Bus berhenti di Johor Bahru Checkpoint. Gue dan Al turun dan bergerak mengikuti orang-orang menuju bagian imigrasi. Nggak ribet sih, tinggal cap cap jegrek dan habis perkara. Di bangunan yang sama, kami menukarkan uang Singapore Dollar (SGD) kami ke dalam bentuk Malaysian Ringgit (RM), 1 SGD kira-kira setara dengan 2.5 RM. Kami lalu berjalan melalui sebuah jembatan yang menghubungkan Johor Bahru Check Point dengan City Square.
Tak lama setelah kami berhasil menemukan pintu keluar dari mal City Square, kami sudah berada di kawasan Little India yang khas dengan semerbak bunga-bungaan, irama musik Bollywood yang menghentak menggoyang gendang telinga, hiasan-hiasan ala Deepavali yang simpang siur di atas jalan, dan tempat-tempat makan murah yang menggoda selera.
Kami terus berjalan melalui semua hiruk pikuk itu, hingga langkah kaki kami terhenti pada sebuah bangunan tua landmark Johor Bahru yang udah gue kenal dari panduan Lonely Planet di internet. Yup, Bangunan Sultan Ibrahim. Sayangnya gedung itu kini digunakan sebagai kantor pemerintah, dan pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke dalam. Bangunan ini mencolok banget loh, berdiri tinggi di ujung tanjakan, di sebuah daerah bernama Bukit Timbalan. Bangunan yang memadukan desain arsitektur ala kolonial dan Melayu ini selesai dibangun pada 1940, karya arsitek Inggris Palmer dan Turner.
Dari Bangunan Sultan Ibrahim, kami bergerak ke kanan, dan menemukan kampus Raffles University Iskandar. Raffles University sendiri adalah salah satu kampus ternama di Inggris Raya. Al langsung ngajak gue masuk, meski kampus ini tidak masuk dalam daftar kampus pilihannya atau itinerary dia di Singapore. Dia tambah seneng lagi karena kampus ini berada satu gedung dengan Reading University.
Setelah Al menyerahkan paspornya kepada petugas resepsionis (again, orang beretnis India) yang diganti dengan dua kartu bertitel “Visitor”, kami masuk ke dalam lift untuk menuju sekretariat kampus, bergabung bersama sekumpulan mahasiswa berpakaian rapi. Sampai di ruang resepsionis Raffles University, kami harus menunggu beberapa menit sampai seorang staf lain datang untuk melayani kedatangan Al. Sementara Al digiring oleh staf kampus tersebut untuk diajak melihat-lihat ruang kelas dan ruang-ruang yang lain, gue menggunakan waktu untuk mengabadikan view Bangunan Sultan Ibrahim yang terlihat jelas dari atas sini, lengkap dengan hamparan biru laut lepas yang menjadi latar yang apik.
Nah, enaknya mampir di sini adalah bisa numpang minum gratis. Disediakan galon dan beberapa gelas plastik yang siap digunakan staf atau pengunjung. Airnya dingin pula! Seger banget diminum di tengah cuaca Johor Bahru yang panas dan lembab, ehehe 😀
Dari Raffles University, kami lanjut ke Reading University yang hanya terpaut beberapa lantai. Kembali kami disambut oleh seorang petugas resepsionis beretnis India. Kenapa sih banyak banget orang India yang jadi resepsionis?
-______-
Nggak ada pengalaman spesial di sini. Al hanya diberikan informasi bahwa saat ini Fakultas Hukum belum ada, tapi akan dibuka tahun depan. Katanya sih, itu pas banget sama momen kelulusannya (iye kalau dia beneran lulus tahun itu, ahahaha). Dia lalu mengambil segepok brosur dan buku wawasan kampus yang dijejalkan ke dalam tas ransel gue -,-
Rasa lapar mendorong kaki kami untuk berjalan cepat dan menemukan sebuah tempat makan. Sebenernya bisa aja sih kami makan di Little India yang udah deket banget, tapi Al nggak mau, maunya di tempat makan chinese (I told you, dia susah lepas dari chinese food). Jadi setelah melalui jalanan yang menurun dan mengabaikan beberapa kedai makan murah meriah Little India, kami berbelok dan tiba-tiba sudah berada di kawasan etnis yang lain.
Gue langsung berhenti begitu kami menemukan sebuah pujasera kecil yang saat itu tampak agak ramai. Hampir kami melewatkan tempat ini begitu saja, Al pengen cari tempat makan yang agak sepi katanya (sumfah, rempong banget, Nek!) tapi gue memantapkan hati buat makan siang di sini aja. Akhirnya dia mau. Kami duduk di sebuah bangku panjang yang berhadapan, dipisahkan oleh sebuah meja panjang. Baru kami duduk, kami udah ditanya mau pesan minum apa oleh bapak-bapak yang ternyata arek Jawa Timur. Walah.
Kami memilih tempat makan terdekat dengan meja kami, semacam warteg ala chinese dengan aneka lauk yang digelar di atas meja dan pengunjung bebas mengambilnya. Iya, model prasmanan gitu. Gue mencukupkan diri dengan telur ceplok, tahu bersaus fuyung hai, dan semacam sayur, menahan diri untuk mengambil daging dan lauk mahal lainnya. Cuma abis 4 RM, bok! Sekitar Rp 12.000,00. Yah, mahal dikit lah dari standar di Jawa.
Buat minum, gue sih udah bilang Ais Tea ya, tapi entah kenapa yang disodorin di depan hidung gue malah secangkir teh susu panas. Walah, Pak. Udah lupa sama bahasa Indonesia ya, katanya orang Jawa Timur? Tapi ya udah, nggak ada jeleknya juga minum teh susu panas di siang bolong, selain bikin keringet tambah menjadi-jadi #kibasponi
Rencana selanjutnya adalah menyambangi Bangunan dan Masjid Sultan Abu Bakar yang ada di Jalan Tun Dr. Ismail. Nah, Sultan Abu Bakar itu bapaknya Sultan Ibrahim, jadi Sultan Ibrahim itu anaknya Sultan Abu Bakar #yaiyalah. Kami berjalan turun mendekati jalan yang persis berada di tepi laut, lalu bergerak ke kanan. Nah, kami malah menemukan spot bagus buat foto-foto, semacam promenade alami di mana kami dapat menikmati pemandangan laut dan gedung-gedung Singapura dari kejauhan.
Puas berfoto-foto, kami meneruskan langkah sampai melewati sebuah boulevard yang asri di tepi pantai. Dua orang bapak-bapak tengah duduk di tepi boulevard dan memberi makan ikan-ikan cucut. Kami berhenti sejenak, mengamati kegiatan bapak-bapak itu, sementara Al menceritakan berlimpahnya ikan-ikan seperti itu di kampung halamannya — Bagan Siapiapi.
Maaf, tapi kami harus menyerah di tengah jalan kali ini. Belum sampai tempat yang dituju, kami lalu memutuskan untuk kembali demi mengejar waktu ke Singapura. Di tengah jalan, eh kami malah ketemu kampus lagi. Gue lupa apa namanya, nggak terlalu terkenal sih. Bisa ditebak ya, Al ngajak gue masuk ke dalem buat tanya-tanya tentang Fakultas Hukum di situ. Suasana kampusnya lebih lokal, dengan staf beretnis Melayu, tapi mahasiswi yang kami temui semuanya orang Keling.
Kami kembali ke City Square. Karena lupa bagaimana mencapai Johor Bahru check point dari situ, kami bertanya kepada petugas mal beraksen medok khas Jawa. “Tingkat telu,” katanya, diam-diam sadar gue ini juga sama-sama orang Jawa, entah tahu dari mana. Sampai di Johor Bahru Check Point, kami melalui petugas imigrasi yang longgar banget. Kami hanya menunjukkan paspor, dan mereka langsung bilang oke, tanpa meminta paspor kami untuk memeriksa identitas dan foto. Beda banget ya sama tetangga sebelahnya. Bagian pemeriksaan tas pun tanpa pengawasan, tanpa satu orang pun petugas. Pengunjung bebas melaluinya tanpa lebih dulu memberikan tasnya untuk diperiksa.
Tiket Johor Bahru-Singapore ini hanya 1 RM, alias tiga ribu perak! Berarti harusnya tiket Singapore-Johor Bahru juga cuma sepertiga SGD aja ya #ngarep. Kami lalu menaiki bus yang sama (dengan jumlah penumpang yang lebih banyak), melalui jalan yang sama, laut yang sama, dan proses yang sama. Sampai di Woodlands Check Point, petugas imigrasinya rempong bingits! Al bahkan sempet dikatain, “The photo is different.” Untuk bagian imigrasi Singapura ini, kami harus lebih dulu mengisi lembar imigrasi. Petugasnya pun nggak sekedar terima dan main cap-capan. Dia menanyakan berapa lama kami di sini, lalu meminta bukti pemesanan tiket pesawat. Di deret sebelah, seorang bule bahkan harus masuk ke dalam pos, entah kena masalah serius apa.
Gara-gara itulah kami ketinggalan bus kami, dan akhirnya harus menunggu bus Causeway Link selanjutnya yang lama banget -_____-
-to be continued-
perjalanan yg mengasyikkan 🙂
Iyaaa. Nggak sabar buat traveling lagi 🙂
berapa lama perjalanan dari singapura ke johor baru?
Bentar banget. Dari Kranji cuma beberapa menit. Dari pusat kota, sekitar satu jam lebih lah. Kayak naik APTB aja sih 😀
[…] kota yang berkembang, mungkin nomor tiga setelah Kuala Lumpur dan Penang. Tahun lalu gue sempat mampir di kota yang menjadi pintu gerbang Malaysia ini, namun penjelajahan gue kurang maksimal saat itu. Andai sekarang masih ada waktu, pengen rasanya […]
Saya mengalami hal sama di Singapore, dari Johor kami menyeberang ke Singapore. Mungkin saat di tanya petugas imigrasi saya menjawab saya tidak menginap cuma mau shopping, ehh malahan saya di tahan oleh petugas imigrasi. tanpa tahu apa kesalahan saya. gara2 itu saya tdk ke mana2. malahan balik lagi ke johor . krn harus ke KL esok harinya.
Waduh, pas ditahan diapain aja tuh? Sayang banget 😦
[…] di dua negara sekaligus — Singapura dan Malaysia (meski hanya beberapa jam, itu pun hanya di Johor Bahru). Dua stempel negara berbeda langsung mengisi halaman-halaman kosong pasporku yang baru saja dibuat […]