
Dek observasi Monas, Jakarta
Tidak seperti ibukota lain di Asia Tenggara, sepertinya Jakarta tak mendapat tempat dalam jajaran atas destinasi wisata Indonesia. Entah itu pelancong domestik atau turis mancanegara, Jakarta seakan hanya menjadi titik transit sebelum menuju destinasi lainnya di kepulauan ini. Padahal, Jakarta juga memiliki tempat-tempat wisata yang sebetulnya menarik dan membutuhkan perhatian kita.
Ada yang tahu Monas atau Monumen Nasional? Oh, banyak banget, hampir semua.
Pernah masuk ke dalam komplek? Oke, sebagian besar masih mengiyakan.
Pernah naik sampai puncaknya?
…

Museum berisi diorama di dalam Monas, Jakarta
Saat itu hari Sabtu, 11 Juni 2016, akhir pekan pertama dalam bulan Ramadhan. Usai berdebat singkat dengan petugas stasiun Gondangdia yang menegurku untuk tidak mengambil foto di stasiun, aku melenggang keluar stasiun dan spontan berjalan mengambil langkah menuju Monumen Nasional. Tak ada niat ke Monas sebelumnya. Agenda utamaku hari itu adalah bepergian sebanyak dan selama mungkin dengan Commuter Line.
Detil cerita soal teguran di stasiun itu akan aku ceritakan kemudian. Kalau mood-nya masih ada.
Aku berjalan di bawah terpaan kuat sinar matahari. Aku menyempatkan diri mampir ke Stasiun Gambir untuk sekadar menikmati cemilan dan sebotol minuman dingin dari sebuah convenience store. Saat kembali melanjutkan langkah melalui pintu belakang stasiun, aku melihat sepasang pria asing yang tampak ingin tahu dengan Monas. Melongok-longok dari balik pagar besinya.

A couple of curious foreign travelers

Sneak a peak!
Sengatan terik matahari paling terasa saat aku harus berjalan nyaris mengelilingi komplek Monas untuk menemukan pintu masuknya di depan Istana Negara. Ya Allah, jemur aja adek, baaanggg. Jemuuurrr!
Tak ada biaya untuk memasuki komplek, gratis 😀
Aku suka suasana Monas sekarang. Rapi, bersih, tanpa pedagang asongan yang meninggalkan sampah, hijau. Duduk di bawah salah satu pohon sambil menikmati desiran angin tengah hari, mengamati kereta komuter yang wira-wiri di atas jalur layang, di tengah kungkungan gedung-gedung tinggi, memberikan kesan tersendiri bagiku. Ada kolam di salah satu sisi komplek, menjadi oase di tengah panasnya udara ibukota.

Finally, the National Monument (Monas) Jakarta

Green park and clean pedestrian in Monumen Nasional (Monas) Jakarta

A pond in the middle of the park in Monas, Jakarta
Bosan hanya duduk-duduk, mana taka da yang menemani, aku beranjak masuk ke dalam bangunan Monumen Nasional melalui lorong bawah tanah. Tiket menuju puncak pun dibeli dengan harga Rp 15.000,00 untuk dewasa umum.
Sial, tampang gue gagal menipu petugas loket.

Entering the tunnel to Monumen Nasional (Monas), Jakarta
Aku terkejut saat memasuki lorong menuju Monas yang ternyata cukup ramai oleh pengunjung. Di luar, suasana sangat sepi, pengunjung bisa dihitung dengan jari. Lalu, setelah kembali ke permukaan tanah dan menghampiri lift menuju puncak, aku lebih syok lagi karena antrian menuju puncak menjulur sampai nyaris mendekati tepi cawan. Daaaaaannn antrian sepanjang itu hanya dilayani oleh satu unit elevator.
Jadi?
Nggak?
Jadi?
Nggak?
Ya udah, jadi aja deh, udah tanggung sampai sini, udah bayar pulak. Ogah rugi.

Long queue to enter the elevator in Monumen Nasional (Monas), Jakarta. The korean guy is the one with blue shirt.
Yang menarik, aku mendapati ada beberapa turis mancanegara dalam barisan antrian ini. Persis di depanku, ada hyung dari Korea Selatan yang langsung dapat dikenali dari warna kulit, perawakan, dan tipe kesipitan. Percayalah, saat kau terbiasa menyaksikan drama korea, film Tiongkok, dan drama Jepang, kau akan terlatih untuk membedakan mana orang Cina, mana Korea, dan mana Jepang, tanpa harus terlebih dulu mendengar mereka berbicara. Bahahahaha!
Di barisan sebelah kananku, ada seorang gadis berambut pirang yang mencoba menyamankan diri dengan baju tanpa lengan dan air mineral 1.5 Liter dalam genggaman. Beberapa baris di depan pelancong korea yang sendirian, ada seorang bapak-bapak bule yang menggandeng wanita Indonesia. Sambil mengantri, dia mengisi waktu dengan berfoto diri, dibantu oleh gandengannya yang menekan tombol shutter dan menjaga “lahan” antrian. Beberapa baris di depannya lagi ada beberapa pasang traveler mancanegara.
Gue nggak mau nggosip ah apa hubungan di antara pria bule dan perempuan itu. Nanti puasanya batal.

View from Monumen Nasional (Monas), Jakarta. The building with dome is the Mahkamah Konstitusi.

The National Monument (Monas, Monumen Nasional) and the statue

Looking at the Jakarta commuter trains, running on the elevated track, the Kwartir Nasional (Kwarnas) headquarter works as the background.
See? Saking lamanya ngantri, aku sampai memperhatikan detil siapa yang ada di sekelilingku dan apa yang mereka lakukan.
Antrian merayap lambat. Kalau ada yang punya tangga, aku mau deh naik sendiri ke atas.
Sorry, kidding. I don’t want to. I forget that I’m afraid of heights. Pfft.
Setelah kurang lebih satu jam mengantri sambil menulis cerpen di awang-awang, akhirnya aku berhasil merangsek masuk ke dalam bilik elevator. Seorang petugas duduk di sudut bilik, menekan tombol tujuan dan memastikan adegan Final Destination 2 tidak terjadi di dalam lift.
Pintu terbuka, dan… aku sontak bingung.
…
Siapa yang bisa fotoin gue ya?

View from the top of Monumen Nasional (Monas), Jakarta

A closer look to the elevated track of Jakarta commuter line
Aku lalu menghampiri salah satu sisi dek observasi yang bebas dari pengunjung sebelum ada pasangan ABG atau rombongan keluarga cemara yang memadatinya. Wah, aku mendapatkan spot di mana aku bisa menyaksikan lintasan melayang kereta api dari ketinggian. Aku mengarahkan lensa, mengatur sebisanya, dan membidik gambar melalui celah-celah jendela yang untungnya sama sekali tidak mengganggu foto.
Ada sebuah teropong untuk melihat jarak jauh yang ditempatkan di setiap sudut, menarik perhatian anak-anak kecil yang penasaran.
Lepas dari satu sisi, aku beralih menuju sisi yang lain, lalu yang lain, sampai aku menyambangi seluruh sisi. Sempat mau meminta tolong kepada hyung untuk mengambil foto, karena sepertinya dia adalah orang yang paling meyakinkan untuk disodori kamera DSLR (f*ck my phone camera). Tapi dia tidak berlama-lama di dek, beberapa jepret langsung lenyap di dalam rombongan lift turun. Lagipula di dalam dek pencahayaannya kurang pas untuk mengambil foto diri, jadi ya sudah, aku pun beringsut turun, tepat saat sekumpulan kecil siswi SMP heboh berfoto bersama cowok ala boyband korea.
Sedih, tadi pas gue di situ nggak diajak foto sama mereka. *anaknya baper*

Skyscrapers of Jakarta, seen from the top of Monumen Nasional (Monas)

The “foggy” Jakarta skyscrapers, seen from the top of Monumen Nasional (Monas)
Aku sempat mengisi waktu dengan beristirahat sejenak di dalam museum yang lapang dan adem. Setelah berjam-jam berdiri dan berjalan ke sana kemari, kaki ini butuh direhatkan. Kalau hati sih nggak usah istirahat, udah biasa sendiri kok.
Sebelum benar-benar meninggalkan komplek dan melanjutkan langkah menuju Stasiun Juanda, syukurlah, aku menemukan pengunjung yang bisa membantuku berfoto di atas pelataran dan di dekat gerbang keluar. Tuhan baik!

Berfoto di Monumen Nasional (Monas), Jakarta
Jakarta membutuhkan cinta kita. Menurutku, dari rasa cinta akan kota kita, timbul kesadaran untuk menjaga kebersihan. Timbul kecenderungan untuk selalu dapat menemukan pesona kota di balik segala kekurangannya. Timbul keinginan untuk mengeksplor setiap sudut kota yang menawan dan menunggu untuk dipromosikan. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Leaving the National Monument when the sun was setting down
Jadi, sudah pernah naik sampai puncak Monas? Jangan cuma naik ke Menara Petronas atuh. *nyinyir diri sendiri*
Keep learning by traveling ~
Saya belum pernah masuk Monas Mas, sama sekali, memalukan 😦
Eh, good luck buat kompetisinya ya! 🙂
Hahaha. Nanti ke Jakarta mampir ke Monas, bro. Thank you ya doanya, semoga beruntung.
Pernah dulu naik ke puncak monas tp pas msh umur 10th. Hahaaa
Hahaha. Lama banget ya, bang 😀
Saya aja yg udah lama tinggal di Jkt cuma pernah naik sekali haha
Yang penting udah pernah naik, bro 😀
Dulu … waktu masih kecil pernah naik ke dek observasi Monas. Setelah gede, males banget karena antrenya panjang. Mendingan langsung jalan ke arah Juanda buat makan es krim Ragusa. Haha!
Haha. Apalagi panas-panas gini ya 😀
Duluuuu, di kolam itu kalau malam minggu ada pertunjukan air mancur menari. Sekarang kayaknya sudah nggak pernah lagi
Wah sayang, kak. Padahal menarik, biar nggak kalah sama KL 😀
tiap hari liat monas, tp kayanya terakhir naik ke atas pas jaman SD apa ya. hahaha… kadang liat antriannya jg sadis sih ya.. 😆
Eh, antriannya membuat ibadah puasa tambah khusyuk, bang 😀
[…] Baca Juga: Naik Sampai ke Puncak Monumen Nasional (Monas), Jakarta […]
Dulu, pas di Jakarta cuman bisa lihat Monas dari balik jendela kereta 😢
Sekarang saatnya melihat Monas dengan mata kepala sendiri 😀
Sama, aku juga takut ketinggian tapi nggak takut naik gunung sih. Kapan-kapan, coba mampir ke brebes, disini ada Ranto Canyon, Cukang Taneuhnya Jawa Barat.
Salam kenal dari sparklepush.com
Mungkin maksudnya Cukang Taneuh-nya Jawa Tengah ya. Dan ada di Brebes? Wow, aku taunya Brebes itu kota yang panas terik di jalur pantura. Makasih infonya, bro. Salam kenal 😀
[…] Baca Juga: Naik Sampai ke Puncak Monumen Nasional, Jakarta […]
[…] malah bisa jalan kaki. Gak perlu gue jelaskan lagi betapa dekatnya Dafam Express Jaksa dengan Monas, Masjid Istiqlal, Katedral Jakarta, dan Bunderan Hotel Indonesia. Makanya banyak wisatawan asing […]