And the story continues…
Puas makan di Yougwa Restaurant, sejatinya gue berminat menjelajah Hutan Muara Angke dan Pelabuhan Sunda Kelapa (berikut Museum Bahari, kampung Luar Batang, dan kampung Tugu). Mematuhi petunjuk jalan yang diberikan seorang tukang parkir, gue naik angkot merah dari seberang jalan dan berhenti di shelter Transjakarta Pulomas. Gue tanya lagi petunjuk menuju Muara Angke dari petugas shelter, yang menginstruksikan saya untuk naik bus ke arah Kalideres. Gue sempet beberapa kali ketinggalan bus, karena bingung gimana memastikan bus yang bener. Tidak ada petunjuk arah atau nomor yang tertera di jendela depan bus, seperti yang ada di bus Transjogja.
Beberapa menit kemudian, setelah gue paham bahwa gue harus naik bus yang ke arah Harmoni, lalu memastikan kembali kepada kenek bus yang sedang berhenti, gue pun naik. Gue berdiri berdesak-desakan di dalam bus dalam kondisi memakai jaket, membawa sebuah tas ransel yang berat seberat beban kehidupan gue, dan sebuah tas kecil yang digantungkan di bahu. Ribet yes. Gue bener-bener nggak nyaman di dalam bus.
Agak lama untuk akhirnya sampai di shelter Harmoni, yang ternyata merupakan sebuah shelter sentral. Ukurannya jauh lebih luas daripada shelter yang biasa, dan tentu saja: ORANGNYA JUGA JAUH LEBIH BANYAK!!! Mataku menyipit memandang puluhan bahkan ratusan orang berdesak-desakan mengantri untuk bisa naik sebuah bus Transjakarta. Hati-hati, jangan sampai salah mengantri, ada banyak koridor dan jurusan yang melintas.
Gue dan puluhan calon penumpang lainnya berebut masuk ke dalam bus Transjakarta yang menuju Grogol. Lagi, bus dalam keadaan penuh sesak, nyaris tanpa ruang gerak. Bahu, pundak, kaki, semuanya pegel. Pegel bawa beban berat, pegel terus-terusan berdiri. Sungguh bukan sebuah moda transportasi yang nyaman dan cepat untuk sebuah ibukota yang sekaligus menjadi kota terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.
Dalam perjalanan menuju Grogol, bus melintasi Monas, Masjid Istiqlal, dan Gereja Katedral yang rencananya akan gue kunjungi besok. Sempet terpikir apakah gue berhenti aja dan sedikit mengubah itinerary, tapi gue memutuskan untuk terus jalan sampai Muara Angke. Sampai di shelter Grogol, gue masih harus naik angkot Muara Angke. Lega banget deh akhirnya bisa duduk dan bisa meletakkan tas barang sekejap, meski hanya di dalam angkot yang sederhana. Pak sopir agak bingung saat gue mengatakan Taman Muara Angke (karena nama panjangnya adalah Taman Suaka Margasatwa Muara Angke). Dibilangnya, “Di Muara Angke nggak ada taman.” Baru setelah gue jelasin hutan Muara Angke, dia akhirnya ngerti, “Oh, Pantai Indah Kapuk.”
Rupa-rupanya angkot Muara Angke ini tidak mengantarkan gue sampai tujuan. Gue diminta turun di sebuah persimpangan lalu naik angkot Muara Angke yang lain (kalau nggak salah, Muara Karang – Muara Angke). Oke, GUE NYERAH!!! Gue udah capek banget. Kaos gue udah basah oleh keringat. Yang pengen gue lakukan sekarang adalah duduk, atau tiduran, sambil menenggak sebotol air minum dingin. Waktu pun sudah menunjukkan sekitar pukul 16.00. Sudah sangat sore juga untuk sebuah kunjungan ke Hutan Muara Angke.
Setelah membeli sebuah minuman isotonik dingin dari sebuah minimarket ternama, gue lantas menyetop taksi. Nggak peduli mau berapa biayanya, pokoknya gue mau langsung ke Jl. Gadjah Mada aja buat cari hotel, terus istirahaaattt!!! I’m so exhausted! Bah!
Enak banget rasanya duduk di dalam taksi. Udara sejuknya mampu mengangkat rasa letih yang mendera raga. Aku biarkan tas ransel dan tas selempangku terkulai di sisiku. Taksi melaju anggun membelah jalanan ibukota, melalui Museum Bahari dan Pelabuhan Sunda Kelapa yang seharusnya bisa aku sambangi hari ini. Yah, setidaknya aku sudah berhasil melewatinya, sekedar melambaikan tangan sebagai ungkapan “Halo” dan “Udah ya” sekaligus.
Tak lama setelah melalui Stasiun Jakartakota dan Jalan Pintu Besar Selatan, gue sampai di Jl. Gadjah Mada. Dengan seteliti mungkin, gue perhatikan bangunan-bangunan di kedua sisi jalan, tak ingin melewatkan Hotel Mustika — hotel murah yang berhasil gue ketahui dari hostelbooker dan hostelworld. Perjalanan menuju hotel ini harus ditebus dengan kocek sebesar Rp 44.000,00. Well, nggak semahal yang gue kira lah. Gue udah siap ngeluarin duit di atas Rp 50.000,00 soalnya.
Gue melangkah ke dalam hotel dengan berani dan penuh kepercayaan diri. Aroma dupa menguar menusuk hidung, sementara beberapa bapak-bapak chinese sedang berbincang-bincang dengan bahasa Hokyan. Sampai di depan meja resepsionis yang dijaga oleh seorang wanita berwajah lokal, gue menanyakan ketersediaan kamar. Sayang sekali udah penuh 😦
Tak habis akal, gue keluar dan berjalan menyusuri Jl. Gadjah Mada menuju Jl. Pintu Besar Selatan. Sepenglihatan gue tadi, ada beberapa hotel (yang kayaknya hotel murah) di kawasan tadi, termasuk sebuah hotel yang informasinya tertera di Agoda. Langkah gue terhenti di depan sebuah papan bertuliskan “Hotel Pancoran Jaya”, hotel terdekat yang gue capai. “Coba masuk deh, siapa tahu murah dan masih ada kamar kosong.”
Bangunan hotel sedikit menjorok ke dalam, dibagi menjadi dua bangunan yang dipisahkan oleh sebuah lahan cukup luas yang digunakan sebagai tempat parkir. Gue masuk ke bangunan sebelah kiri, menghadap meja resepsionis yang dijaga oleh 2 wanita muda. Mereka bertanya, “Mau nginep, mas? Kalau mau nginep di belakang,” sembari mengarahkan tangannya ke tempat yang harus gue tuju. Seorang room boy bermuka suram dengan sigap mengantarkanku menuju tempat yang dimaksud, melalui sebuah lorong temaram yang dihiasi dengan ornamen-ornamen ala Cina yang menempel di dinding hijaunya.
Jebrettt! Ada meja resepsionis lagi. Setelah mengutarakan niat gue untuk menginap, gue lalu diberi sebuah “kertas menu” yang berisi pilihan tipe kamar yang tersedia. Sekilas, gue melihat tulisan “Mini Stay” di lembar menu itu, yang berlaku untuk masa tinggal selama 6 jam. Hmm, buat apa sih pesen hotel cuma buat 6 jam? Pikir gue. Gue mulai sedikit rasa curiga.
Sayang kamar murah yang harganya di bawah Rp 150.000,00 udah nggak ada. Akhirnya gue memilih tipe kamar termurah yang tersedia seharga Rp 178.000,00. Nah, karena uang di dompet gue nggak ada jumlah segitu, dan si mbak dengan tegas meminta harus dilunasi saat itu juga, gue terpaksa bergegas keluar dan menghampiri sebuah mesin ATM bank nasional.
Mas-mas room boy bermuka suram tadi mengantarkan gue menuju kamar 25 yang terletak di lantai 3. Dan, voila! Kamarnya lumayan. Selain menyediakan ranjang spring bed yang bisa digunakan untuk 2 orang, kamar juga dilengkapi dengan fasilitas TV 14 inch, AC, meja kursi, kamar mandi shower dan WC duduk, dan seperangkat alat sholat alat mandi seperti sabun, odol, sikat gigi, dan handuk.
Aku biarkan sang petugas meninggalkanku seorang diri di dalam kamar asing ini. Tubuhku terbaring lemas di antas ranjang yang empuk, merasakan rasa letih yang perlahan pergi dari setiap sendi dan otot tubuhku. Aku biarkan si pendingin udara membelaiku, mengangkat keringat lembab yang menyelimuti sekujur tubuh. Selama beberapa menit ke depan, aku hanya terbaring diam di bawah langit-langit kamar, bertelanjang dada, ditemani kesunyian.
Dari perjalanan sia-sia hari ini, gue mengambil kesimpulan, bukanlah hal bijak (seenggaknya buat gue) untuk berjalan-jalan membawa tas punggung berat di sebuah kota yang besar, yang belum memiliki sarana transportasi yang memadai. Kayak Jakarta ini. Lain cerita kalau jalan-jalannya di Singapore atau Kuala Lumpur. Akan lebih baik lagi kalau ada warga lokal (misalnya temen atau saudara) yang mau jadi pemandu gratisan, yang bisa diajak menjelajah Jakarta dengan sepeda motor. Tips lainnya, coba fokus dengan satu kotamadya dulu, atau daerah yang saling berkaitan. Secara Jakarta ini gede, lima kotamadya yang dilebur ke dalam satu region, harus pinter-pinter menyusun itinerary biar nggak tua di jalan.
“Istirahat aja dulu deh. Baru nanti malem ke Kota Tua,” pikir gue.