Janjiannya sih ya jam 21.00 teng, tapi kok ya molor sampai nyaris tengah malem. Iye, gue termasuk yang molor itu #pffft
Dari Terminal Kampung Rambutan, perjalanan kami mulai dengan bus jurusan Cianjur dengan tarif Rp 22.000,00. Udah AC. Saat itu bus penuh dengan rombongan anak-anak muda berkeril yang turun di daerah Cibodas, berniat untuk mendaki Gunung Gede-Pangrango. Kegaduhan mereka membangunkan gue dari tidur. Titip salam buat Gede ya, mas. Nanti saya menyusul, ehehe.
Perjalanan kami berjalan lebih cepat dari dugaan. Perkiraan 4 jam perjalanan ternyata meleset, karena kami sudah sampai di simpang Rancagoong pagi-pagi buta, sekitar pukul 2 atau setengah 3. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah masjid yang terletak tak jauh dari persimpangan, sementara beberapa anggota melakukan sholat dan buang air. Fyi aja nih buat yang mau naik bus ke Cianjur, jangan percaya kalau keneknya bilang itu bus terakhir, karena itu hanyalah dusta dan tipu belaka! Bus kami aja juga katanya terakhir, tapi ternyata setelah kami turun, masih banyak aja tuh bus yang sliwar-sliwer. Kalau kata mas Adi sih, busnya ada terus 24 jam.
Dari Rancagoong, perjalanan kami lanjutkan dengan sewa angkot dengan tarif Rp 200.000,00 (diisi penuh). Kalau nggak terlalu penuh, sekitar Rp 250.000,00. Buat yang sampai di tempat saat angkot sudah beroperasi, bisa naik angkot aja nggak usah sewa-sewaan. Ongkos Rp 200.000,00 itu worth banget kok, karena perjalanan ternyata masih jauh, sekitar satu jam. Menembus kegelapan malam, melalui jalanan yang menanjak dan berkelok di antara pepohonan lebat. Kadang jalanannya mulus, namun kami juga sering melalui jalan yang berbatu dan bergelombang. Ada saat-saat kami melalui pemukiman penduduk yang sudah terlelap, ada juga saat-saat kami berjalan di tengah kehampaan. Perjalanan malam hari memang memiliki sensasinya sendiri!
Kami berangkat pada Jumat malam, langsung bersiap-siap sepulang kerja, dan belum cukup beristirahat. Tapi, kami tetep enjoy aja tuh perjalanan ini. Sepanjang perjalanan dengan angkot, kami asyik ngobrol dan bercandaan, memecah keteduhan malam itu. Gue sendiri sama sekali nggak merasa capek atau males, malah semangat dan excited banget! Mungkin karena dasarnya seneng jalan-jalan kali ya, ehehe.
Kami diturunkan di sebuah persimpangan desa, sementara pintu masuk masih berjarak beberapa kilometer. Kata sopirnya, kondisi jalanan di atas licin sehingga dia nggak berani untuk melanjutkan. Kami pun melanjutkan perjalanan pagi-pagi buta itu dengan berjalan kaki berbekalkan lampu senter dan headlamp sebagai pencahayaan. Lumayan buat pemanasan. Ternyata benar, kondisi jalanan becek, sehingga cukup beresiko jika menggunakan moda transportasi sekelas mobil angkot. Kondisi jalanan sedikit menanjak, meski ada momen-momen kami melalui jalanan yang menurun. Sampai di sebuah musholla, kami kembali beristirahat sejenak.
Akhirnya, beberapa saat kemudian, kami sampai di pintu masuk kawasan Situs Megalithikum Gunung Padang. Dari situ kami masih harus berjalan melalui jalanan yang lebih menanjak berjarak sekian ratus meter, sebelum akhirnya sampai di pos. Kami disambut oleh seorang abah-abah Sunda, mengenakan baju hitam dan ikat kepala ala Sunda seperti orang Baduy. Dia yang dipercaya menjaga dan mengelola Gunung Padang. Selain kami sendiri, ada sekelompok turis bule India yang juga baru saja sampai. Kami belum bisa naik ke atas, karena harus menunggu jam operasional, jadi kami beristirahat sejenak di pos.
Selain memiliki fasilitas MCK dan musholla, di pos juga ada warung kelontong dan sebuah saung yang kayaknya digunakan untuk berkumpulnya para pengelola. Bisa order makan juga lho, jadi bisa langsung makan enak saat turun dari puncak.
Sekitar pukul 4 atau 5 pagi (sori, gue paling nggak bisa mengira-ngira #pffft), kami diperbolehkan naik ke atas dengan didampingi oleh si Abah (maaf saya lupa nama Anda, bah). Pasalnya, kami sengaja berangkat ke Gunung Padang tengah malem demi mengejar momen sunset dari puncak gunung. Bersama sekelompok turis India yang tadi ngelengos aja dengan mobilnya sementara kami susah payah jalan kaki, kami mendaki punden berundak super besar.
Gue nggak tahu ada berapa anak tangga, yang jelas banyak bangeeettt. Hosh hosh.. Capek, bah. Betis udah lemes, tapi kami masih terus berjalan. Kaki ini seakan sudah hilang koordinasi dengan otak, tetap otomatis berjalan meski otak sudah memerintahkan untuk beristirahat. Gue udah nggak peduli lagi sama panduan wisata yang dituturkan dari Abah. Yang gue peduliin adalah akhir pendakian singkat ini. Rasanya kayak naik ke lantai 5 (atau lebih ya?) dengan tangga, NONSTOP!
Setelah mengalahkan kemalasan dan mengusir zona nyaman, kami tiba juga di titik yang menjadi puncak Gunung Padang. Ada apa di atas? Bebatuan berbentuk balok yang agak berserakan, beberapa berkumpul di satu titik atau membentuk suatu gunungan. Belum bisa dipastikan apakah ini adalah buatan manusia, terbentuk karena alam, atau buatan alien. Dugaan ketiga itu serius ya, bukan guyonan gue doang #huft. Jika terbukti ini adalah buatan manusia, maka Gunung Padang akan menjadi piramida terbesar di dunia! Konon, seluruh bagian situs ini berukuran lebih besar dari Candi Borobudur. Wow! *tanpa koprol*
Lalu apa yang kami lakukan di atas? Yah, nggak ngapa-ngapain selain duduk-duduk, tiduran, ngemil, sama foto-foto. Langit sepenuhnya tertutup awan, gagal total mendapatkan momen matahari terbit. FAAAAAAKKK!!! Setelah gagal di Gunung Prau, harus gagal juga di sini??? Mmmmhhh *ngeden*
(Photos by bang Alex)
Makanya, kami juga nggak terlalu berlama-lama di sini. Beberapa saat kemudian kami lalu bergegas turun, yang gue rasain jauh lebih cepet daripada saat naik. Kayaknya di mana-mana gitu ya. Sampai di bawah, kami langsung masuk ke dalam pos untuk beristirahat. Ibu sudah menyiapkan sarapan untuk kami: seperangkat alat perang ayam kecap, tahu, tempe, telor dadar, lalapan, dan sambel yang langsung tandas seketika oleh perut-perut yang kelaparan ini. Selesai makan, kami lalu tidur sambil menunggu angkot jemputan kami datang. Zzzzzz…
Tiket masuk Situs Megalithikum Gunung Padang hanya seharga Rp 2.000,00 saja. Sementara untuk makan pagi yang di atas ekspektasi kami itu, hanya dipatok Rp 10.000,00/orang. Murahhh! Seluruh lauk pauk disajikan dalam satu tempat, tidak disajikan per piring. Jadi ada beberapa orang yang bisa mengambil lebih dari 1 tahu, tempe, atau telor. Belum termasuk teh manis atau kopi ya, minum yang disediakan dalam paket adalah teh tawar.
Pagi menjelang siang itu, rombongan anak-anak sekolah datang berduyun-duyun memenuhi halaman parkir. Sebelum terlalu gaduh, kami bergegas turun ke pintu masuk kawasan Situs Megalithikum Gunung Padang, menunggu sopir angkot carteran kami di situ. Kami mengisi waktu dengan berpose di atas pintu masuk kawasan, baik pose bareng-bareng maupun per orang. Thanks to bang Alex and Ridi, our photographers 😀
Angkot kami datang dengan membawa rombongan anak sekolahan. Setelah menurunkan rombongan itu, angkot lalu kembali diisi dengan kami bersepuluh. Kami kembali melalui jalanan yang bergelombang, berkelok, sementara pemandangan alam yang hijau terbentang di sisi kanan dan kiri kami. Kami menyempatkan diri turun di tengah jalan demi bisa berfoto-foto di tengah kebun teh. Harus sempet dong ya *pentingbingits*
terakhir kesana thn 2012 tampak banyak perbedaan di bagian bawah
Iya sudah dipercantik, bang.
Wuih ada gapura selamat datangnya sekarang! Bentuknya kece sih tapi tulisan Gunung Padangnya ga keliatan, hahaha.
Eh, itu Rp 200.000 untuk nyewa angkot pergi-pulang? Jadi angkot yang datang menjemput itu adalah tadi angkot yang mengantar ke sana?
Iya. Ada beberapa ornamen yg ditambahkan untuk mempercantik hehe.
Nggak, bro. Rp 200.000 itu sekali jalan. Dibagi per orang cuma kena Rp 20.000.
Aku baru dengar soal tempat ini. Ah si Wijna pasti udah pernah ke sini tuh. Hahaha. Wijna hobi banget candi soalnya.
Tadi aku kira Gunung Padang ya di Padang, eh ada kata Cianjurnya 🙂
Wah, ini tempatnya sempat booming beberapa waktu lalu.
Iya sampai wajahnya kayak candi gitu hahaha. Peace, Wi. Becanda becanda 😀
Barti aku nggak gauuul >.<
Gpp. Aku maklum kok, kak. Pengaruh umur mungkin 😀
Jaad iiiih :(( nangis di Gunung Padang
Ampun, kaaakkk. Jangan kau menangis di sana, namboru. Nanti Gunung Padang tak laku lagi 😀
Jitak! 😀
yang ini belom kesampean dari dulu… naik tangganya itu loh… engga ada ekskalator yak? 😀
Ayo sempetin dong ke sini, deket kok. Dan mudah-mudahan cuaca pas lagi bagus, biar dapet view yg lebih bagus.
Haha. Iya gak ada eskalator. Nanti kalo ada, lama2 banyak yg jualan terus jadi mal ahaha.
Kapan ya kira-kira serius dipugar ama pihak berwajib? Kalau cuma wacana sih ya begitu deh 🙂
Aku tanya ke Farhat Abbas dulu ya, mas *salah alamat*
[…] berumput. Reruntuhan candi terletak di beberapa titik di dalam pelataran, mengingatkanku pada Situs Megalithikum Gunung Padang di Cianjur. Dua orang gadis terduduk di salah satu titik, di antara dua buah reruntuhan. Salah satunya dengan […]
[…] Backstrip pula, gue pergi menyambangi Gunung Padang (Cianjur, Jawa Barat) dan Curug Cigamea (Bogor, Jawa […]
[…] kenapa gue selalu gagal mendapatkan momen matahari terbit. Nggak di Gunung Prau, nggak di Gunung Padang, di Bukit Moko ini pun gue gagal. Padahal gue selalu dapet momen sunset lho. Jadi apakah gue tidak […]
Nice info!
xx,
http://www.indahjelita.com