
Lintasan “Monorail” Titihan Samirono
Seumur-umur, gue belum pernah ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Jadi, mumpung dua minggu lalu ada kesempatan ke Jakarta, gue memutuskan untuk ke TMII dengan menyeret sekumpulan massa pendukung. Gue dan dua teman gue berangkat dari JPP Church di Kota Kasablanka setelah sebelumnya beribadah Minggu. Di TMII, kami bertemu dua rekan lainnya, sehingga lengkap sudah kelima power ranger yang siap mengepung TMII siang hari itu, 12 Juni 2016.
Tiket Masuk dan Wahana
Harga tiket masuk TMII adalah Rp 10.000,00. Di dalam, pengunjung harus membayar lagi untuk menikmati wahana hiburan seperti Museum Transportasi, Snow Bay, Kereta Gantung (Cable Car), Monorail Titihan Samirono, dll. Kalau masuk anjungan provinsi sih, gratis. Anjungan-anjungan di TMII cukup menarik, beberapa bahkan sangat menarik, seperti anjungan Provinsi Sumatera Barat. Pengunjung bisa belajar tentang budaya dan macam-macam informasi tentang provinsi yang bersangkutan tanpa harus jauh-jauh ke sana. Anjungannya instagrammable kok, menempati bangunan yang dirancang seperti rumah adat masing-masing provinsi.

Anjungan Provinsi Sumatera Barat

Di dalam TMII juga ada 5 tempat beribadah, sesuai dengan karakteristik Indonesia
Gue cukup terkesan menemukan kereta gantung (cable car) di TMII Jakarta. Lintasannya melintang di sepanjang komplek TMII yang luas, mengangkasa di atas pepohonan dan anjungan di TMII. Ukuran kereta gantungnya lebih kecil dari kereta gantung yang ada di Genting Highland, Malaysia, dan kereta terus berjalan mondar-mandir meski tak ada yang menaikinya sekalipun. Satu kereta gantung TMII mungkin hanya dapat menampung sekitar 4 orang dewasa. Tiket masuknya adalah Rp 40.000,00.
Namun, setelah diperhatikan, menaki kereta gantung TMII sepertinya agak menyeramkan. Kereta dan lintasannya tampak sudah tua dan berderik, gue dan teman-teman meragukan keselamatan kereta gantung TMII 😀

Kereta Gantung di TMII Jakarta
Jadi, gue beralih ke — “Monorail” Titihan Samirono.
“Monorel” Titihan Samirono
Sebetulnya wahana ini kurang tepat disebut “monorail”, karena Titihan Samirono sendiri adalah Aeromovel — kereta bertenaga angin. Lintasannya sendiri masih menggunakan jalur rel ganda, bukan rel tunggal. Namun mungkin untuk lebih menarik pengunjung, nama “monorail” pun dipopulerkan alih-alih “aeromovel” itu sendiri. Mungkin juga agar lebih mudah disebut.

Peron Aeromovel Titihan Samirono di TMII

Tempat duduk penumpang di peron aeromovel
Harga tiket Monorail Titihan Samirono adalah Rp 30.000,00 untuk pengalaman menaiki aeromovel selama sekitar 20 menit. Pengunjung bisa naik dari stasiun terdekat. Peron ada di lantai 2, menghubungkan lintasan melayang sang kereta bertenaga angin. Kami bertiga — gue, Nico, dan kak Martha — naik dari Stasiun Taman Budaya yang berada paling dekat dari pintu masuk.
Menunggangi Sang Kereta Angin
Tak perlu menunggu lama untuk sang kereta angin tiba di stasiun kami. Sepertinya, kereta akan tetap berjalan berapa pun penumpang yang ada di dalamnya.
Dari luar, aeromovel Titihan Samirono tampak cukup meyakinkan. Sekilas memang terlihat seperti sebuah kereta monorel. Pintu pun terbuka dan tertutup dengan otomatis. Namun begitu kaki melangkah masuk ke dalam gerbong, kekaguman itu sedikit memudar. Interior gerbong tampak tua dan kurang terawat. Kaca jendelanya pun buram, tak mampu menampilkan pemandangan di luar sana dengan mengesankan.

Aeromovel Titihan Samirono di TMII Jakarta

Pemandangan dari peron aeromovel TMII
Kursi penumpang ditata dengan berderet ke belakang, bukan saling berhadap-hadapan. Gue dan kak Martha duduk di kursi paling depan agar dapat mengabadikan pemandangan tanpa terhalang jendela yang kusam. Kebetulan, moncong dan ekor kereta sendiri dibiarkan terbuka. Menit-menit pertama, kereta berderak lembut melalui lintasan melayang, gue dan kak Martha duduk tenang di belakang moncong sambil berburu foto.
Hingga beberapa menit kemudian, kereta berderak lebih cepat… cukup cepat hingga menggetarkan nyali kami. Rasa takut semakin menjadi saat kereta menikung tajam! Dengan posisi duduk di kursi terdepan dan tubuh kereta yang sedikit melebar ke luar dari lebar rel, kereta terasa seperti nyaris jatuh ke samping saat ia melalui lintasan menikung dengan cepat.
“Ini sih kayak naik roller coaster, Mat!” celetuk kak Martha. Gue hanya tertawa terpingkal-pingkal, tak menampik pernyataannya.

Jendela depan aeromovel TMII yang terbuka

Penumpang dan penampakan interior Aeromovel Titihan Samirono di TMII Jakarta
Belum cukup dengan itu, gue dan kak Martha yang sedang tertawa-tawa karena takut pun menjadi semakin gentar saat melihat lintasan menurun di depan mata.
“Oke, gue ke belakang deh, Mat,” kata kak Martha, lalu segera ngibrit ke kursi belakang, meninggalkan gue melawan takut seorang diri di kursi depan.
Setiap kali kereta melalui lintasan menurun, atau lintasan dengan tikungan, gue menutup mata sambil tertawa-tawa. Rasanya memang seru saat kita melawan ketakutan kita sendiri, tapi gue rupanya gue belum cukup kuat untuk menghadapi keseruan itu dengan mata terbuka lebar.

Jendela kusam Aeromovel Titihan Samirono TMII Jakarta

Siap-siap menghadapi tikungan!!!
Pada akhirnya, “Monorail” Titihan Samirono berhasil menyampaikan kami kembali di Stasiun Taman Budaya dengan sehat dan selamat. Tapi kami benar-benar nggak menyangka, menunggangi kereta angin itu rupanya memiliki sensasinya sendiri. Gue pun nggak merasa rugi membayar Rp 30.000,00 untuk pengalaman yang nggak akan kami lupakan seperti itu. Sial, harusnya tadi gue rekam ya!
Jadi, berani naik aeromovel di TMII nggak?
Ah Aku sudah lama sekali tidak main ke Taman Mini Indonesia Indah. Kapan ya aku terakhir naik keatas monorel ini. Kayaknya waktu anak-anak masih kecil sekali. Jadi kangen
Dulu serem gitu juga nggak, mbak?
jadi inget pernah nonton video tentang asal muasal monorel yg katanya dari aeromovel di tmii ii, duh terakhir kesana pas smp, ajak jalan dong biar bisa menikmati aeromovel itu kak 😀
Serius monorel Jakarta terinspirasi dari aeromovel ini? Bisa jadi. Bisa jadi.
Yuk, nanti kakak kabari kalau ke Jakarta lagi.
Teknologi tahun 1989 itu. Moga-moga aja suku cadangnya masih ada dan rutin dirawat. :p
Nah, itu dia.
wah jadi kangen naik kereta gantungnya TMII, terakhir kesana pas SD 😦
Ko semua ceritanya hampir sama ya, terakhir ke sana pas SD 😀
Waduhhh..kemarin pas ke jakarta beberapa kali. Lupa yuk mampir ke mari mas. Padahal kalau tak lihat dari cerita mas seru. Minimal tahu sejarah dan isinya 😢
Seru, mas! Nggak akan bisa dilupakan deh pengalaman naik Aeromovel ini 😀
Hihi moga esok ada kesempatan kemari mas
Amin
pas 2014 apa 2015 ke TMII diajakin naik kereta gantungnya sama bokap, gue ga mauuuu berasa ringkih banget, trus diajakin naik Aeromovel ini, lahh gue takut jugaa masaa :))
Iyaaa kereta gantungnya kayak ringkih. Well, Aeromovel-nya juga.. a bit scary sih hehe
Loh ini ternyata Aeromovel ya… Tak kirain beneran monorail, pakai mesin, listrik atau bbm, ternyata enggak ya, baru tau hehehe
Hahaha itu hanya pencitraan, bro 🙂
Teakhir naik ini wkt SMA tp gak seru serasa naik ka jabotabek aja ,kalo naik kereta gantung terakhir 2thn lalu rame2 sm emak2 sklhan,asyik jg sih tp cuma sebentar kllnya
Mungkin lokasi duduk mempengaruhi keseruan 😀