Jika Jakarta diibaratkan sebagai sebuah gurun, maka Danau Sunter adalah sebuah oase yang memberikan kesegaran di tengah panas dan gersangnya Jakarta. Terletak di bagian utara ibukota, Danau Sunter menjadi tempat bagi sebagian warga ibukota untuk melepas penat dengan menikmati pemandangan, memancing, sambil menikmati penganan kecil di tepi danau.
Rencana gue untuk segera berangkat ke Danau Sunter pagi-pagi gagal karena — kenyataannya — gue baru terbangun jam 12 siang. Iya, 12 siang, kagetnya biasa aja deh. Setelah bangun pun, gue masih gegoleran males-malesan, mandi-mandi lucu, lalu ngeblog. Gue kalau udah nulis jadi lupa daratan, waktu dua tiga jam berlalu dengan cepatnya hanya untuk merangkai sebuah tulisan. Akibatnya, gue baru bisa berangkat sekitar jam 4 sore.
Naik angkot dari Ancol menuju halte Pademangan: lancar. Naik busway dari halte Pademangan ke halte Jembatan Merah: lancar juga. Naik busway dari halte Jembatan Merah ke halte Danau Agung: tersendat! Busway Pluit-Tanjung Priuk (koridor 12) bisa jadi adalah busway dengan waktu kedatangan paling lama sedunia akhirat!
Jarum jam sudah beranjak dari pukul 5 sore, seiring dengan goresan-goresan oranye yang terpoles kasar di atas langit Jakarta. Sial! Harusnya sekarang gue udah ada di Danau Sunter. Menikmati momen matahari terbenam di tepi danau, ditemani segelas kopi hitam dan irama lagu-lagu kekinian dari ponsel. Dua busway Tanjung Priuk-Pluit langsung datang beriringan. Gue memilih busway kedua yang lebih lega, sehingga — meskipun sama-sama berdiri juga — seenggaknya gue bisa berdiri dengan lebih nyaman.
Gue nggak tahu ya bagaimana manajemen busway Transjakarta ini, tapi gue sangat merasakan adanya pembagian armada yang kurang merata. Kenapa sebagian busway Ancol-Kampung Melayu tidak dialihkan saja ke armada lain yang membutuhkan, seperti untuk koridor 12 ini? Busway Ancol jumlahnya udah seabrek, dengan 2 macam bus (abu-abu gandeng dan merah gandeng), bahkan 3 macam jika ditambah dengan busway Ancol-PGC dengan rute yang hampir sama. Saking banyaknya, sampai-sampai sering lewat begitu saja tanpa mengangkut penumpang baru satu pun. Sementara penumpang Pluit-Tanjung Priuk? Harus ekstra sabar menunggu kedatangan bus dan berdesak-desakan di dalam.
Hari sudah beranjak senja saat gue sampai di halte Danau Agung dan berjalan kaki beberapa puluh meter menuju Danau Sunter. Danau ini dibagi menjadi dua, yakni Danau Utara dan Selatan. Danau Sunter Utara berbatasan dengan Cambridge dan Jubilee International School. Danau bagian ini relatif sepi dan dikelilingi oleh pemukiman kumuh, sehingga ada sedikit sampah non-organik yang terapung-apung di sudut danau.
Gue terus melangkah menyusuri trotoar di sepanjang danau, sambil sesekali berhenti untuk mengambil gambar. Sementara Danau Sunter memanjang di sisi kanan dengan pohon-pohon yang berjajar rapi memayungi trotoar, rumah-rumah elit berdiri anggun di sepanjang kiri dengan lampu-lampu temaram berwarna keperakan yang menambah syahdu suasana petang ini. Tak ada bangunan lain di sepanjang jalan ini — entah toko, warung, bangunan publik — pun tak ada angkutan umum yang melintas.
Setelah berjalan cukup lama sampai kerongkongan ini sudah diselimuti oleh rasa haus, gue menemukan sebuah ruko yang berdiri berdampingan dengan dua buah apartemen yang menjulang tinggi. Beberapa tempat makan, sebuah convenience store, dan beberapa tenant lainnya mengisi lapak-lapak kosong di dalam ruko. Ruko itu terletak persis di perbatasan antara Danau Sunter Utara dan Danau Sunter Selatan.
Tidak seperti “saudara”-nya, Danau Sunter Selatan cenderung lebih bersih dan lebih hidup! Tak ada sampah non-organik yang terlihat secara signifikan. Lapak-lapak yang menjual macam-macam minuman dan makanan ringan berderet di sepanjang tepi danau, sementara para pengunjung menikmati santapan sederhana itu dengan duduk santai di atas trotoar yang berlapis tikar atau nangkring di atas pagar pembatas. Sebagian warga lainnya lebih memilih untuk menggunakan Danau Sunter sebagai tempat memancing. Gue bahkan menemukan beberapa tempat pemancingan dan beberapa penjual alat-alat memancing. Yang duduk galau sendirian, yang memancing secara berkelompok, yang pacaran sambil mesra-mesraan, saling berbaur tanpa ada yang merasa terganggu.
Saat sudah merasa cukup haus dan kecapekan untuk terus berjalan, gue menghampiri seorang penjaja minuman dan membeli sebotol air mineral dingin untuk melenyapkan dahaga. Gue lantas duduk di atas pagar pembatas, di sisi seorang pemancing yang sedang berkonsentrasi penuh dengan kegiatannya. Untuk ukuran sebuah danau di tengah kota, Danau Sunter ini tergolong luas. Airnya berwarna kehijauan, sesekali terlihat riak yang menciptakan sebuah dinamika di atas danau. Di seberang danau, berdiri Hotel Sunlake dan restoran seafood tepi danau yang mengingatkan gue dengan suasana Singapore River. Mal Artha Gading dan beberapa gedung pencakar langit tampak gemerlap jauh di sudut kiri dari posisi gue berada.
Sementara gue dan warga lainnya menikmati Danau Sunter dengan sangat bersahaja dan ala kadarnya, kaum hedonis dan metroseksual ibukota menikmati keindahan danau dari seberang dengan segala kenyamanan dan kenikmatan yang ditawarkan. Hingar bingar musik terdengar jelas dari seberang, dari bangunan megah yang gemerlap itu. Mungkin sedang ada pesta. Tak ada jembatan yang menyatukan kedua sisi danau itu, sehingga kedua kaum yang berbeda itu memang terpisah dalam arti harafiah.
Merasa sudah cukup menikmati danau, gue beranjak bangkit dan kembali berjalan menuju halte Danau Agung, kembali melalui jalan yang sama dan jarak yang sama. Untunglah busway Tanjung Priuk-Pluit datang tak lama kemudian, menggunakan busway Ancol-Kampung Melayu yang dialihfungsikan. Doa gue langsung dikabulkan, bok! Buat kamu yang tertarik dengan Danau Sunter, datanglah saat matahari terbit atau pagi hingga siang hari. Ternyata Danau Sunter ini nggak cocok banget untuk dijadikan tempat menikmati matahari terbenam. Satu area publik Jakarta yang gue rekomendasikan buat kamu-kamu yang mendambakan hiburan murah meriah. Selamat menikmati Jakarta J
Saya yang KTP Jakarta Selatan malah baru tahu bisa ke Danau Sunter naik TransJakarta, hahaha. Kayaknya saya mesti inspeksi danau-danau di Jakarta setelah sebagian besar direhabilitasi.
Iya. Bagus bagus kok. Di Jakarta Selatan juga ada kan? 🙂
paling yang deket sama rumah ya Taman Ayodya atau Taman Langsat. Itupun bukan danau asli, cuma buatan.
Enak jalan gini sama pacar sih. Kamu udah ounya kan? *minggat ke bulan* 😀
Iya punya kok, kak. Dua bulan lalu 😦
Makanya jangan keluyuran mulu sampe luoa ngapelin pacar, jadi gini kan. Eh :p *nuduh semena-mena*
Iya nih. Gue kalo lagi jalan langsung ke sana kemari cari spot bagus buat foto. Hahaha.
[…] ke Naypyidaw). Padahal Jakarta memiliki paket wisata lengkap: dari wisata sejarah, kuliner, bahkan alam juga ada. Jakarta memang sudah memiliki BRT TransJakarta dan Commuter Line, namun kedua moda […]