Minggu, 17 Agustus 2014.
Gelap masih belum sepenuhnya terangkat. Langit pun masih belum lepas dari warna indigo yang kelam. Namun aku sudah harus memaksakan diriku terbangun. Susah payah membuka kelopak mata dengan kantuk yang masih menggelayut. Mengabaikan dinginnya udara pagi, aku menyiram tubuhku dengan air sebelum akhirnya bersiap-siap. Bukan untuk bergereja pagi seperti biasanya, tapi untuk berangkat ke Gunung Kidul bersama bapak dan ibu.
Semalam kami sudah mengepak barang-barang bawaan ke dalam tas dan kardus, jadi pagi ini kami tinggal menambahkan sedikit barang. Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di dalam bus Jogja – Wonosari. Terhimpit ruang sempit di antara kursi, penumpang lain, dinding bus, dan ransel 60L-ku sendiri di sudut paling belakang.
Bus mungil ini disesaki kaum komuter yang sudah biasa bolak-balik Yogyakarta – Wonosari setiap harinya. Dia meliuk-liuk dengan cukup hati-hati melalui jalanan khas pegunungan yang sempit. Jika ceroboh, bus akan meluncur tanpa hambatan ke bawah jurang yang menganga di sisi kiri jalan. Aku menikmati pemandangan dari balik jendela bus yang kusam, melihat kotak-kotak rumah dan petak-petak sawah yang terbentang jauh di bawah sana. Saat malam tiba, titik ini menjadi sebuah tempat berkumpul bernama Bukit Bintang yang populer di kalangan wisatawan dan anak muda lokal.
Memoriku bekerja. Terkenang masa saat aku dulu masih remaja, aku biasa ikut bapak dan ibu pulang kampung ke Gunung Kidul saat Idul Fitri. Aku masih bisa merasakan betapa senangnya menceburkan diri untuk mandi di Kali Oyo seperti yang warga desa lain lakukan. Sayang, saat ini kebiasaan tersebut sudah lenyap. Keberadaan fasilitas MCK yang sudah lebih baik di beberapa rumah membuat sungai perlahan ditinggalkan.
Karena saat ini Terminal Wonosari sudah dipindahkan ke lokasi baru, lebih luas dan lebih megah, kami bertiga turun di sebuah persimpangan. Dengan jasa tukang ojek yang sudah siap siaga di sudut simpang, kami bergerak menuju Pasar Wonosari. Di situ Lik Ngatiyo sudah menunggu kami dengan mobil colt-nya yang difungsikan sebagai angkutan umum. Lik Ngatiyo bukanlah bagian dari kerabat kami di Gunung Kidul, namun beliau tinggal berdekatan dengan rumah alm. kakek-nenek dan menjalin hubungan baik dengan kami.
Pagi itu hanya ada kami bertiga dan satu keluarga muda yang membawa anaknya yang masih kecil. Setelah seluruh penumpang siap di dalam mobil, paklik tidak menunggu waktu lama lagi untuk berangkat. Mobil melaju melalui jalanan beraspal mulus tanpa banyak hambatan. Kota kecil ini masih tenang dan jauh dari lalu lintas yang semrawut.
Lepas dari wilayah kota Wonosari, kami memasuki jalan pedesaan yang sempit, namun untungnya sudah berkualitas baik. Jalan sudah diaspal dengan halus, tak lagi berbatu-batu seperti belasan tahun lalu. Satu hal yang aku banggakan dari Yogyakarta adalah betapa provinsi ini memiliki infrastruktur yang baik untuk daerah-daerahnya. Tidak seperti di tempat aku merantau saat ini, di dalam kota saja banyak jalan berlubang.
Panorama klasik itu tersaji kembali. Hutan pohon minyak kayu putih terbentang luas dengan latar Pegunungan Sewu. Rumah-rumah warga dengan atap trapesium berdiri dengan renggang. Aku masih ingat, dulu aku dan beberapa anak desa sering main ke dalam hutan hanya untuk memetik beberapa helai daun minyak kayu putih. Menggosok-gosoknya pada telapak tangan, menghirupnya, tertawa-tawa senang bagai pecandu yang mabuk ganja.
Setibanya di rumah, mbokdhe menyambut kami dengan tubuh rentanya yang sudah payah. Pakdhe Ngatijo (kakak ibuku) belum pulang, masih bergelut di bawah terik matahari mencari rumput untuk pakan sapi dan kambingnya. Kami bertiga lalu bersilaturahmi dengan empat rumah lain di sekelilingnya. Mereka memang masih berkerabat dengan kami. Tapi jangan tanya bagaimana struktur hierarki kekerabatan ini, aku pun tak terlalu paham. Hahaha. Aku hanya paham satu rumah yang berisi keluarga dari keponakan ibuku dan satu rumah lagi berisi kakak perempuan ibu (mbokdhe… entah, lupa namanya) dengan suaminya.
Menjelang sore, aku diajak mas Supri ikut menyaksikan lomba desa yang bertempat di Klayar Reservoir. Aku memanggilnya “mas”, karena aku tak tahu pasti harus memanggilnya “pakdhe” atau “paklik”. Jujur, aku tak paham bagaimana hubunganku dengannya. Tolong jangan pecat aku dari garis silsilah, nanti aku coba Googling deh.
Entah bagaimana warga desa menyebut nama Klayar Reservoir ini. Nama ini aku ketahui dari papan penunjuk jalan. Dulu, reservoir ini hanyalah sebuah bendungan biasa.
*Bener kan ya ini bendungan?*
Tapi kemudian ada pihak yang mempercantik bendungan ini. Kini sudah ada beberapa gazebo di tepi bendungan dan sebuah perahu untuk berkeliling. Biasanya tempat ini digunakan sebagai tempat pemancingan, namun saat ini digunakan sebagai arena perlombaan. Ada beberapa penjual makanan, seperti mi ayam dan tukang es, entah mereka memang biasa berjualan di situ atau tidak.
Kami bertiga (bersama anak mas Supri yang masih balita, Tio) hanya melihat dari seberang. Padahal Tio sudah merengek ingin mendekat.
Sayang, kami datang saat matahari saat bersinar terik. Tempat ini sepertinya nyaman untuk menghabiskan waktu saat sunset atau sunrise. Menikmati detik-detik tenggelamnya sang surya di kaki langit, menenangkan diri dengan air yang bergerak tenang, sambil menenggak segelas es minuman bersoda. Tapi… hei, ini ‘kan di desa. Orang desa macam apa yang malah santai-santai menikmati sunset sementara keluarganya sibuk di kandang atau di ladang?
…
Tak lama kemudian, kami berdua kembali ke rumah. Tio dittipkan kepada kakaknya yang ada di tempat kejadian perkara. Aku diberitahu bahwa sebenarnya desa kami ini cukup dekat dengan objek wisata Goa Pindul yang populer itu. Sekitar 20-30 menit berkendara, atau 5 jam menunggang sapi. Dari papan petunjuk juga, aku tahu ada sebuah air terjun yang ada di daerah ini. Namun, aku agak sungkan untuk meminta mereka mengantarkanku ke sana. Mereka seperti sibuk setiap saat, selalu ada yang dikerjakan dari pagi hingga sore.
Malamnya, kami dijamu dengan menu tongseng kambing, ayam goreng, dan beberapa menu pelengkap lainnya yang sebenarnya disiapkan untuk acara nyewu besok malam. Nikmat 🙂
eh drimu pernah ke Jepang belum?
Belum, kak 😦
Kenapah?
mw nanya nagoya
Coba tanya ke Febri atau mas Fahmi
fahmi pernah ya
Pernah. Lama pulak.
November ini Jogja masih kemarau. Kalau sudah masuk musim hujan saatnya saya keliaran lagi ke air terjun yg dirimu sebut dekat sana, hahaha.
Hahaha. Aku tunggu fotonya aja deh, penasaran tapi nggak bisa ke sana :3
Waah.. Gunungkidul, kita berasal dari tanah kelahiran yang sama bro.. baca tulisanmu jadi pengen mudik juga nih
Aku lahir di Jogja sih mas, hehehe. Ibu asli Gunung Kidul. Makasih ya udah mampir 🙂
Nyantai banget suasananya… Jadi kepingin singgah ke sana, ehmm kapan dirimu mudik? biar bisa ikutan liburan ke kampung Gunung Kidul hehehehe
Hahaha. Sebenernya bulan ini bapak sama ibu mau ke sana lagi, njagong manten. Tapi aku ra melu, mas 😦
Home is where the heart is 🙂
Bahwa sejauh apa pun kita merantau, rumah tetap menunggu dengan segala isinya, untuk dikenang dan dinikmati kembali.
Membaca tulisan ini membuat saya ingin cepat-cepat pulang kampung 😀
Nice quote 🙂
Kampungnya di mana, bro? Sekarang merantau di mana?
Saya asli NTB, bro.
Sekarang merantau di Jakarta 🙂
Wow, jauh juga ya. Nggak apa2. Karena dengan merantau, kita jadi tau rasanya merindukan rumah dan keluarga 🙂
Yep, bener banget 😀
Reblogged this on DHITA AMELIA.
aku suka pantai2 di daerah gunkid… cakep2, walo ga bisa utk berenang… 🙂 ..kalo goa pindulnya, udh prnh jg, tp cukup sekali deh… soalnya ga menantang adrenalin 😀
Iya emang cakep-cakep. Nggak kalah sama yang di Bali 🙂
Oh iya nggak menantang adrenalin? Gue juga belum pernah sih *gubrak*
[…] memang memiliki objek-objek wisata budaya, sejarah, kuliner, seni, dan sosial di dalam kotanya, Yogyakarta juga sudah memiliki moda transportasi yang cukup baik melalui […]
wooo smangat kak ^^
[…] Baca ceritanya di: Terlambat Pulang […]