Halo, backpacKeren dan travelista. Saatnya melanjutkan cerita perjalanan singkat saya di Jakarta beberapa hari lalu.
Hari sudah beranjak malam, saya mengakhiri sesi leyeh-leyeh dan bergerak ke kamar mandi Hotel Pancoran Jaya. Airnya suam-suam kuku, hangat enggak, dingin juga enggak, tidak semantap air di hotel The BnB Kelapa Gading. Yeah, you’re in budget hotel now, what do you expect?
Berlagak ala orang kaya ibukota yang biasa ke mana-mana dengan hanya mengenakan kolor dan celana oblong, ditambah sebuah tas selempang kecil berisi handycam Spectra DX10 dan barang-barang lainnya, saya berjalan keluar kamar. Fyi, handycam ini merupakan buah perjuangan saya dari sebuah kontes travelblog yang diselenggarakan oleh Voucher Hotel beberapa bulan lalu. Kualitasnya nggak bagus-bagus amat sih, tapi lumayan untuk mendokumentasikan cerita perjalanan saya dalam wujud video. Malem ini, saya mau jajal buat foto-foto di Kota Tua.
Sampai di depan gang, saya menanyakan petunjuk arah pada bapak-bapak yang kebetulan lagi ada di situ. Syukurlah Kota Tua ternyata sangat dekat dengan lokasi hotel. Benarlah, sekitar 5 menit kemudian, saya sudah sampai di Gedung Museum Bank Mandiri dan Museum Bank Indonesia. Saya baru tahu dua museum itu ada di kawasan Kota Tua juga. Sebuah keuntungan karena besok saya bisa puas eksplor tanpa jauh-jauh naik busway yang sumpek!
Sepeda-sepeda motor diparkir dengan rapi di sepanjang kanan jalan. Oh iya, sekarang malam minggu, Kota Tua pasti ramai. Saya melenggang masuk ke dalam Kawasan Pejalan Kaki Kota Tua, melalui sebuah jalan kuno yang minim pencahayaan dan menjadi tempat tukang-tukang ramal dan seniman-seniman jalanan menjalankan aksinya. Menarik 😉
Saya terus berjalan, melalui trio idiot bule cowok yang kompak mengenakan kaos tanpa lengan dan celana kolor, tampak agak kebingungan di depan sebuah toilet ke-mana-saja. Akhirnya salah satu dari mereka memutuskan untuk masuk ke dalam. Mungkin mereka tadi sedang berpikir, “Ini toiletnya oke nggak ya buat buang hajat?” Bisa jadi! Bisa jadi!
Sampailah saya di sebuah ruang lapang, semacam plaza, yang agaknya menjadi pusat kehidupan di Kota Tua ini. Orang-orang berkumpul di situ, nongkrong sambil tertawa-tawa, foto-foto, ngobrol-ngobrol, nembak gebetan, atau nonton pertunjukkan debus. Plaza dikelilingi oleh bangunan-bangunan klasik peninggalan Belanda, seperti Museum Wayang (wah, di sini juga? fix besok saya harus eksplor Kota Tua lagi), Cafe Batavia, dan Kantor Pos.
Satu hal yang membuat saya agak syok di Kota Tua. Ternyata Kota Tua tidak sebersih dan setertib yang saya kira. Sampah berserakan di mana-mana. Tenda-tenda putih dan acara musik modern berdiri di tengah plaza, yang menurut saya, mengganggu nuansa klasik di Kota Tua ini. Sementara untuk para pedagang, saya malah tidak masalah, mereka dibutuhkan untuk meramaikan suasana, dengan catatan mereka tetap menjaga kebersihan. Sayang banget, Kota Tua yang cantik ini harus ternoda dengan sampah ulah orang-orang bodoh dan egois yang tidak bertanggungjawab. Tengoklah Vietnam, atau Kamboja, yang meskipun belum semaju negara kita, namun mereka menjaga dan merawat bangunan-bangunan bersejarahnya dengan baik. Mudah-mudahan Pak Jokowi baca blog saya ini.
Bergerak ke sisi kanan, saya mendapati sebuah spot yang difungsikan sebagai sebuah pujasera dengan aneka menu kuliner Indonesia. Pas banget! Karena saya memang belum makan. Beberapa menit berjalan mondar-mandir demi menentukan pilihan, akhirnya saya putuskan untuk makan di sebuah gerai paling ujung yang menjajaka Lontong Sayur. Selain karena di situ sedang tidak ada orang (saya nggak mau makan sendirian sementara pengunjung yang lain asyik makan dengan pacar atau geng labil mereka), saya juga agak penasaran dengan lontong sayur, ditambah sedikit rasa kasihan kepada penjualnya yang terus berkoar-koar tanpa hasil, hehe. Lontong sayurnya enak sih, porsi ayamnya cukup besar, dengan harga yang saya rasa terjangkau.
Selain pujasera, ternyata Kota Tua saat malam minggu juga memiliki pasar kaget. Yah, ukurannya jauh dari ukuran pasar yang sesungguhnya, tapi yang jelas ada satu spot difungsikan sebagai tempat berjual-beli barang-barang murah. Ada baju, asesoris, sampai spiker abal-abal juga ada. Sayang nggak ada celana dalam, padahal saya mau beli, secara saya 3 hari di Jakarta nggak bawa pakaian dalam #pffft
Sebuah kali mengalir di salah satu tepi Kota Tua, membelah di antara dua deret gedung-gedung tua yang eksotik. Di sepanjang tepi sungai, pengunjung duduk lesehan untuk bersantap malam atau sekedar nongkrong-nongkrong galau. Lagi, sangat disayangkan kalinya kotor dan jorok, bau busuk menguar dan mengurangi kenikmatan berjalan santai menyusuri Kota Tua. Andai Kota Tua ini bersih, ditambah dengan sungai bebas sampah, tempat ini akan menjadi sebuah destinasi wisata yang sempurna bagi penggemar arsitektur dan sejarah.
Langit yang sudah berawan terlihat semakin kelam diselimuti awan mendung. Saya yang tadinya berencana meneruskan perjalanan ke Monas dan sekitarnya, terpaksa mengurungkan niat dan berjalan dongkol menuju hotel seiring dengan rintik-rintik air yang mulai berjatuhan ke bumi. Mungkin bisa saja sih kesampaian ke Monas, kalau saja saya tidak membuang-buang menit-menit berharga dengan berputar-putar mengelilingi shelter Transjakarta Kota yang entah di mana pintu masuknya. Mungkin itu cara Tuhan mencegah saya kehujanan di Monas.
Baca tulisan gue sebelumnya? Ingat gue sempat menaruh curiga terhadap hotel ini? Ternyata kecurigaan gue terbukti. Hotel ini memang tempat “begituan”. Saat gue lagi beristirahat sambil mencari-cari acara televisi yang oke, tiba-tiba aja gue menemukan sebuah saluran yang menampilkan adegan bercinta sepasang cewek lesbian dalam keadaan telanjang bulat! Apa yang terjadi selanjutnya? Nggak usah dibahas ya, nggak penting 🙂
Ternyata hasil jepretan Spectra DX10 ini kurang bagus. Meskipun warnanya lebih natural daripada Sony Xperia E Dual gue, tapi lebih redup, dan kecepatannya rendah saat menangkap gambar. Mobil yang sedang melaju akan ditangkap dalam keadaan blur. Fix gue harus beli kamera digital poket yang bagus tapi di bawah 2 juta. Ada rekomendasi 🙂
Sayang sekaliya klo kotor begitu..jadi terkesan kurang terawat..
Yup. Padahal katanya udah ditata Jokowi, tapi ternyata masih kotor.
padahal kota tua bagus lhoo, mirip batavia jaman dulu, saya suka -,- sayang kadang yang dateng kayaknya sering seenaknya buang sampah.
Nggak ada tempat sampah juga kayaknya, mas. Nggak lihat sih, ngumpet kali yak.
ahh, iya dulu pas ke sana pertama kali juga pusing nyari tempat sampah 😐
tapi sekarang lumayan bersih lho kalo siang hari. dulu (tahun 2007-an) kalau mau foto2 di depan museum fatahilah harus beli minuman biar ga diganggu penjualnya yg nguntit terus. kalau saya belum pernah ke kota tua di malam hari. sepertinya seru juga wisata malam, mungkin bisa sekalian uji nyali. hehehe
Waktu itu siang hari juga masih kotor, mas. Ehehe.
[…] kota tua akan selalu menarik untuk gue kunjungi karena pasti memiliki seabrek bangunan kuno yang indah, […]
[…] halnya dengan kawasan Kota Tua. Kawasan ini sebenarnya adalah asset terbaik pariwisata kota Jakarta, menurut gue. Di antara […]