Di antara seabrek impian tingkat tinggi gue seputar traveling — ya ke Vietnam lah, Brunei lah, Cina lah, Jepang lah — terselip sebuah wish list sederhana: naik KRL alias Commuter Line Jabodetabek. Syukur alhamdulilah, gue berhasil mewujudkan satu impi kecil itu Jumat malam lalu, dalam usaha gue mencapai Terminal Kampung Rambutan untuk berangkat ke situs megalithikum Gunung Padang, Cianjur.
Berangkat dari kost gue di bilangan Ancol Barat dan skip acara nyasar sampai Tanjung Priuk #pffft, gue sampai di Stasiun Jakarta Kota saat jam sudah menunjukkan lewat dari jam 20.30. Bahkan buat masuk ke dalem stasiun pun gue sempet naik turun tunnel karena bingung di mana letak pintu masuk stasiun, yang ternyata berada di sisi yang membelakangi tunnel. Tak ada terlalu banyak calon penumpang yang mengantri di depan loket, kapan-kapan gue coba naik saat jam berangkat atau pulang kantor deh. Untuk jurusan Stasiun Kota-Tanjung Barat, dikenakan tarif Rp 8.500,00 — sudah termasuk deposit Rp 5.000,00. Jadi ongkos sebenarnya hanyalah Rp 3.500,00. Perhitungan tarif adalah Rp 2.000,00 untuk 5 stasiun pertama dan Rp 500,00 untuk setiap stasiun berikutnya.
Tiket Commuter Line Jabodetabek yang berwarna putih polos ini bisa dikembalikan hingga maksimal 7 hari dan bisa digunakan untuk perjalanan berikutnya. Ternyata cara kerjanya seperti di MRT Singapore. Tempelkan kartu pada gate stasiun saat masuk maupun keluar. Bedanya, gate di stasiun-stasiun komuter dijaga oleh beberapa petugas, tidak seperti di Singapore di mana calon penumpang sudah terpercaya ketertiban dan ketaatannya sehingga tidak diperlukan petugas penjaga.
Penampakan kereta dari luar sih emang nggak bisa dibandingkan dengan komuternya Malaysia atau MRT Singapore ya, tapi seenggaknya kondisi di dalam kereta bersih dan rapi, sudah seperti di kedua negara tetangga. Itu udah bikin gue seneng. Penumpang di dalam tidak terlalu banyak, menyisakan ruang-ruang kosong pada bangku-bangku panjangnya. Tak ada pula penumpang yang terpaksa berdiri berpegangan di dalam gerbong. AC-nya sendiri agak terlalu dingin buat gue. Kereta yang saat itu gue naiki tidak menyuarakan suara operator komputer yang memberitahukan stasiun berikutnya dengan otomatis. Pemberitahuan dilakukan secara manual, sehingga ada saat-saat operatornya agak ragu-ragu, seperti, “Ssss—sesaat lagi kereta akan sampai di stasiun …” yang membuat gue tersenyum geli 😀
Perjalanan menuju Stasiun Tanjung Barat berlangsung selama kurang lebih setengah jam. Selama perjalanan, gue hanya diam sambil melepas pandang ke arah pemandangan kota melalui jendela, sedikit bernostalgia masa-masa traveling di Singapore — negara asing pertama yang gue kunjungi. Keluar dari Stasiun Tanjung Barat, gue melanjutkan perjalanan menuju Terminal Kampung Rambutan dengan mikrolet nomor 19 yang sudah menanti di seberang stasiun dan langsung dipenuhi penumpang.
Satu pandangan yang mau gue sampaikan dalam tulisan ini. Commuter Line Jabodetabek sebetulnya sangat berpotensi untuk menjadi MRT-nya Jakarta. Tinggal tambah jumlah lintasan dan stasiun transitnya, lalu integrasikan dengan shelter Transjakarta. Juga bisa dibuat kartu berlangganan macam EZ Link Card, yang bisa digunakan untuk kedua moda transportasi tersebut.

Tah, Wikipedia aja udah menyebut KRL Jabodetabek sebagai sebuah sistem MRT di Jakarta. Ditambah, kereta yang digunakan ternyata bekas kereta di Jepang.
Sebuah rapid transit system tidak harus dalam bentuk monorel atau subway (kereta bawah tanah). Yang penting, sistem tersebut sudah memiliki frekuensi kedatangan tinggi (sehingga tidak diperlukan jadwal kedatangan, 5 menit sekali misalnya), frekuensi pemberhentian yang tinggi (itulah kenapa dinamakan rapid transit), cepat / tidak terganggu dengan moda transportasi lainnya, dan dapat mengangkut penumpang dalam kapasitas besar. Biasanya memang berbasis rel, merujuk pada karakter ketiga. Jadi nggak perlu mikirin konsep MRT yang muluk-muluk, soalnya birokrasi di negara kita berbelit-belit sih. Rencana monorel dari kapan tahun juga nggak beres-beres.
Jadi, kapan kita punya monorel? #pffft
kalau pagi hari naik krl ramenya minta ampun
Asik tuh! Udah nggak usah jauh-jauh ke Stasiun Shibuya hahaha.
tp masih kalah ama stasiun shibuya hahahah alias Ganas manusianya ikan sarden aja msh kalah
Wah, gue makin semangat!
buset dah hahahha cobalah
KRL ataupun MRT yang ada di kota besar kayaknya emang bakal padat pas pagi hari deh menjelang jam masuk kerja. Logikaku sederhana aja sih, perbandingan panjang rel, jumlah gerbong, jumlah keberangkatan itu nggak sebanding dengan jumlah penumpang.
Kalau soal kebijakan integrasi antar moda transportasi yang ada… itu yang susah, Masalahnya di birokrasinya sih menurutku. Kan urusannya udah masalah duit.
Nah iya, kayak yang aku bilang, birokrasi di negara kita itu ribet.
Jumlah armada dan frekuensi keberangkatannya perlu ditambah 🙂
Saya rasa seperti itu juga lho kalo naik transJ hehehe… Apalagi pernah naik Yamanote line yang keliling tokyo hahaha udah mirip deh, cuma jangan liat keluar jendela ya… kalo itu beda jauuh… 😀
Yamanote Line itu kereta atau bus?
Iyaaa bantaran rel Jakarta disulap jadi tempat sampah dadakan. Kenapa gak ada yg menindaki ya 😦
Yamanote line itu kereta, bukan subway tapi jalurnya mengelilingi tokyo…
kalo soal sampah, hehehe mindsetnya masih “asal rumah gw bersih”, jadi ga merasa salah kalo buang sampah dari mobil/motor/bus/kereta dll… *ampun
Berarti egois dong ya. Sementara orang2 negara maju yg suka kita hina karena individualitas dan moralitasnya, malah lebih peduli dengan kebersihan dan lingkungan 😀
pernah naik CL dan bablas salah stasiun bukannya panik tetap aja ha ha hi hi
Kayak aku, kak. Salah naik line tapi tetep steikul seolah tak ada apa2 yg terjadi hahaha.
asik kan bisa menikmati hahaha
Asik sih naik CL. Tapi kalau yang rute ke Tanah Abang, ya ampuun penuuuh. Jadi pepes deh
Wah, bagus dong. Nggak usah lagi repot2 bikin pepes, mbak *eh
Paling males itu mengembalikan deposite yg Rp. 5000, kebanyakan males ngantri dan akhir nya melayang dech … Sial tuch peraturan
Apanya yg melayang, bang? :O
[…] Selain memang memiliki objek-objek wisata budaya, sejarah, kuliner, seni, dan sosial di dalam kotanya, Yogyakarta juga sudah memiliki moda transportasi yang cukup baik melalui keberadaan jaringan Bus Rapid Transit (BRT) TransJogja dan beberapa bus kota lama yang masih beroperasi. TransJogja juga menjangkau Bandara Internasional Adi Sutjipto. Selain TransJogja, bandara juga terhubung dengan lintasan kereta api. Kereta api komuter Prambanan Ekspres akan mengantarkan pelancong dari bandara menuju Stasiun Lempuyangan dan Stasiun Tugu, dan sebaliknya. Keretanya cukup nyaman, dengan tempat duduk yang saling berhadapan, bekas Tokyo Metro seperti halnya Jakarta Commuter Line. […]
yang jadi masalah dengan kereta ini adalah
1. jadwal kedatangan kereta ini yang lama, kalau di singapura tiap tiga sampai lima menit ada, kereta datang
2. stasiun kereta ini tidak langsung terintegrasi dengan tujuan, misal di singapura skali naik mrt, ketika turun kita langsung bisa menuju tempat tujuan kita karena gate pintu keluarnya banyak, kita langsung masuk mall, kantor, rumahsakit dll melalui berbagai gate yang disediakan, sementara stasiun cuma 1 pintu keluar dan biasanya mau ke tempat tujuan masih harus jalan jauh atau naik angkot lagi
Tepat sekali, bro. Kenapa CL tidak dapat disebut MRT, karena frekuensi kedatangannya kurang rapat. Masih pakai jadwal.
Tapi kalau masalah pintu keluar stasiun, aku pikir itu adalah bonus. SMRT sudah dirancang dengan cerdas sehingga memudahkan mobilitas.
Terima kasih sudah mampir 🙂