Sabtu, 16 November 2013.
Kala itu hari sudah senja, gue dan seorang temen gue sedang terkapar malas di dalam kamar kontrakan, bergumul di atas kasur sementara awan mendung menggumpal tebal di atas sana. Menanggapi rasa lapar yang tiba-tiba menginvasi perut, gue mengajak temen gue itu, Theo, untuk mencari makan. Padahal biasanya gue on time banget loh kalau makan, antara jam 7 hingga 8 malem. Tapi saat itu, ehem, gue nggak tahan. Mungkin karena makan siangnya agak dini kali ye.
Dengan hanya mengenakan baju sekedarnya, kami melangkah keluar mencari warung makan yang bisa dihampiri. Agak nyesel sih, karena ternyata di luar dingin bingits! Melalui SMA Theresiana yang sudah lengang, kami meneruskan langkah kaki hingga sampai ke sebuah jalan yang cukup ramai dengan tempat makan.
Aha! Kami menemukan sebuah warung makan sederhana dengan menu babi di sisi kanan jalan.
Tanpa pikir panjang, karena udah sama-sama setuju, kami masuk ke dalam. Sekelompok mahasiswa Papua lagi nongkrong di dalam.
Warung makan ini sederhana banget, cuma kayak warung burjo gitu deh. Beberapa olahan daging babi sudah tersedia di atas meja, tinggal pilih mau yang mana. Ada babi kecap, tongseng, bakar, atau semur. Menu rumahan yang lain juga ada lho, buat yang ingin mengimbangi dengan sayuran. Macam-macam minuman juga disediakan untuk semakin memuaskan para pengunjung.
Gue pilih menu semur babi aja tanpa tambahan menu lain, dengan segelas teh manis panas. Si mas penjual mengamati menu pesenan gue, lalu dengan mantap mengucapkan: “Delapan setengah, Mas.”
“Berapa?” tanya gue lagi, takut salah denger.
“Delapan setengah,” mas-mas itu tetep teguh dengan perhitungannya.
Dari luar, gue terlihat tenang-tenang aja, seperti nggak ada sesuatu besar yang terjadi. Tapi di dalam hati, gue kaget pake banget! Nasi babi dengan teh manis panas itu… sungguh… SANGAT MURAH!!!
Di Bandung aja ya, nasi babi di warung makan aja (bukan di cafe) hampir dua puluh ribu. Belum tambah teh manis panasnya.
Kami berdua lantas duduk manis di salah satu bangku, siap menikmati sajian dewa dengan harga rakyat jelata ini. Theo yang lebih dulu makan. Dia memasukkan sesuap nasi dengan sepotong daging ke dalam mulutnya, dan… dia sontak ber-uuummmhhh dengan sorot mata yang berbinar-binar dan mulut yang mesam-mesem sendiri kayak orang lagi kasmaran.
“Enak?” tanya gue.
“Coba sendiri,” jawabnya, masih belum menghilangkan senyum puasnya.
Gue mencoba sendiri daging di atas piring gue dan… HE’S GODDAMN RIGHT! Dagingnya empuk banget! Enak pula! Nggak usah nunggu waktu lama, karena sekejap kemudian, dua piring kami sudah licin tandas.
Nggak nyangka banget, penjelajahan kecil kami petang ini berbuah manis seperti ini. Setelah saling mencurahkan perasaan, mengungkapkan betapa senengnya nemu warung makan ini, kami lantas beranjak pulang. Badan udah agak hangat, berkat asupan daging dewa yang baru saja menggelinjang jaya masuk ke dalam perut kami.
Warung makan ini gue rekomendasikan banget buat kalian. Masuklah di sebuah gang di sebelah kampus UKSW, ke arah SMAN 1 Salatiga. Beberapa meter dari situ, di kiri jalan, ada sebuah warung makan babi tak bernama. Ciri-cirinya adalah, ada tulisan menu babi besar-besar di dinding depannya. Kapan lagi bisa makan nasi babi super murah kayak gini 😀
Ah nikmat tapi sayang aku tak bisa makan kalo jelas2 babi. Kalo ngak tau maka disantao saja hahaha.
Kalo ke bali mesti cobain nasi babi guling bu oka di ubud, rasa nya juara banget 🙂
Ya udah, makannya tutup mata aja dan pura-pura nggak tau mau dibawa makan ke mana akakaka.
Ahhh aku pernah makan di warung itu….suka sama racikan bumbu babinya plus harganya mahasiswa banget hehehe…
Iya bumbunya enak banget! Harga rakyat jelata lah haha.
wahhhh Hotel Grand Wahid bukan yang termegah di Salatiga yg paling wah itu ya Laras Asri haha.
Oh maap, bro. Makasih masukannya ya.
BANG PET!! haahaa