SUPERTRIP #1 – SIKUNANG Part 20
Gue berjalan menuju Dataran Merdeka yang entah berapa kilometer jauhnya. Sesekali gue menengok ke belakang, ingin tahu apakah ada transportasi umum yang lewat atau enggak. Oke, ada bus RapidKL yang melalui jalan ini, tapi gue nggak tahu di mana tempat menunggunya. Kemudian,lLagi asyik-asyiknya jalan kaki, sebuah bus GoKL — entah jalur apa — berlalu begitu saja. Nggak mau membuang kesempatan lagi, gue berhenti saat tiba di sebuah halte GoKL, berharap armada selanjutnya akan cepat datang. Namun justru saat gue sudah duduk manis menempati kursi halte yang basah itu, bus malah tak kunjung datang. Sudahlah, gue jalan kaki aja *ngambek*
Jalanan Kuala Lumpur tampak padat merayap saat itu. Mungkin ini saatnya jam pulang kerja. Mobil-mobil dan sepeda motor berdesak-desakan berebut tempat di jalan raya, nggak ada bedanya dengan yang udah biasa gue lihat di Jakarta atau Bandung, sementara trotoar tampak begitu lengang. Mungkin gue adalah satu-satunya pejalan kaki saat itu. Maklum, kawasan jalan protokol seperti ini memang biasa jarang pejalan kaki.
Perjalanan singkat namun membingungkan itu berbuah manis saat gue melihat sebuah bangunan tua di kejauhan yang cantik dengan pendar cahaya emasnya. Gue kemudian mengenali bangunan itu sebagai Muzium Tekstil. Gedung-gedung tua yang lain berdiri berjajar di tepi jalan, seperti para penerima tamu yang sedang berbaris rapi menyambut seorang undangan. Di hadapan bangunan-bangunan Moorish itu, terbentang sebuah tanah lapang luas yang menjadi saksi atas kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 1957 lalu — Dataran Merdeka.
Tepat pukul 00.00 hari itu, bendera kebangsaan Malaysia dikibarkan di atas tiang setinggi 100 meter (versi Wikipedia 95 meter). Sekarang Dataran Merdeka digunakan sebagai area publik dan venue penyelenggaraan acara-acara kenegaraan, misalnya Merdeka Parade yang diadakan setahun sekali dalam rangka memperingati kemerdekaan Malaysia. Dulunya, Dataran Merdeka ini bernama Selangor Club Padang milik Selangor Club. Selangor Club, yang sekarang bernama Royal Selangor Club, kini berada di seberang Dataran Merdeka. Nama Dataran Merdeka baru pertama kali digunakan pada 1 Januari 1990 sehubungan dengan program Visit Malaysia 1990.
Dataran Merdeka ini dikelilingi oleh bangunan-bangunan peninggalan kolonial Inggris yang menawan, seperti KL City Gallery. Salah satunya, dan ini yang paling populer, adalah Bangunan Sultan Abdul Samad (Sultan Abdul Samad Building). Bangunan Sultan Abdul Samad selesai dibangun pada tahun 1897 dengan gaya Mughal / Moorish rancangan A.C. Norman. Sekarang, bangunan ini difungsikan sebagai gedung kementerian. Kantor Pos juga ada di dalam gedung yang dipercantik dengan menara jam setinggi 41 meter ini.
Di sebelah kiri, ada gedung National History Museum atau Muzium Serajah Nasional (ini nggak salah tulis, memang “serajah”) yang dulunya merupakan sebuah bank komersial pada 1910. Baru pada tahun 1966 gedung ini difungsikan sebagai museum nasional. Kalau kamu ke Dataran Merdeka di siang atau sore hari, sempetin masuk ke dalam museum ya. Kayaknya isinya cukup menarik.
Di sini gue cuma foto-foto sambil muter-muter mengamati ada apa aja. Suasana Dataran Merdeka agak lengang, tapi ada sekelompok warga lokal yang foto-foto dan nongkrong di dekat air mancur. Saat malam seperti ini, air mancurnya berpendar warna-warni dengan artistik dan dinamis. Pengen foto-foto di depan tulisan “I Love KL”, tapi nggak ada siapa-siapa di deket situ *nasib jalan sendirian*
Gue begitu kagum dengan bagaimana negeri ini merawat bangunan-bangunan tua di setiap kotanya. Gedung-gedung itu masih berdiri dengan tegak, terawat, dan mempesona, tak peduli dengan berapa banyak pencakar langit yang tiba-tiba menyembul di kanan dan kirinya. Hanya bisa berharap agar Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Indonesia lebih memperhatikan perawatan bangunan-bangunan tua kita. Karena sesungguhnya, Jakarta dan setiap kota di Indonesia (termasuk kota-kota kecil seperti Lasem, Jawa Tengah) dilimpahi dengan gedung-gedung tua peninggalan kolonial Belanda yang menawarkan pesona yang berbeda. Secara, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang dijajah Belanda. Mohon koreksinya jika kurang tepat ya.
Dengan dibantu petunjuk arah dari seorang bapak-bapak pegawai kantoran yang ramah, gue berjalan menuju Stesen LRT Masjid Jamek yang berada nggak jauh dari situ. Sayang banget, keterbatasan waktu membuat gue gagal juga berkunjung ke Masjid Jamek. Kalau kamu punya banyak waktu, kamu bisa tambahkan masjid yang cantik itu dalam kunjungan kamu ke Dataran Merdeka. Karena perut sudah meronta ingin diberi tumbal, gue memantapkan hati untuk langsung pulang ke Bukit Bintang dan makan malam di Jalan Alor.
Kereta LRT datang dalam waktu yang agak lama malam itu. Gue dan calon-calon penumpang yang lain, kebanyakan adalah anak-anak kantoran yang baru selesai kerja, berdiri dengan sabar di sepanjang peron. Saat kereta datang, suasana di dalam begitu sesak hingga gue susah payah keluar dari gerbong saat tiba di stesen transit. Gue melanjutkan perjalanan dengan monorail, yang juga membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya untuk datang. Gue bahkan sempat jadi korban harapan palsu ketika ada monorail yang datang namun nggak berhenti. Dia berlalu begitu saja, mengacuhkan wajah yang sudah penuh harap ini. The monorail is not in operation #pffft
Lega rasanya ketika monorail datang. Masih ada kursi-kursi kosong di dalam sehingga gue bisa pulang dengan nyaman, “Next station. Bukit Bintang.”
emang jajahan dari negeri inggris cenderung teratur, dan agak beres kalo ngatur bangunan lamanya. daripada jajahan belanda sih
Iya mungkin. Tapi menurut gue lebih baik kita berhenti menyalahkan penjajah (baca: menyalahkan masa lalu) dan menentukan sendiri pilihan kita 😀
Whoaaa… bolak balik KL ga membuat saya mendatangi Dataran Merdeka secara khusus karena seringnya cuma numpang lewat bandara atau sightseeing KL sebentar. Suatu hari pasti deh diexplore lebih dalam… *siapinkakipegelya?
Dataran Merdeka worth the price bgt, kak. Mau ke situ siang atau malam, no problem. Tetep bagus. Nggak bikin kaki pegel juga kok 😀
[…] arah dalam. Memang tidak berwarna-warni atau menari-nari seperti yang ada di Suria KLCC Park atau Dataran Merdeka Kuala Lumpur, namun dapat menjadi hiburan tersendiri bagi pengunjung. Anak-anak cover-dance sih memang pada cuek […]
Malaysia juga merupakan bekas jajahan Belanda sebelum Inggeris. Kesan peninggalan Belanda boleh dilihat di Melaka iaitu bangunan merah atau Stadthuys. 😀
Betul. Namun Inggris lebih memberikan pengaruh untuk Malaysia. Indonesia pun sempat dijajah Inggris, namun hanya sekejap.
[…] Dataran Merdeka ini seperti alun-alunnya Kuala Lumpur: sebuah tanah lapang berumput berbentuk persegi dengan sebuah bendera Malaysia yang berkibar tepat di titik tengah lapangan. Dikelilingi bangunan-bangunan tua seperti Bangunan Sultan Abdul Samad, Muzium Tekstil, Muzium Muzik, Panggung Bandaraya, Royal Selangor Club, dan Cathedral of St. Mary, Dataran Merdeka adalah surga bagi para pecinta arsitektur! […]
Di Dataran Merdeka itu lebih ke lihat-lihat bangunan tua ya? Ada penjual makanan di sana? Semacam kaki lima gitu?
Iya bangunan tua aja, mbak. Nggak ada penjual makanan kaki lima 🙂