Judulnya kayak judul sekuel pertamanya The Chronicles of Narnia ya: The Lion, The Witch, and The Wardrobe.
“Errr, enggak juga sih, Gie.”
“Udah iyain aja!”
…
Gue seneng banget karena akhir pekan lalu, hari Sabtu dan Minggu berturut-turut, gue kesampaian juga buat menyambangi dua pusat kuliner terkemuka yang ada di Jakarta: Pecenongan dan Jl. Sabang. Keinginan ini udah muncul dari sejak gue jadi content writer untuk beberapa akun traveling tahun lalu, tapi baru kesampaian sekarang — padahal gue udah di Jakarta dari Desember. Mau tau gue makan apa di sana? 😀
“Enggaaakkk.”
Daerah Pecenongan sebenarnya nggak jauh-jauh amat dari kost gue di daerah Ancol, atau dari mess gue dulu di Kemayoran di daerah Jakarta Pusat. Tapi karena jalanan di sekitar Ancol dan Kota itu agak ribet, banyak jalan satu arahnya, gue dan temen gue harus muter-muter dulu dikit. Iya, temen aja kok, gue sedang jomblo (lagi). Fak.
Jangan tanya gimana rutenya dari Ancol menuju Pecenongan, karena gue tinggal duduk anteng sementara temen gue yang setir mobilnya hahaha.
Seperti bayangan gue, banyak warung makan pinggir jalan, atau bahasa kerennya food hawker / street food / food stall, yang berjajar di sepanjang Pecenongan. Tapi, kebanyakan menyediakan menu chinese food atau seafood. Tahu Martabak Pecenongan yang udah terkenal itu? Nah, itu juga ada di sini (ya iyalah). Martabaknya selalu rame, maka gue berencana untuk mencoba kuliner yang satu itu setelah menyantap sajian utama. Kalau masih kuat juga sih.
Kami memilih sebuah warung makan chinese food di sebelah sebuah minimarket yang sedang sibuk melayani beberapa pengunjungnya. Gue memesan mie goreng seafood, sementara Al memesan mie goreng spesial dan fuyung hai. Remember this guy? Yeah, dia travelmate gue saat berkunjung ke Singapura tahun lalu, dan dia suka laper mata 😀
Pesanan datang, dan gue takjub dengan porsinya. Banyak banget! Butuh perjuangan untuk gue bisa menghabiskannya — atau lebih tepatnya, nyaris menghabiskannya. Enak sih, tapi lama-lama bikin eneg karena minyak dan bumbunya. Satu porsi mie goreng tersebut harganya Rp 40.000-an ribu. Tahu gini tadi kita sepiring berdua aja, bisa lebih pas porsinya dan lebih hemat duitnya. Gue pun mengurungkan niat untuk mencoba martabak Pecenongan karena perut yang rasanya udah kayak hamil 3 bulan.
Tips buat yang mau kulineran di sana, coba lihat dulu porsinya seberapa, atau tanya sama tukang masaknya. Kalau sekiranya kebanyakan, mending dimakan rame-rame sama temen, atau pacar, atau pengamen. Iyak, gue pun baru tahu kalau di Pecenongan ada banyak banget pengamen dan pedagang asongan yang aneh-aneh. Siapin receh atau siapin muka jutek aja ya.
Hari minggunya, gue pergi ke Jalan Sabang buat ketemuan bareng mas Fahmi Catperku. Mumpung sama-sama di Jakarta, gue pengen berinteraksi secara langsung dengan kakak-kakak travelblogger (cieee ‘kakak’) yang selama ini hanya bisa gue tatap dari balik layar digital. Sebenernya gue juga mau ketemuan sama mas Febry Fawzy, tapi beliau sibuk jadi terpaksa membatalkan rencana. Bagi-bagi salam tempelnya aja ya nanti, mas 😉
Dari shelter Sarinah, gue tinggal berjalan beberapa puluh meter sampai persimpangan lampu merah. Nah, tidak seperti Pecenongan, di Jl. Sabang ini lebih beragam. Ada chinese food, ada menu nusantara, kopitiam-kopitiam, dan cafe-cafe lucu yang berjajar bersanding dengan tempat-tempat usaha lainnya. Kami janjian di Sabang 16, sebuah cafe yang ternyata terletak di ujung jalan, tepat di persimpangan dengan Jalan Kebon Sirih.
Saat gue datang, mas Fahmi udah standby bersama kekasih hatinya. Kami bertiga pun duduk agak berhimpitan, memperebutkan ruang kosong meja bundar kami yang mungil. Cafe Sabang 16 hanya menyediakan menu-menu ringan seperti roti-rotian, mie, es krim, dsb. Sajian utamanya adalah kopi, kamu bisa pilih macem-macem kopi nusantara di situ. Harganya standar cafe Jakarta gitu deh, lengkap dengan fasilitas wifi yang katanya biasa mas Febry pake sambil ngeblog 🙂
Gue memesan Kaya Toast dan segelas Es Teh Tarik — kayak menu sarapan ala Singapura yak. Total harganya Rp 38.000,00. Hehe, lumayan mahal, padahal gue belum sepenuhnya kenyang dan habis ini masih mau makan berat. Sambil menikmati santapan masing-masing, kami menggunakan waktu yang ada untuk saling berbagi informasi dan spirit seputar traveling. Thanks for sharing ya, mas.
Nah, hari Rabu malam lalu, gue wisata kuliner lagi di Jalan Kebon Sirih. Apa lagi kalau bukan menyantap Nasi Goreng Kebon Sirih yang kelezatannya banyak diberitakan. Kali ini gue makan bareng temen-temen komunitas Backstrip. Untuk sampai ke Kebon Sirih, gue turun di shelter Bank Indonesia setelah sebelumnya menghabiskan waktu sekitar 3 jam di jalan. Satu jam nungguin busway, lalu akhirnya naik dan ternyata salah arah, lalu turun lagi, nunggu lagi setengah jam lebih, baru deh jalan dan sampai Kota, lalu disambung dengan busway Blok M – Kota. Perjuangan banget emang.
Syukurnya, perjuangan gue nggak sia-sia. Nasi gorengnya emang enak banget, meski porsinya biasa-biasa aja. Seporsi Nasi Goreng Kebon Sirih bisa ditebus dengan kocek Rp 25.000,00. Agak mahal memang. Selain memiliki citarasa kari yang kuat, nasi gorengnya diisi dengan suwiran tebal daging kambing dan emping. Kalau mau minum, bisa beli di warung sebelah. Es teh manis harganya Rp 5.000,00.
Jadi, kapan kamu dan aku ketemu? ❤
mayan, numpang nebeng nama di postingan ini :p
Jiaaaahhhh
cieee yg ketemuan…
Ahaha ayo, bang.
Ixixiixixixi
*uhuk* kapan – kapan mari ketemu lagi buat sharing tentang traveling lagi 😀
Siaaappp
waaah ketemuan, kalo makan2 mau donk diajak 😉
Siap, kak. Pantau aja mentionan 😀
[…] yah, karena ada selebritis internesyenel yang mampir ke situ. Saat ketemuan bareng mas Fahmi Catperku beberapa bulan lalu di Sabang 16, gue nggak tahu bahwa sebenarnya Kopitiam Oey berada tepat di […]