Setelah puas menenggak segelas Susu Kedelai dan melahap setangkup es krim kedelai dengan harga murah meriah di Mr. Bean, kami melanjutkan langkah menuju Orchard Road yang sudah tak jauh lagi. Tapi, baru juga jalan beberapa langkah, kami menemukan sebuah pendopo dengan sebuah taman yang saat itu sedang digunakan sekumpulan anak skater untuk mendokumentasikan aksinya. Kami memutuskan untuk masuk ke dalam taman, leyeh-leyeh lagi 😀
Taman itu bernama Istana Park. Sementara Al langsung jatuh tertidur di sebuah bangku, gue masih mengamati kegiatan anak-anak skater itu selama beberapa menit. Hmm, tempat ini cocok juga kayaknya buat tempat bermalam kaum backpacker gembel, seenggaknya udah cukup untuk tempat bernaung. Udara Singapura juga hangat, kayaknya nggak jadi masalah kalau tidur di luar ruangan sekali pun. Tapi nggak tahu ya, apakah ada polisi resek yang tiba-tiba ngusir apa enggak.
Di sisi kanan, ada sebuah kolam yang terlihat sangat menggoda di tengah sore yang panas ini. Rasanya pengen banget nyebur ke dalam kolam! Di seberangnya, ada sebuah tempat makan yang kala itu tengah dikunjungi oleh sepasang bule. Taman di persimpangan Penang Road ini lumayan oke buat beristirahat setelah seharian jalan-jalan menyusuri kota. Gue suka Penang Road, jalannya asri banget, diapit pepohonan dan taman sampai ke stasiun MRT Dhobby Gaut 🙂
Setelah beberapa menit membuang waktu, kami paksakan diri untuk meneruskan langkah menyusuri Orchard Road. Sebuah gedung besar yang tersembunyi oleh sebuah gerbang dan pohon-pohon besar menarik perhatian gue. Itu apa ya? Istana negara? Entahlah. Kami terus berjalan melalui Plaza Singapura.
Gue pikir, Orchard Road adalah semacam Malioboro-nya Singapura dengan toko-toko dan pusat-pusat perbelanjaan yang berjajar berdesak-desakan mengapit jalanan yang padat dan berisik. Ternyata dugaan gue nggak sepenuhnya bener. Orchard Road masih sama tenangnya dengan jalan-jalan lain di Singapura. Trotoar yang lebar dan asri berjajar di ke dua sisi jalan, tanpa pedagang kaki lima, tanpa pengunjung yang berdesak-desakan khas kawasan perbelanjaan Indonesia. Enjoy banget jalan-jalan di Orchard Road!
Kami sempatkan mampir di gerai Seven Eleven terdekat untuk membeli air putih. Entah kenapa, setelah menghabiskan susu kedelai tadi, gue jadi pengen banget minum air putih. Sampai di Seven Eleven pun, Al minta waktu buat istirahat lagi. Yaelah.
Puas foto-foto alay lebay jablay di depan papan penunjuk jalan Orchard Road, kami terus menyusuri Orchard sampai Ion Orchard, melalui pusat-pusat perbelanjaan seperti Lucky Plaza dan Wisma Atria. Sayang, gue nggak nemu tuh bapak-bapak penjual es krim yang katanya ada di Orchard Road. Entah dia lagi jualan di tempat lain atau gimana. Nah, di depan Ion Orchard ada beberapa bangku panjang yang ditempati beberapa pengunjung. Kami bergabung dengan mereka, menikmati sore hari sampai matahari hilang dari pandangan mata, menyisakan gelap yang menyelimuti kota. Lampu-lampu Ion Orchard dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya dinyalakan, menambah kecantikan malam, sementara kami masih asyik memperhatikan hilir mudik orang-orang dan kesibukan kota ini.
Menerima ajakan Al, gue mengikuti langkahnya menuju Lucky Plaza untuk makan malam. Kami duduk di salah satu bangku di sudut foodcourt, dan Al langsung berbaik hati memesankan makanan buat kami berdua. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan membawa dua piring nasi campur, lengkap dengan potongan-potongan daging babi panggang di atasnya. Mantap! Masing-masing hanya dihargai 4 SGD saja! Senangnya menemukan tempat makan murah dan enak di tengah negara mahal ini 😀
Sembari kami melahap makanan masing-masing, Al bercerita betapa berbedanya hubungan antara penjual dengan pembeli di Indonesia dan Singapura. Dia menceritakan ketidakramahan si penjual nasi campur, dan bahkan agak ngomel-ngomel karena Al terlalu lama melihat-lihat menu. “Kalau nggak mau beli, pergi aja!” kata Al menirukan si penjual.
Selama beberapa saat, rasa rindu tanah air membuncah di dalam relung hati gue #ceileh. Di Indonesia, antara penjual makanan dan pembeli memiliki hubungan yang bahkan bisa dibilang akrab, seperti layaknya teman. Ngobrol, bercandaan, bahkan ejek-ejekan, biasa terjadi antara pembeli dengan penjual makanan, apalagi kalau si pembeli emang udah langganan di situ. Ya di warteg, rumah makan Padang, apalagi angkringan, interaksi seperti itu selalu terjadi. Di Indonesia, pembeli benar-benar dilayani dengan ramah. Bahkan kalaupun transaksi jual-beli batal dilakukan karena sang calon pembeli kemudian merasa tidak tertarik (padahal udah bermenit-menit melihat-lihat), penjualnya juga nggak akan marah-marah. Yah, mungkin ada juga sih, tapi sedikit 🙂
Mumpung lagi di Lucky Plaza, kami lalu mengambil sedikit waktu buat jalan-jalan mengelilingi mall ini. Secara umum, nggak ada bedanya sih dengan mal-mal di Indonesia. Bahkan Indonesia, tepatnya Jakarta, punya seabrek supermal dan megamal yang lebih megah dan glamor daripada mal ini. Lucky Plaza ini hanyalah sebuah mal sederhana yang merakyat, mirip Bandung Indah Plaza.
Gue lalu inget gue harus beli oleh-oleh hari ini, karena besok bakal seharian di Johor Bahru. Tadinya sih gue mau beli kaos, udah gue perhatiin dari sejak gue makan tadi. Tapi lalu gue inget gue harus beli oleh-oleh buat orang sekampung, karena itu, kami berjalan melalui gerai-gerai pakaian di samping foodcourt dan menemukan seorang penjual pernak-pernik di tengah mal. Gue bergerak menghampiri, tertarik dengan serenteng gantungan kunci yang diperdagangkan di situ. Sang penjual muncul dari balik barang dagangannya, seorang wanita paruh baya beretnis India yang kurus.
Khas penjual di Indonesia, wanita itu mempersuasi gue untuk membeli barang dagangannya. Cuma 10 SGD untuk 5 renteng gantungan kunci. Lima renteng! Cukuplah buat oleh-oleh, dengan 1 renteng yang terdiri dari 6 buah gantungan kunci. Murah banget! Gantungan kuncinya macem-macem. Ada yang unyu-unyu, tapi gue pribadi pilih yang agak elegan, dengan warna menyerupai emas dan berbentuk ikon-ikon Singapura seperti Merlion dan Marina Bay Sands Hotel.
Eksplorasi kami di Lucky Plaza lalu dilanjutkan dengan… House of Condom. Sementara travelblogger lain cuma berani lewat di depan toko esek-esek ini, gue dan Al beranikan diri untuk masuk ke dalamnya dan… bertransaksi. Dari namanya udah ketahuanlah ya isinya apaan. Berbagai macam rupa dan bentuk kondom dan alat esek-esek lainnya ada di situ. Sebutlah vibrator, celana dalam yang aneh-aneh, atau tiruan alat kelamin. Tidak boleh ada kegiatan dokumentasi di dalam, ditambah para penjaga yang kompak mengawasi setiap pembeli.
Tenang, di sini gue cuma nemenin Al aja kok. Katanya sih, dia mau beliin buat temen dia (tapi gue nggak sepenuhnya percaya, ehehe). Gue nggak beli apapun di situ, bahkan ngomong pun enggak. Kedatangan kami ke tempat laknat ini dibuktikan dengan foto-foto narsis kami berpose di depannya.
Cukup dua jepretan, kami lalu cepat-cepat bergerak seeblum diasumsikan yang aneh-aneh oleh para pejalan kaki. Kami berjalan kembali menyusuri Orchard Road menuju stasiun Dhobby Gaut. Gue masih juga belum menemukan penjual Uncle White Ice Cream. Dalam perjalanan, kami malah menemukan Singapore Tourism Centre. Si Al iseng-iseng ngajak masuk, gue ngikut. Kami dihadapkan oleh 3 orang petugas yang duduk di balik sebuah meja panjang, menyambut kami dengan seuntai senyum ramah yang menjadi barang langka di negeri ini.
Di situ, kami menanyakan perihal transportasi terbaik dari Singapore menuju Johor Bahru. Sang petugas yang melayani kami, seorang wanita beretnis Cina yang sudah nyaris lansia, memberikan jawaban yang jelas memuaskan. Informasi selengkapnya akan gue ceritakan di cerita selanjutnya. Senengnya lagi, layanan ini tidak dipungut biaya alias gratis! Recommended buat kamu yang dateng ke Singapura tapi belum tahu mau ke mana aja. Bisa juga buka website resmi mereka di yoursingapore.com
Kami terus melangkahkan kaki hingga kembali melalui Plaza Singapura. Gue sempat tertegun mendapati seorang ibu menjual tisu di trotoar Plaza Singapura, mengulurkan tisu yang tergenggam di tangannya pada setiap pejalan kaki yang melintas. Gue nyesel banget saat itu gue nggak berhenti dan memberi bantuan untuk ibu itu. Gue malah sama cueknya dengan warga Singapore yang lain, dan segera berlalu menuju stasiun MRT Dhobby Gaut.
Mudah-mudahan, saat gue ke Singapore lagi, gue masih bisa bertemu ibu itu…
[…] ke luar negeri. Tepatnya pada bulan Oktober, aku menjejakkan kakiku di dua negara sekaligus — Singapura dan Malaysia (meski hanya beberapa jam, itu pun hanya di Johor Bahru). Dua stempel negara berbeda […]
[…] selalu menyukai kawasan pejalan kaki seperti ini. Di Singapura, gue menemukan Orchard Road yang lapang dan rimbun. Di Macau, gue akan mengagumi Senado Square ini. Menyusuri Senado Square di […]
[…] kamu bisa ubek-ubek itu Bugis Street, Chinatown Street Market, Little India, sama Lucky Plaza (di Orchard Road). Chinatown Street Market buka dari sore hingga malam, ada banyak pernik oriental di situ. Di Bugis […]
[…] satu ini mungkin udah pernah kamu denger. Lucky Plaza memang jadi semacam oasis di tengah deretan mal mevvah dan toko-toko bergengsi di Orchard Road. […]