Sebetulnya, gue pengen ke Tugu Khatulistiwa bareng Yonky. Perjalanan dengan seorang kawan tentu lebih menyenangkan daripada dengan seorang driver hotel, begitu pikir gue waktu itu. Namun, sampai gue bosen di Rumah Adat Melayu pun, Yonky masih sibuk dengan agendanya, sehingga gue akhirnya meminta driver Hotel Harris Pontianak, bang Daus, untuk menjemput dan mengantarkan ke Tugu Khatulistiwa.
Bang Daus tiba nggak lama kemudian. Tanpa banyak basa-basi, mobil lalu meluncur menuju Tugu Khatulistiwa yang berada di sisi lain kota.
Seperti kota-kota lainnya yang dibelah dua oleh sebuah sungai besar, Pontianak pun begitu, ada kesenjangan di antara kedua sisi kotanya. Kami melaju menyeberang jembatan Tol Kapuas yang tak selebar dan semegah Jembatan Ampera, Palembang. Sementara di bawah sana, perkampungan padat penduduk mengapit kedua sisi sungai yang lebar. Jembatan Tol Kapuas hanya memiliki 2 lajur, ditambah 2 lajur kecil untuk kendaraan roda dua di masing-masing tepi.
Hotel HARRIS Pontianak berada di sisi kota Pontianak yang modern. Deretan hotel, café, warung kopi, gedung perkantoran, dan gereja mengisi kedua sisi jalan-jalannya. Usai menyeberang sungai, kami berada di sisi kota yang lebih bersahaja tanpa banyak bangunan modern dan tempat-tempat hiburan. Jalan-jalannya kecil, trotoar pun tak serapi di sisi sebelah.
Tugu Khatulistiwa Pontianak
Dari pusat kota, perjalanan menuju Tugu memakan waktu sekitar 20 menit. Maklum, Tugu ini memang berada di daerah pinggiran kota. Perjalanan menuju Tugu melalui Keraton Kadriyah dan Masjid Jami, sehingga ketiga obyek ini dapat digabungkan dalam satu agenda seharian.

Tugu Khatulistiwa (Equator Monument), Pontianak
Nggak ada tiket masuk untuk memasuki Tugu Khatulistiwa. Pengunjung cukup membayar biaya parkir sebesar Rp 5.000,00. Dari tempat parkir, kami berjalan cepat menghampiri Tugu di bawah guyuran sinar matahari Pontianak yang ganas!
Ada 2 buah tugu di sini, yang satu berada di luar, yang satu lagi berada di dalam bangunan. Tugu di dalam bangunan adalah Tugu Khatulistiwa yang sesungguhnya, namun Tugu di luar lebih menarik buat difoto, hehe. Keempat tonggaknya terbuat dari kayu ulin / belian, menyangga 2 buah lingkaran yang menunjukkan arah utara dan selatan.

Suka sama bajunya? Open Order 90K (belum termasuk ongkir), tanpa minimum kuota 😀
Tugu yang asli dibangun pada akhir Maret 1928, dengan tonggak tertingginya mencapai ukuran 4.4 meter. Sementara duplikasi yang lebih besar, berukuran 5 kali tinggi, baru dibangun tahun 1991.
Nggak banyak yang bisa dilakukan di dalam gedung, pengunjung bisa berfoto dan membaca panel-panel berisi informasi antariksa dan foto-foto memorabilia Tugu Khatulistiwa. Sebetulnya bisa meminta sertifikat di sini, sebagai kenang-kenangan bahwa kita sudah menjejakkan kaki di garis khatulistiwa, tapi gue lupaaaaaa aaaaaaaaakkk.

Titik Kulminasi Khatulistiwa 2017

Tugu Khatulistiwa dilihat dari Titik Kulminasi
Banyak wisatawan Malaysia yang ke sini lho, apalagi karena Pontianak berbagi satu daratan Borneo dengan Malaysia dan Brunei Darussalam. Ada 12 negara yang dilalui Garis Khatulistiwa, tapi hanya Pontianak yang menjadi kota khatulistiwa. Woo-hoo!
Ngopi-Ngopi di Tepi Sungai Kapuas
Udah puas di Tugu Khatulistiwa, jangan buru-buru pulang dulu. Bang Daus mengajak gue melipir ke tepi sungai, melalui Titik Kulminasi Khatulistiwa (Equinox) yang terjadi akhir Maret lalu. Gue ceritain singkat buat yang belum paham, kulminasi adalah kondisi di mana matahari berada persis di atas garis Khatulistiwa. Saat kulminasi terjadi, bayangan akan lenyap dan telur dapat berdiri tegak tanpa harus dipegangi, yaaayyy! Kalau yang itu sih, dipegang dulu baru tegak #eh.
Nah, titik kulminasi tahun ini sudah bergeser beberapa meter dari titik Tugu Khatulistiwa.
Kawasan tepi Sungai Kapuas ini cantik. Ada promenade atau jalur pedestrian, kelihatannya belum lama dibangun, yasyik buat jalan-jalan santai di tepi sungai. Asal jangan pas siang bolong kayak sekarang aja sik, hehe. Dari promenade, kami menyaksikan pemandangan kapal-kapal besar yang berjalan melintasi Sungai Kapuas yang agung.
Pas banget, ada kedai kopi perahu yang sedang menambatkan hatinya, eh, perahunya di promenade. Gue dan Bang Daus masuk, duduk rileks menikmati secangkir kopi dan Pop Mie. Beberapa pengunjung lalu menyusul kami dan ikut duduk di dalam perahu. Wah, kami bawa hoki nih, hihihi..

Selfie from the boat
Namun, sampai pengunjung udah agak rame dan bang Daus mulai mabuk sekali pun, perahu tak juga menunjukkan tanda-tanda akan berjalan. Maka, kami sudahi kunjungan lalu membayar secangkir kopi dan segelas Pop Mie yang kami nikmati: Rp 20.000,00. Oke sip, lain kali ke kopi perahu, gue mau bawa bekel makanan sendiri aja.
Ternyata, gue menikmati juga kunjungan ke Tugu ini bareng Bang Daus. Orangnya ramah, sepanjang jalan kami asyik berbincang seputar politik ibukota dan isu SARA yang sedang melanda negeri. Inilah salah satu hal yang gue suka dalam sebuah perjalanan, kesempatan untuk mendapat kawan baru dan mendapat sudut pandang baru yang lebih kaya.
Taman Alun Kapuas
Sebagai pecinta area publik terbuka nan rindang, apalagi berada di tepi sungai, gue nggak boleh melewatkan kunjungan ke Taman Alun Kapuas. Tempat ini populer sebagai tempat kumpul murah meriah bagi warga lokal Pontianak. Begitu sampai di sana, gue dan Yonky langsung dibuat pusing dengan lahan parkir yang tersedia.

Taman Alun Kapuas, Pontianak

Taman Alun Kapuas, Pontianak

Selfie with Yonky
Kami sendiri nggak terlalu menikmati tamannya, tapi ada air mancur di tepi taman yang berbatasan dengan sungai. Ada tulisan Taman Alun Kapuas juga, tapi karena selalu dipenuhi pengunjung lain, jadi males buat difoto. Dari tempat parkir, kami berjalan terus hingga ke tepi sungai. Pas banget, ada perahu yang sudah terisi penuh dan siap berlayar. Tanpa pikir panjang, gue ajak Yonky naik ke atas perahu.
Kami duduk di lantai atas yang terbuka dan lebih leluasa! Perahu berjalan pelan melintasi Sungai Kapuas, melalui rumah-rumah apung yang memadati kedua sisi sungai. Dari atas perahu, kami memperhatikan kehidupan sehari-sehari warga lokal Sungai Kapuas. Ibu-ibu mencuci baju dan memandikan anaknya di tepi sungai. Anak-anak bebas berenang, paddleboarding, melompat ke dalam sungai tanpa ada rasa gentar yang bergetar. Perahu-perahu warga hilir mudik, bersaing dengan kapal besar yang merayap lambat.
Video, klik untuk memutar:

Di atas perahu menyusuri Sungai Kapuas, Pontianak

Polisi Air di Sungai Kapuas, Pontianak
Perjalanan menaiki perahu ini cukup lama rupanya. Perahu terus berjalan hingga melalui Jembatan Tol Kapuas, sebelum akhirnya berputar arah dan kembali ke tempat semula.
“Jelang Ramadhan dan Lebaran, warga di kedua tepi sungai saling adu tembak meriam,” tutur Yonky, menceritakan salah satu kebudayaan setempat.

Masjid Jami di tepi Sungai Kapuas

Kehidupan warga lokal di tepi Sungai Kapuas
Terang matahari mulai meredup, digantikan dengan rona warna jingga yang memenuhi cakrawala. Gue terpana, seiring dengan perahu yang melejut lembut menghadap arah terbenamnya sang surya. Gelap perlahan turun merayap, membungkus gedung-gedung dan kapal di kejauhan dalam siluet.
Menjelang akhir perjalanan, seorang awak kapal menarik biaya perjalanan kepada setiap penumpang, ditambah makanan dan minuman jika ada. Luar biasa, untuk pengalaman seperti ini, per orang hanya dimintai ongkos Rp 15.000,00. Ah, gue cinta elu, Pontianak!

Melejut menuju arah matahari terbenam

Dramatic sunset of Kapuas River

Taman Alun Kapuas di penghujung senja
Ngopi di “Jalan Kopi”
Dalam perjalanan berkeliling Pontianak di malam pertama, gue dan Yonky sempat melalui sebuah jalan kecil yang merupakan anak Jalan Gadjah Mada, Jalan Kopi-nya Pontianak. Jalan kecil itu dipenuhi, bener-bener dipenuhi, dengan deretan warung kopi di kedua sisinya. Menarik, karena semua warung itu terisi pengunjung!

Suasana di depan Taman Alun Kapuas
Penasaran dengan sensasi ngopi bareng warga lokal, di malam kedua ini pun gue meminta Yonky untuk membawa gue ke salah satu kedai kopi itu. Yang mana aja, terserah! Maka, usai menikmati seporsi cumi dan es cincau di Gleam Café, kami segera berpindah lapak ke jalan itu.
Yonky memilih kedai bernama Plan B, yang namanya sama dengan nama sebuah coffee shop di bilangan Bangsar, Kuala Lumpur. Kami memesan secangkir kopi, nugget, dan pisang keju. Meski cuma “kedai kopi”, tapi ada fasilitas wifi loh. Password-nya juga lucu. Silakan mampir sendiri kalau penasaran sama password-nya.

Kopi, nugget, dan pisang keju

With Yonky and friend (gue lupa siapa namanya, haha)
Salah satu rekan Yonky ikut bergabung bersama kami malam itu. Kami pun larut dalam obrolan ringan sampai sekitar pukul 10 malam. Bahkan, mereka sempat berwacana untuk membawakan gue arak Pontianak! Sayangnya wacana ini nggak terwujud sampai waktu kepulangan gue keesokan harinya 😀

Jalan di Pontianak yang dipenuhi deretan kedai kopi
Sebagai pecinta kopi warung, rasanya gue akan betah tinggal berminggu-minggu di Pontianak, bahkan berbulan-bulan! Menjajal setiap kedai kopinya, menikmati sore di tepi Sungai Kapuas… Pokoknya, gue cinta Pontianak! Bersambung ~
Wah banyak juga kegiatan di ponti. Ke tugu khatulistiwa ada dapet sertifikat ga hehee…
Minum kopi di pinggir sungai kapuas juga lumayan. Aku lihat pas scene film tukul widji di sana.
Aku lupa minta sertifikat 😦
Gak penting juga sih.. bukan buat melamar kerja juga kan 😁
hahahaha, lumayan buat kenang-kenangan wkwk
Nah, akses yang MURAH ini yang harus dicontoh Palembang. Sekarang sih udah lumayan, naik kapal ke kampung Al-Munawwar bayar 10 ribu, tapi ya tetep kayaknya kudu nawar2 karena harga bukaannya tinggi.
Sertifikat itu lucu juga ya hwhwhw, macam main olahraga ekstrim aja dapet sertifikat hahaha
Iya, mas. Mudah-mudahan perahu di Palembang juga bisa murah tanpa harus adu tawar 😀
Hahaha lucu juga ya di dalem tugu ada tugu!
Hehe iya, Shar. Tugunya dari dalam menerabas ke luar.
Titik Kulminasinya sekarang sudah cantik. Dulu waktu aku ke sini, masih berupa tembok sederhana. Dan satu lagi yang menarik di Pontianak warung kopinya itu ya, kita bisa beli setengah dengan judul Kopi Pancong 🙂
Iya betul, mbak. Pontianak dan kopinya itu daya tarik buat saya 😀
Belum pernah menginjakkan kaki ke Kalimantan. Seneng baca cerita ini.. ikut merasakan perjalanannya. 🙂 Semoga suatu saat ada rezeki untuk ke sana.
Wah, senengnya bisa menginspirasi. Tiket ke Kalimantan murah kok, semoga segera ya 😀
Loh di Kapuas ada wisata susur sungai juga to? Asyik tuh.
Ada, mas. Asyik kan? Murah meriah lagi 😀
Seru tuh anak2 yg main pake boat, ada yg nyediakan buat wisatawan juga gak, nug?
Nah kalo buat yang wisatawan kurang tahu. Paling deal-dealan sama anaknya aja, koh. Hehe
seriusan baru tahu bentuk nya Tugu Khatulistiwa (Equator Monument) … heee
maklum kurang liburan, wkwkkw
Hehe, berarti harus ke sana langsung nih 😀
Dulu pas jaman masih kerja di swasta sering banget bolbal Pontianak, tapi nggak pernah eksplor >.<
Kadang hal yang udah terbiasa jadi luput dari penjelajahan ya, kak
Pengen ke Pontianak, kota kelahiran suami..
Ayo, mbak. Pontianak asyik kok 😀
[…] 10 Hal yang Bisa Dilakukan di Pontianak, Kalimantan Barat (Bagian 2) […]
Kalimantan kan menarik sungainya yang luas itu, sensasi ngopi di pinggir kali itu yang kudu didapat kalo ke sana ya
Iya. Kalo cuma punya waktu sebentar di Pontianak, selain mampir di tugu, juga fokuslah dengan pengalaman ngopi di kedai perahunya. Di mana lagi bisa kayak gini 🙂
Kok ya sedih ngeliet titik kulminasinya cuma gitu doang 😑
Semacam ga niat
Padahal kalo dikelola baik, pasti bakal jadi point of interest yang bagus
Oya, itu minta sertifikat bayar berapa Nug?
Hehe. Itu aja katanya udah lebih baik dari sebelumnya, mas.
Aku lupa minta sertifikat 😦
Kl titik kulminasi berubah, brati monumennya juga ga update dong ya. Hehhee.
Btw sunset kapuas keren bgt tu
iya, koh. titik kulminasi tiap tahun itu berubah sedikit demi sedikit..
Nah, meski udh mainstream, buat yang belum pernah kyk gue ya perlu kesini seenggaknya sekali yaa haha
Aku suka nya ke tempat2 mainstream, bang. Hahaha
pengen ke titik kulminasi bawa jam matahari buat ngeliat bahwa emang nggak ada bayangannya yang jatuh dari tiangnyaa
Tunggu kulminasi matahari berikutnya, hehehe
waaaaah, tugu khatulistiwaaa. dari SD kalo disebutkan kota pontianak pasti yang terbayang dengan garis khatulistiwaaa. tapi setelah memba novel tere liye yang berjudul aku, kau, dan sepucuk angpau merah, aku baru tahu kalo pontianak itu nama lain dari kuntilanak. heheheh. terus lebaran kemarin, ada sodara yang tinggal di sana mudik ke aceh dan dia bercerita banyak tentang ponti
Bener banget! Tau tradisi meriam karbit? Nah, tradisi itu konon untuk mengusir kuntilanak 🙂
Iya, pernah baca juga tentang meria karbit itu. Kalo di aceh ada juga tradisi meriam karbit
Ooo di Aceh ada juga. Tujuannya sama, kak?