilang “falasa”. Akan lebih baik kalau kamu, atau salah satu anggota rombongan kamu, bisa berbahasa Cina. Untung si Al fasih berbahasa Cina, memudahkan kami saat berkomunikasi dengan warga beretnis Tionghoa. Untuk warga India, rata-rata bisa berbahasa Inggris.
Yang ketiga, jangan heran jika kamu mendapati warga Singapura yang nggak kenal kotanya sendiri. Misalnya, ditanya ke mana arah Little India, mereka nggak tahu. Atau harus buka Google Maps dulu #yaelah. Menurut analisis saya sih, ini karena mereka terbiasa bepergian dengan MRT, itu pun ke tempat yang itu-itu aja. Selain terletak di bawah tanah (jadi mereka nggak bisa lihat jalan di luar), mereka juga asyik sendiri di dalam MRT. Jadi korban gadget! Dari sekedar dengerin musik, chatting, browsing, gaming, sampai nonton serial drama -_____-
Selanjutnya, warga Singapura itu selalu terburu-buru demi mobilitas mereka yang tinggi. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, bagian kanan eskalator adalah untuk mereka yang mau nyerobot. Jangan kaget kalau banyak warga Singapura yang tetap berjalan bahkan berlari meski sudah di atas eskalator sekali pun demi mengejar kereta. Padahal interval kedatangan kereta juga udah rapid banget loh. Demi mobilitas mereka juga, mereka terkadang enggan untuk duduk di dalam MRT meski banyak kursi kosong sekali pun. Biar bisa cepat keluar begitu kereta berhenti.
Kelima, warga Singapura itu badannya bagus-bagus. Nggak susah cari “pemandangan”, baik cowok maupun cewek, ehehe. Bentuk tubuh yang tegas, dengan kulit berwarna kuning langsat, dibalut dengan mode pakaian terkini. Selain karena mereka demen jalan, mereka juga rajin banget jogging! Coba deh sore-sore menyusuri Singapore River sampai Marina Bay, banyak banget yang jogging, bahkan sampai larut malam. Kaum ekspatriat pun nggak mau kalah sama warga pribumi, ikut jogging sampai kaosnya basah kuyup.
Warga Singapura terdiri atas 3 etnis utama: Cina, India, dan Melayu. Dari 3 etnis itu, sorry to say, tapi saya harus mengakui bahwa ras Tamil, alias orang India, adalah kalangan yang paling sering melanggar peraturan. Menyeberang jalan seenaknya, nyerobot antrian di stasiun MRT, makan dan bersandar di pintu kereta MRT. Tahu daerah Little India? Nah, itu adalah daerah yang paling kotor untuk Singapura, di mana lembar-lembar kertas dan beberapa plastik bertebaran di pinggir jalan. Di Little India itu jugalah mereka tinggal, jarang banget lihat warga Chinese atau Melayu di situ. Mungkin karena memang sudah sangat berbeda prinsip, jadi nggak klop buat tinggal bareng.
Pengalaman paling tidak menyenangkan dengan orang India di Singapura saya alami dalam kereta MRT, perjalanan dari Kranji ke Chinatown. Posisi duduk saya agak miring, karena asyik menikmati pemandangan dari balik jendela. Nggak sadar bahu saya menempel bahu ibu-ibu India itu. Dia lalu mendorong bahu saya dengan tangannya yang sok cantik, lalu mengusap-usap bahunya itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, meskipun saya sudah bilang, “Oh, sorry.” Saya lalu jatuh tertidur, dan tubuh saya kembali miring ke arah ibu-ibu itu. Dia melakukan hal yang sama, cerita teman saya, lengkap dengan ekspresi jijik dan sombong yang ditujukan kepada saya. Sok banget deeeeeeeeehhh! Kayak dia adalah wanita paling kaya sedunia, ratu Taj Mahal, dan saya adalah anak desa pinggiran yang dekil dan udah nggak mandi tiga hari -_____-
Nah, selanjutnya saya akan menceritakan itinerary saya selama 3 hari di Singapore dan Johor Bahru. Stay tune 🙂
Suka banget naik turun mrt di singapore, bisa cuci mata tapi bikin gempor jalan kaki nya 🙂 kalo sekarang2 sech lebih banyak naik bus kalo disana hehe
Yang paling berkesan buat gue itu.. suara operatornya X))