Beberapa hari sebelum berangkat menuju Pontianak, Kalimantan Barat, gue googling tempat-tempat wisata apa aja yang ada di kota ekuator itu. Salah satu rekomendasi yang muncul pada halaman 1 pencarian Google adalah sebuah blog post dari mas Rijal Fahmi Mohamadi, catperku.com. Gue baca dengan cepat hingga tiba di bagian komentar.
Gue menemukan komentar gue sendiri di tulisan mas Fahmi yang udah ditulis dua tahun lalu itu. “Waaaaaa, sebagai pecinta kopi dan sungai (dan pembenci durian), gue wajib banget ikut ngopi di cafe perahu yang menyusuri Sungai Kapuas dan nongkrong di warkop Gadjah Mada,” begitu tulis gue di kolom komentar itu.
Gue lalu tersenyum-senyum sendiri membayangkan bahwa, dalam hitungan hari, gue akan benar-benar mengalami apa yang gue tuliskan di kolom komentar. Ingin rasanya membalas lagi komentar mas Fahmi di situ, “Mas, akhirnya aku bisa mewujudkan salah satu keinginanku.”
Perlahan, keping-keping mimpi itu mulai terangkai menjadi sebuah mozaik raksasa yang kian utuh…
Namun niat itu gue urungkan karena masih trauma dengan “sesumbar rencana traveling” di media sosial. Cukuplah gue, Tuhan, dan orang-orang tertentu aja yang tahu. Selebihnya, biar menjadi kejutan ketika kaki ini benar-benar sudah menapak bumi Borneo.
Makan Chai Kue di Jalan Siam
Sabtu malam, 22 April 2017, gue sudah berada di sebuah kedai Chai Kue yang digadang-gadang sebagai salah satu yang terbaik di Pontianak. Lokasi kedai makan itu ada di Jalan Siam, yang juga nggak jauh dari lokasi Hotel HARRIS Pontianak di Jalan Gadjah Mada.

Gini nih cara makan Chai Kue sama Kembang Tahu
Adalah Yonky, member Couchsurfing Pontianak yang membawa gue dengan sepeda motor matic-nya menuju warung makan itu. Gue bela-belain nemuin Yonky lebih dulu di depan lobi hotel meski gue sendiri belum mandi. Pemuda yang berusia 3 tahun lebih muda itu sudah menunggu agak lama di sebuah kedai kopi di seberang hotel.
Gue hanya bisa terdiam patuh ketika Yonky memesan seporsi Chai Kue goreng, Chai Kue rebus, dan kembang tahu. Udah deh, gue ngikut aja dia mau pesen apa, karena gue juga nggak tahu makanan apa aja yang recommended di sini.

Chai Kue (Choi Pan) khas Pontianak
Sembari sajian disiapkan dan kemudian datang satu per satu, kami larut dalam sebuah obrolan ringan untuk lebih mengenal satu sama lain. Saat ini Yonky masih bekerja sebagai pekerja paruh waktu untuk membantu proyek-proyek yang berhubungan dengan bidangnya di teknologi pertanian, atau semacamnya itulah, hehehe. Ternyata nggak hanya di kalangan anak lulusan ilmu sosial, tren freelancer ini juga diminati anak-anak lulusan ilmu eksak karena beberapa temen gue pun — lulusan Teknik Geofisika-lah, teknik itulah, teknik anulah — masih bertahan sebagai pekerja lepas. Mungkin, idealisme kami yang masih kuat di masa muda ini membuat kami enggan terikat dengan satu perusahaan tertentu.
Yonky pernah mengikuti program pertukaran pelajar di Jepang dan mengungkapkan rencananya untuk melanjutkan studi S2 di Negeri Sakura. Semangat, bro! Aku neng burimu.

Mie Tiaw (Kew Tiaw) Sapi Pontianak
Bicara soal makanan yang kami pesan, gue paling suka dengan Kembang Tahu, hehe. Chai Kue-nya juga enak kok, tapi gue lebih suka yang goreng. Chai Kue, juga dikenal dengan Choi Pan di daerah lain, memiliki beberapa variasi isi. Namun yang kami icip saat itu, dan merupakan yang paling populer, adalah isi bengkuang.
Tuangkan cairan bumbu ke dalam mangkok kecil yang sudah disediakan, tambahkan sambel secukupnya bila mau, lalu cocol Chai Kue yang terjepit mantap pada kedua gagang sumpit. Endeeesss! Chai Kue atau Choi Pan ini halal. Tapi kalau masih ragu, ada Chai Kue di Gleam Café yang sudah memiliki sertifikasi halal dari MUI.
Karena masih laper, gue memesan seporsi Mie Tiaw (Kwetiaw) Sapi Goreng. Enak, namun citarasanya lebih manis daripada kwetiaw di Jakarta atau Bandung. Total semua pesanan kami termasuk es teh manis? Rp 62.000,00 aja, Travelearners!
Rumah Radakng
Di dalam tulisan sebelumnya, gue udah bercerita bagaimana pelayanan prima Hotel HARRIS Pontianak hingga bersedia mengantarkan gue ke gereja. Tak disangka, rupanya gereja yang berada di bilangan Jalan Moh. Yamin itu berada persis di samping Bunderan Tugu Pontianak dan Rumah Radakng, salah satu obyek wisata wajib di Pontianak.

Rumah Radakng, Pontianak
Tuhan itu pengertian banget ya. Dia tahu umat-Nya ingin beribadah. Kebingungan akan transportasi umum menuju lokasi pun sirna saat tiba-tiba Bu Arie, Manager On Duty hari itu, menawarkan mobil hotel untuk membantu gue berkeliling kota. Nah, di Pontianak ini ada banyak banget gereja. Bahkan, tanpa bermaksud apa-apa ‘nih, gue melihat lebih banyak gereja daripada masjid. Jadi, buat Travelearners yang seiman, jangan bolos ibadah ya kalau lagi jalan-jalan di Pontianak. Ibadah pagi, sore, malam; gereja konservatif atau moderat; ada semua!
Maka, begitu ibadah berakhir pukul 12:00, gue nggak buru-buru meminta driver untuk kembali menjemput, namun langsung mengarahkan langkah kaki menuju Rumah Radakng di bawah teriknya matahari Pontianak siang itu.

Lantai atas Rumah Radakng, Pontianak
Rumah Radakng di Jalan Sutan Syahrir, Pontianak, merupakan sebuah rumah adat khas Suku Dayak di Kalimantan Barat yang diresmikan tahun 2013. Jadi, ini bukan rumah adat kuno yang asli dipertahankan dari jaman penjajahan ya. Dengan tinggi 7 meter dan memanjang hingga 138 meter, Rumah Radakng menjadi rumah adat terbesar di Indonesia! Ia juga menjadi ikon kota Pontianak yang ke-2 setelah Tugu Khatulistiwa.
Psst, kalau nanti Patung Kuntilanak-nya jadi dibangun, mungkin predikat landmark kota Pontianak juga akan bergeser lagi 😀
Kebetulan, sedang ada semacam bazar saat gue datang berkunjung hari Minggu itu. Ada banyak remaja, beberapa di antaranya berseragam, dan booth-booth yang berjejer di kedua sisinya. Karena nggak ada yang terlalu menarik di bawah, maka gue naik ke atas untuk mencari tahu ada apa. Bagian atas ini adalah tubuh rumah yang sesungguhnya, karena bagian bawah hanyalah kolong rumah yang terbuka. Sayangnya ruangan di lantai atas juga sepenuhnya terkunci, jadi cuma bisa mondar-mandir atau duduk-duduk di balkon.
Ya udah, gue pun memilih duduk bersandarkan dinding untuk beristirahat sambil cek-cek berita online hari ini di Sindonews, cek notif semua aplikasi perpesanan, merespon semua notifikasi, check-in di Foursquare, duh… ngartis banget ya, mas 😀

Bagian belakang Rumah Radakng, Pontianak

Di rumah yang sebenarnya, tangga ini digunakan untuk naik-turun penghuni

Bagian belakang Rumah Radakng, Pontianak
Walau nggak menyajikan pemandangan kota 360 derajat, tapi panorama dari lantai atas Rumah Radakng ini lumayan untuk mengisi memori di SD Card kamera terus diunggah ke Instagram. Dari lantai atas ini, kita bisa melihat Gereja HKBP Kotabaru Pontianak yang berdiri di seberang Rumah Radakng dalam desain arsitektur klasiknya.
Rumah Adat Melayu
Menurut penuturan Yonky, ada 3 suku utama yang mendiami kota Pontianak: Dayak, Tionghoa, dan Melayu. Maka, pas banget ketika tepat di samping Rumah Radakng, berdirilah Rumah Adat Melayu yang tampil khas dengan balutan warna kuningnya. Bangunan yang menempati lahan seluas 1,4 hektar ini sudah lebih dulu ada daripada Rumah Radakng, karena diresmikan pada tahun 2005.

Trotoar di depan Rumah Adat Melayu, Pontianak

Rumah Adat Melayu, Pontianak

Rumah Adat Melayu, Pontianak
Sayangnya saat itu sedang berlangsung sebuah resepsi pernikahan Minang di Rumah Adat Melayu. Gue hanya mencukupkan diri dengan mengambil foto dari luar. Eh, bisa aja sih ya masuk ke dalem, pura-pura jadi tamu undangan, terus makan-makan dengan muka tak bersalah 😀
“Bolak-balek, bang?”
Celetukan gadis itu menghentikan langkah gue yang bergegas kembali ke arah luar. Ah, cewek yang bertugas sebagai penerima tamu itu rupanya diam-diam mengamati gue, mungkin sebagai pengusir bosan karena duduk sendirian di luar.
Gue berhenti, lalu melemparkan senyum padanya.
“Iya, ambil foto doang,” jawab gue saat itu. “Lagi ada nikahan ya?”
“Iya, adat Minang.”
“Oh, pengantennya orang Minang?”
“Dapet besan orang sana,” jawabnya, menghilangkan rasa penasaran gue.
Karena udah ngobrol, sebuah pemikiran pun merasuk ke dalam kepala. “Eh boleh foto?” tanya gue padanya. Tentulah, maksud gue adalah memfoto dirinya.
Gadis itu mengangguk, lalu mengedik ke arah dalam. Oh, dia sedikit salah paham.
“Eh, maksudnya foto kamu,” gue berkata dengan lebih jelas.
Dia tersenyum malu-malu, lalu berdiri di samping meja penerima tamu dengan senyuman terlebarnya.
Cekrek!
Bersambung.
WOW!!!
Foto penerima tamunya dulu siapa tau besok bisa dibawa ke pelaminan *eh
Bolehlah tu saya tiru caranya ndeketin cewek ya mas Nugi
Bahahaha. Difoto dulu, dinikahi kemudian 😂😂😂
Pengen suatu saat bisa ke sana juga.
Eh… cara spik ceweknya asyik juga ya mas. 😀
Wahaha, pada gagal fokus ke ceweknya nih. Senang bisa menginspirasi 😂😂😂
Rumah Radakng tuh dibacanya gmn? “Radakng” gtu ya?
Dibaca “radang” kayaknya. Aku bilangnya gitu dan gak di protes, jadi mungkin bener wkwk
Kangen makan choipan, tapi lebih kangen lagi ngopi di atas perahu sambil menyusuri sungai kapuas XD
Sama, mas. Duh, kalo aku bisa kerja remote berminggu-minggu, Pontianak will be on my top list. Tiap malem ke kedai kopi yang beda-beda 😀
Surga banget buat yang suka ngopi sambil nomgkrong 😀
Ember, mas. Terus kopinya gue banget gitu deh: kopi item pake gula, bahahahaha
rumah adatnya gede banget,
kalo dari bandung kira2 untuk ongkos bolak balik dan bekal bawa uang berapa yah untuk sekitar 3 hari disana ?
Nggak yakin ada penerbangan langsung dari Bandung, kalopun ada ongkosnya mahal. Gue flight + travel PP sekitar 1.3 juta. Ditambah biaya menginap, makan, dan obyek wista, kasarnya Rp 2 juta aja lah 🙂
berapa nih tiket dari makassar ke pontianak?
Bisa dicek langsung di Traveloka, wkwkwk
Rumah Radang-nya itu bagus yaa, takik-takik pohon kelapanya pengen banget deh dicobaa..
Udah lama pengen ke Ponti, nanti sekalian ikut Ghana mudik aja ahhh..
Andai booth-booth itu nggak ada, pasti bakal lebih bagus lagi. Agak merusak suasana menurutku, hahaha.
Rumahnya megah!
Tangganya asyik sekali—simpel tapi tetap dengan sentuhan etnik. Oya, tidak ke tugu khatulistiwa to? (saya sendiri belum pernah sih) 🙂
Iya tangganya etnik banget. Ke Tugu dong, itu sih destinasi wajib haha, tunggu sambungan ceritanya kak 😀
pernah ke rumah betang itu tapi cuma sebentar jadi tidak sempat menggali banyak info tentang ceritanya..
mudah2an bisa kembali kesana buat menjelajahi pontianak suatu saat nanti
Amin. Pontianak punya banyak hal buat dieksplor, kak!
seru juga ia kalau bisa main ke Rumah Radakng yang Asli di Pontianak …
Yup!
[…] 10 Hal yang Bisa Dilakukan di Pontianak, Kalimantan Barat (Bagian 1) […]
[…] Baca Juga: 10 Hal yang Bisa Kamu Lakukan di Pontianak […]
[…] Gue nggak hanya dikasih 2 malam, tapi juga antar-jemput dari dan ke bandara, half-day tour ke Tugu Khatulistiwa dan Rumah Radakng, bahkan juga diantar ke gereja! Ingat, saat itu baru April […]