Menikmati Bekerja di Co-working Space Publik dengan Bekal dari Istri

Salah satu bekal makan siang buatan Ara: udang balado dan cap cay

Beberapa minggu terakhir ini, saya sedang menikmati bekerja di sebuah fasilitas publik bernama Bandung Creative Hub (BCH). Eh, maksudnya bukan sebagai karyawan BCH, tapi BCH ini adalah fasilitas publik yang dibuat oleh pemerintah untuk menjadi wadah berkarya bagi insan-insan kreatif Bandung Raya. Salah satunya adalah sebuah co-working space yang terbuka untuk umum, gratis!  

Jadi, karena saat ini kantor saya masih menganut paham Work From Anywhere (WFA), saya memanfaatkan co-working space BCH sebagai working station saya.  

Fasilitas co-working space Bandung Creative Hub cukup lengkap nyaman, sudah termasuk stopkontak, wifi, dan meja-kursi kerja yang nyaman. Kurangnya adalah: tidak ber-AC, tidak ada air minum, tidak ada makanan. Akhirnya, istri saya, Ara, memutuskan untuk membawakan saya bekal makan siang untuk saya bekerja. 


Bekal Makan Siang yang Penuh Makna 

Bekal yang Ara bawakan tak hanya sekotak nasi dan lauk pauknya yang seringkali ia tata dengan manis. Ara juga menyertakan sekotak camilan, kopi, buah, dan tentu saja air minum (dingin dan panas). Buatnya, membawakan bekal makan siang bukan untuk mengelola keuangan rumah tangga, namun wujud kehadirannya selama saya bekerja. Meski dia tak ikutserta, namun hadirnya tetap terasa. 

Tanpa saya sadari, bekal makan siang ini ternyata memberikan banyak kebaikan untuk saya sendiri dan bumi ini. 

Suasana meja kerja saya di Bandung Creative Hub, air mineral itu dibeli karena Bandung sedang panaass!

Pertama, membawa bekal makan siang sendiri berarti bisa dengan mudah menyesuaikan menu yang dibuat dan porsi yang diberikan. Ara sudah hafal betul makanan apa saja yang mau saya makan 😅 Hasilnya, tidak ada makanan yang terbuang. Kalau beli makan di luar, seringkali kita harus pasrah dengan porsi yang disajikan, jadi kadang membuatnya terbuang karena kekenyangan atau rasanya kurang cocok. 

Kedua, membawa bekal makanan (dan minuman) berarti juga meminimalisir sampah. Nyaris tidak ada sampah bungkus makanan, sendok plastik, sedotan, botol plastik, dsb, hanya di saat-saat tertentu saja ketika saya butuh doping tambahan untuk menjalani hari. Saya jadi tidak menambah sampah plastik dan makanan yang sudah menumpuk di bumi ini 😂 

Dari dulu, saya cukup concern dengan kebiasaan menghabiskan makanan. Sebisa mungkin saya habiskan, kecuali benar-benar sudah sangat kenyang atau susah makannya. Tingkat penerimaan saya terhadap rasa itu tinggi, jadi saya biasanya nggak menyisakan makanan karena alasan rasa. Momen saya menyisakan makanan adalah karena nggak bisa makannya, misalnya ikan utuh karena nggak suka bagian kepalanya, makanya saya juga menghindari makanan-makanan seperti itu. 

Dari online gathering yang diadakan Eco Blogger Squad kemarin Jumat, 20 Oktober 2023, saya baru tahu bahwa limbah makanan rumah tangga justru lebih tinggi daripada yang dihasilkan rumah makan atau retail. Fakta ini disampaikan oleh kak Jaqualine Wijaya dari Eathink selaku salah satu pembicara dalam kegiatan itu.  


Budaya Makan yang Berkelanjutan 

Banyak dari kita yang belum tahu, termasuk saya, bahwa ternyata pemilihan menu makan kita juga berpengaruh pada lingkungan. Konsumsi makanan dengan gizi seimbang tak hanya baik untuk tubuh kita, namun juga untuk bumi. Inilah yang disebut dengan sistem pangan berkelanjutan, alias sustainable food system. Sistem ini menjaga ketahanan pangan dan gizi sedemikian rupa sehingga ekonomi, sosial, dan lingkungan terjaga. Dengan kata lain, sistem pangan berkelanjutan menjaga agar stok makanan bernutrisi tetap tersedia di masa depan untuk generasi mendatang. 

Untuk mewujudkan ketahanan pangan ini, ada 3 isu utama yang perlu dituntaskan: pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), tantangan kecukupan gizi (nutritional challenge), dan sampah makanan (food loss/food waste). PR kita nggak main-main, karena ternyata 1/3 dari emisi gas rumah kaca dunia dihasilkan dari kegiatan produksi makanan! Lebih spesifik, jejak karbon dari produk-produk hewani ternyata 10-50x lebih tinggi daripada produk-produk nabati. 

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai konsumen untuk mendukung terwujudnya sistem pangan berkelanjutan ini? Dari pemaparan kak Jaqualine, saya ringkas dalam 4 poin: 

  • Mulai pola makan sehat dan ramah lingkungan 
  • Perhatikan label pada makanan 
  • Hindari makanan terbuang ke tempat pembuangan sampah 
  • Ubah narasi menjadi lebih positif. 

Pola makan sehat dan ramah lingkungan diperkirakan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 40-76% di tahun 2030. Konsumsilah hasil pangan lokal musiman, perbanyak komposisi sayuran atau buah, dan pilih bahan pangan yang berlabel organik dan semacamnya. Untuk menghindari makanan yang terbuang, kita bisa membuat rencana makan, daftar belanjaan, mengelola penyimpanan makanan, dan memanfaatkan sisa-sisa makanan untuk diolah lagi. 


Ragam Inisiatif Anak Muda untuk Menjaga Alam Indonesia 

Jaqualine dan teman-teman Eathink bukan satu-satunya inisiatif yang lahir dari anak muda Indonesia untuk menjaga alam nusantara. Dalam online gathering tersebut, hadir juga kak Cerli Febri Ramadani selaku Ketua Sentra Kreatif Lestari Siak (SKELAS) dan kak Amalya Reza selaku Manajer Bioenergi di Trend Asia. Cocok lah dengan tema yang diangkat dalam kegiatan hari itu, Semangat Orang Muda Menjaga Bumi Indonesia. 

SKELAS adalah sebuah sentra kreatif yang mengembangkan inovasi produk lokal sehingga mewujudkan kelestarian alam, budaya, dan bahkan perekonomian masyarakat. Tak hanya sebagai wadah promosi dan jembatan komunikasi, SKELAS juga menjalankan peran sebagai pusat inkubasi, akselerasi, agregator, data, dan informasi. Salah satu contoh programnya adalah Siak Hijau yang merupakan kerjasama komunitas dengan pemerintah setempat. 

Mungkin sudah banyak dari kita yang tahu bahwa kabupaten Siak, Riau, adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan masalah deforestasi dan kebakaran hutan, terutama kebakaran lahan gambut. SKELAS berupaya untuk mempertahankan kelestarian wilayahnya. Jika tidak bisa menghentikan ulah oknum-oknum nakal yang menyalahgunakan lahan gambut, maka setidaknya bisa mengatasi masalah yang mereka timbulkan. Sebagai contoh, SKELAS membantu promosi dan pemasaran Puan Pina, sebuah produk minuman nanas berkualitas produksi UMKM setempat yang melibatkan mitra kebun petani lokal dan kelompok wanita tani. Produk ini mampu mencegah kebakaran hutan dan lahan lho. 

Sementara itu, kak Amalya Reza fokus menggaungkan tentang bioenergi dari materinya. Bioenergi adalah sumber energi terbarukan yang berasal dari bahan organik, biasa kita sebut biomassa. Material organik ini lalu diubah menjadi panas, listrik, biogas, dan bahan bakar cair. Sayangnya, rupanya di negeri ini berlangsung praktek pembakaran hutan dengan kedok bioenergi. He?

Namanya adalah co-firing biomassa, yaitu metode pencampuran batubara dengan biomassa seperti pelet kayu, pelet sampah, serbuk kayu, cangkang sawit, serbuk gergaji, dan sekam padi yang diklaim lebih hijau. Nah, produksi biomassa skala besar seperti ini justru mengancam kelestarian lingkungan kita karena mendorong penggunaan lahan dan pembakaran hutan besar-besaran. Biomassa yang dicampur batubara ini tidak mengurngi paparan polusi yang sudah lebih dulu diderita warga. Klaim palsu seperti ini perlu diluruskan agar masyarakat tidak salah kaprah dan bisa segera bertindak bersama. 

Salut untuk mereka, Para Pejuang Hutan, yang tetap menjaga rimba, melestarikan sumber pangan lokal, dan mengelola lahan agar terus berkelanjutan. Kak Amalya juga menyerukan ajakan untuk membela masyarakat adat (indigenous community) karena mereka lah yang menjaga tanah adat tetap lestari. Duh, saya jadi ingat materi online gathering pertama #EcoBloggerSquad yang membahas tentang Peran Masyarakat Adat


Saya memang tipe orang yang lebih nyaman dengan sistem Work From Office (WFO) karena membutuhkan tempat yang kondusif untuk bekerja, baik sebagai karyawan digital agency maupun blogger/content creator. Setelah mencoba bekerja di rumah selama 9 bulan, mulai jenuh, nggak bisa terus-terusan ngafe karena tekor, sementara anak-anak kantor masih seneng-seneng aja kerja di rumah, akhirnya saya mencoba ke Bandung Creative Hub sesuai rekomendasi salah satu teman kantor dan ternyata cocok! 

Edisi ayam lada hitam yang enak bangeeettt berasa buatan resto!

Dengan saya mengurangi work from cafe (WFC) dan membawa bekal istri, saya sudah melakukan langkah untuk menjaga kelestarian lingkungan. Saya mengurangi emisi yang timbul dari proses memasak, mengurangi penggunaan material plastik, dan mengurangi potensi bertambahnya limbah makanan. Dompet saya aman, lingkungan pun juga nyaman.  

Bandung Creative Hub (BCH) tidak menyediakan air minum dan makanan, jadi semua harus dipersiapkan sendiri. Ada beberapa penjual makanan, tapi berarti harus beranjak dari kursi. Sebagai fasilitas publik gratis, siapa pun bisa menempati kursi kosong di situ, tak ada jaminan kursi kita tetap kosong setelah ditinggal. Sementara kalau meninggalkan semua barang di situ juga terlalu berisiko, meski rasanya hal itu sudah lumrah dilakukan oleh pengguna co-working space BCH. Area co-working space ini menempati bagian depan resepsionis, jadi semiterbuka dan tidak ada AC. Nah, bertambah lagi manfaat untuk lingkungan dengan saya bekerja di Bandung Creative Hub 🙂 

Sebagai anak muda, ada banyak inisiatif yang bisa kita lakukan untuk menjaga alam Indonesia. Kita tak perlu melulu membuat sesuatu yang baru. Bergabunglah dengan komunitas dan pergerakan yang sudah berjalan. Manfaatkan keistimewaan kita akan akses teknologi komunikasi dan informasi agar bumi tetap lestari. Keep learning by traveling~ 

2 komentar

  1. avatar Fanny Fristhika Nila
    Fanny Fristhika Nila · · Balas

    Asiiik juga ada tempat gratis yg bisa digunakan utk kerja begitu ya mas. Ga masalah sih kalo ga ada jual makanan minuman dan lainnya. Yg penting kan perlengkapan kerja kayak colokan dan wifi ada.

    Memang sebaiknya bawa sendiri bekal dr rumah sih. Dulu zaman aku kerja, juga prefer bawa, selain hemat budget lunch, aku lebih percaya rasa makanan di rumah.

    Sejak banyak baca ttg sampah makanan yg menyebabkan emisi rumah kaca dan kerusakan lingkungan lainnya, jadi mikiiiir banget utk buang makanan. Sebisa mungkin apa yg ku masak, ya harus habis. Kalo hari ini sisa, besoknya hrs dihabiskan. Dan aku ga bakal masak dulu. Anak2 juga aku biasain utk ga buang2 makanan.

    Krn efek rumah kaca tadi, juga bentuk bersyukur Krn masih bisa makan 3x sehari. Kdg aku KSH contoh anak2 di negara yg sedang berperang. Ga ada makanan, minuman, atau di negara miskin Afrika. Biasanya mereka langsung mau makan sih kalo aku udh bawa2 topik itu.

    1. avatar Matius Teguh Nugroho

      Asik betul, mbak. Pas pertama kupikir nggak akan betah, ternyata malah suka. Aku udah merasa BCH ini ruang kerjaku.

      Meski sekadar 3-4 jam, ketika butuh tempat buat fokus kerja aku akan ke sini haha.

      Yuk yuk lebih perhatikan lagi apa yang kita makan untuk kelestarian lingkungan.

Like atau komentar dulu, kak. Baca tanpa komentar itu kayak ngasih harapan semu :D

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Matius Teguh Nugroho

keep learning by traveling

Duo Kembara

Cerita Si Kembar dan Mommy Ara menghadirkan kebaikan

Lonely Traveler

Jalan-jalan, Makan dan Foto Sendirian

Guru Kelana

Perjalanan sang guru di berbagai belahan dunia

dyahpamelablog

Writing Traveling Addict

Daily Bible Devotion

Ps.Cahya adi Candra Blog

bardiq

Travel to see the world through my own eyes.

Teppy & Her Other Sides

Stories, thoughts, places...

Mollyta Mochtar

Travel and Lifestyle Blogger Medan

LIZA FATHIA

a Lifestyle and Travel Blog

liandamarta.com

A Personal Blog of Lianda Marta

D Sukmana Adi

Ordinary people who want to share experiences

papanpelangi.id

sebuah blog perjalanan

Guratan Kaki

Travel Blog

Omnduut

Melangkahkan kaki ke mana angin mengarahkan

BARTZAP.COM

Travel Journals and Soliloquies

Bukanrastaman

Not lost just undiscovered

Males Mandi

wherever you go, take a bath only when necessary

Eviindrawanto.Com

Cerita Perjalanan Wisata dan Budaya

Plus Ultra

Stories and photographs from places “further beyond”.

backpackology.me

An Indonesian family backpacker, been to 25+ countries as a family. Yogyakarta native, now living in Crawley, UK. Author of several traveling books and travelogue. Owner of OmahSelo Family Guest House Jogja. Strongly support family traveling with kids.

Musafir Kehidupan

Live in this world as a wayfarer

Cerita Riyanti

... semua kejadian itu bukanlah suatu kebetulan...

Ceritaeka

Travel Blogger Indonesia

What an Amazing World!

Seeing, feeling, and exploring places and cultures of the world

Winny Marlina

Winny Marlina - Whatever you or dream can do, do it! lets travel

Olive's Journey

What I See, Eat, & Read

tindak tanduk arsitek

Indri Juwono's thinking words. Architecture is not just building, it's about rural, urban, and herself. Universe.

dananwahyu.com

Menyatukan Jarak dan Waktu