Akhirnya, gelap menyelimuti seisi Singapura. Lampu-lampu kota menyala menerangi jalanan, sementara sang chandra sudah menampakkan diri, keluar dari peraduannya. Di Singapura, selain lebih cepat satu jam dari waktu Jakarta / Jawa Barat, juga memiliki sore yang lebih lama. Jam 18.00 itu masih terang benderang kayak jam 5 sore.
Gue dan Al masih terus melangkah menuju Marina Bay yang sudah di depan mata. Menyempatkan diri dengan berfoto narsis di sekitar Promenade, kami lalu kembali berjalan menyusuri Promenade, melalui rumah-rumah makan dan hotel-hotel elit, hingga sampai di patung Merlion. Suasana Marina Bay ramai banget, anak-anak pra-remaja berheboh ria di sekeliling patung Merlion. Gue bertanya-tanya mereka anak sekolahan dari negara mana. Nggak mungkin dari Singapore sih, karena mereka.. ehem, agak norak, lengkap dengan perangkat tablet yang tergenggam erat di tangan, sibuk memfoto si patung singa yang tak bergeming. Tiba-tiba gue menangkap sebuah kalimat khas Indonesia yang terlontar dari mulut mereka. Yeah right! They’re Indonesians! Nggak heran sih, gue juga udah curiga -_____-
Beberapa menit kemudian, anak-anak itu akhirnya hilang ditelan angin. Kami berjalan menghampiri Merlion, berfoto-foto narsis dan alay jablay di depan patung. Well, nggak beda jauh sama anak-anak tadi sih, ehehehe 😀
Bosen duduk-duduk sok ganteng di depan patung Merlion bersama kerumunan turis lainnya, kami beranjak pergi menuju arah Esplanade — si gedung belah duren yang tampak semakin seksi di malam hari. Gue nyaris aja jatuh ketabrak warga lokal yang masih asyik jogging, melejit dari belakang melalui celah kosong di antara kami berdua. Gilak! Jam segini juga masih semangat, padahal baju udah basah kuyup bermandikan keringat.
Tepat di tengah perjalanan kami menuju Esplanade, garis-garis cahaya berwarna hijau melesat dari gedung Marina Bay Sands.
“Well, that’s what I’m talking about! Tiap jam 8 malem ada pertunjukkan laser dari Marina Bay Sands dan gedung-gedung lain di sekitarnya!” gue berseru norak kepada Al.
Hampir aja kelupaan! Kami lantas menghentikan langkah kami, duduk di tepi laut menyaksikan harmonisasi teknologi yang tersinergi dalam sebuah tarian cahaya yang unik. Meskipun nggak seluar biasa dengan laser show di Hong Kong, tapi saya tetap menikmatinya, melihat gedung-gedung berpendar kehijauan dan kemerahan, air mancur yang ikut menari-nari, seiring dengan alunan musik klasik yang bergaung bagai sebuah radio raksasa. Yah, yang kayak gini ‘kan belum ada di Indonesia.
Enjoy videonya ya, meski cuma sebentar dan kualitasnya nggak terlalu bagus. Gue rekam dengan kamera poket punya Al, karena handycam gue matek! -____-
Pertunjukkan selesai, kami melanjutkan langkah kaki kami yang udah gempor berjalan seharian menuju Esplanade. Gue ikut masuk ke dalam, mengantar Al yang pengen ke toilet (yes! dia itu beseran), sebelum akhirnya kami (kembali) berfoto-foto narsis di depan Esplanade, di sebuah kolam yang indah dengan bola-bola cahayanya.
Hari memang udah agak larut, tapi kami tetep semangat buat jalan. Masih ada Gardens by The Bay yang menanti untuk disambangi. Sebenernya sih kami udah berusaha mencari petunjuk arah dengan membuka lapak peta di pinggir jalan, tapi mungkin karena udah kecapekan, otak udah bego, kami berjalan kebablasan sampai Singapore Flyer. Dikiranya Gardens by The Bay ada di belakangnya, tapi setelah masuk, ternyata ada di seberang sungai. Ilusi mata ‘nih. Harusnya tadi kami berbelok menuju arah Marina Bay Sands.
Ya sudahlah, kami akhirnya duduk kayak orang yang abis lomba marathon 40 kilometer, di hulu sungai, menyaksikan “pohon-pohon” Gardens by The Bay dari kejauhan.
Kami lantas menuju stasiun MRT terdekat, lalu turun di Orchard. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, dan asli itu capek banget nget nget! Salah perhitungan. Kami kembali melalui gedung kampus SMU dan jalanan yang kami lewati tadi pagi. Laper, haus, capek, semuanya numpuk jadi satu. Sampai di kawasan Little India, kami memutuskan untuk makan malem di sebuah warung makan di Kitchener Road. Modelnya kayak warteg atau rumah makan Padang, nasi dan aneka lauk pauk tersaji di dalam etalase. Gue cuma makan dengan ayam goring dan sejenis sayur, ditebus dengan uang 4 SGD. Muraaaahhh! Dengan nasi berlimpah! Sementara itu, Al makan dengan sepiring makanan berbentuk mie — entah apa namanya, tapi itu selalu tersaji di warung makan ala India, sebagai alternatif selain nasi putih — dengan opor ayam. Laper mata, dia lalu memesan sepiring besar prata yang akhirnya — dua-duanya — nggak dia habiskan. Masih tersisa banyak, nyaris nggak dimakan -_____-
Setelah makan dan bisa duduk, agak lega rasanya buat jalan kaki menuju hotel yang udah nggak jauh lagi. Kami berjalan melalui sebuah bar ala India, hentakan musiknya terdengar sampai luar. Sebuah ruko di sebelah hotel kami pun berubah menjadi sebuah club, dengan semacam patung dan sesajen yang nangkring di depan pintunya.
Senangnya bisa beristirahat di hotel setelah seharian berjalan menyusuri kota sampai kaki gempor luar biasa. But I enjoyed it though. Jalan kaki di Singapore itu asyik, melalui trotoar yang lebar dan aman, jalanan yang mulus dan tidak terlalu ramai, disuguhi gedung-gedung modern dan unik serta pohon-pohon rimbun yang memberi keteduhan. Ah, I’m in love with Singapore 🙂
belum pernah ke singapur… jadi pengen ke sini 😀
Aku jatuh cinta sama kota ini, Bang. Kota yang modern, namun tetap bersih, rapi, hijau, dan tidak terlalu ramai 😀
Oh iya sebenernya ini ada foto-foto yang belum dimasukkin: foto-foto di depan Merlion sama Esplanade, plus video rekaman tarian cahaya Marina Bay Sands. Tapi sayang masih di temen saya, dan belum dikirim sampai sekarang.