
Aku duduk terguncang-guncang di dalam mobil travel yang melaju menembus gelapnya jalan dari Palembang, Sumatera Selatan, menuju Bengkulu. Oh, jangan pikir mobil travel ini seperti di Pulau Jawa dengan 3 baris bangku penumpang di belakang kursi sopir, bertipe minibus atau microbus, dengan nama brand yang jelas terpampang pada sisi bodi kendaraan. Tidak, tidak, mobil travel di sini tak ubahnya seperti mobil penumpang pada umumnya yang fungsinya disulap menjadi kendaraan umum. Bahkan nama brand pun tak ada.
Persis seperti mobil travel yang kunaiki dari Parapat, Simalungun, menuju kota Medan di tahun 2016 silam saat aku menjadi salah satu panitia Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba.
Aku tidak sendirian malam itu, namun 2 perempuan yang bersamaku itu sama-sama sudah teler di kursinya masing-masing. Mama (ibu mertua) di sebelah kananku bahkan sudah mabok dari sejak menit-menit pertama perjalanan. Beliau sebetulnya adalah sosok lansia yang kuat, tapi memang susah bersahabat dengan momen perjalanan darat menggunakan mobil atau bus. Ara, istriku yang duduk di sisi kiriku, memang tidak separah mama. Namun ia pun tertidur tak berdaya di kursinya, mengalihkan pikiran agar tidak muntah-muntah seperti mama.

Duduk di antara dua bangku membuat kepalaku tak kebagian sandaran kursi. Aku terjaga semalaman, hanya sesekali memejamkan mata namun seluruh indra lainnya tetap bekerja.
Esok paginya, aku tiba di Bengkulu dengan kantung mata menjuntai dan muka kucel berkeringat.
Ingin hati check-in di hotel berbintang, mandi air panas, lalu tidur sepuasnya di atas kasur yang empuk demi menumpas kantuk yang belum terbalas. Namun karena isi dompetku masih terbatas, ditambah tujuan utama kami ke Bengkulu adalah silaturahmi, maka kami harus mencukupkan diri tidur di atas tikar ruang keluarga. Ya sudah, yang penting ada tempat untuk meluruskan kaki dan mengistirahatkan punggung.
Berbeda dengan Palembang, Bengkulu menyapaku dengan lanskap pegunungan dan kontur tanah yang berbukit-bukit. Udaranya lebih sejuk, lalu lintas kotanya lebih tenang.


Setelah sebentar beristirahat, mandi, dan makan siang, sorenya aku dan Ara sudah dijemput salah seorang kawan baik Ara di Bengkulu, Yadi, yang dulu adalah adik tingkatnya di SMA. Tanpa lama berbasa-basi, kami langsung diantarkan menuju kawasan wisata utama Bengkulu: Pantai Panjang.
Pantai Panjang
Well, sebenarnya nggak di pusat Pantai Panjang-nya banget sih, tapi udah di dekat-dekat situlah. Secara pantainya memang panjang banget, jadi kadang nggak tau gimana pembagiannya sama pantai-pantai lain di sebelahnya.
Kedai-kedai makan sederhana berjajar di sepanjang Jalan Pariwisata, bersisian dengan garis pantai. Kami mampir di salah satu café ala ala, sekadar untuk bersantai, berkenalan, dan berbagi kabar. Kami duduk di area kursi yang ditata lepas pada pantai yang terbuka. Sambil menanti baskara terbenam di Pantai Panjang, kami berbincang. Tentang kehidupan, tentang Bengkulu, tentang dunia.
Jelang petang, aku dan Ara memuaskan diri untuk mengambil foto berlatarkan langit senja Pantai Panjang.


Sebelum pulang dan sambil menikmati malam, Yadi mengajak kami berkendara santai menyusuri Jalan Pariwisata. Ah, cantik sekali Bengkulu di sini. Di sisi kiri ada mal dan hotel-hotel. Di sisi kanan pantai, laut, kedai-kedai makan, dan kumpulan pohon cemara. Asyiknya warga Bengkulu, punya ruang publik seperti ini yang tak jauh dari pusat kota.
Danau Dendam Tak Sudah
Esok paginya, berbekal sepeda motor Yadi yang kami pinjam, Ara mengajakku ke Danau Dendam Tak Sudah. Danau ini lokasinya sangat dekat dengan rumah kerabat Ara. Sekilas, namanya terdengar unik. Konon, “Dendam Tak Sudah” ini berawal dari ungkapan “dam tak sudah” karena pembangunan dam/bendungan yang tak kunjung rampung. Jadi, danau ini memang bukan danau alami, ia dibangun oleh manusia. Entah bagaimana, lama-lama orang jadi menyebutnya Dendam Tak Sudah.


Ekspektasiku rupanya terlalu tinggi. Danau Dendam Tak Sudah belum baik dikelola sebagai sebuah destinasi. Ia seperti genangan besar terbengkalai di tepi jalan, dikelilingi warung-warung sederhana yang tak tertata rapi.
Aku membayangkan Danau Dendam Tak Sudah sebagai sebuah area publik yang dilengkapi taman, jalur pejalan kaki, jogging track, dan sudut komersil yang tertib. Yah, minimal seperti telaga-telaga di Dieng inilah.
Kami acak saja memilih salah satu warung, memarkirkan sepeda motor, dan menempati bangku yang menghadap danau. Aku memesan nasi goreng dan kopi hitam panas (tetep ya), sementara Ara memilih jagung bakar dan kelapa utuh. Rasanya? Aku biasanya memiliki penerimaan tinggi soal rasa. Tapi untuk makanan yang kupesan ini, monmaap nasi goreng bikinanku sendiri masih lebih enak 😂
Fort Marlborough
Ke Bengkulu rasanya nggak lengkap kalau belum ke Fort Marlborough. Malah, inilah destinasi wisata Bengkulu yang paling kunanti-nantikan.
Jangan bayangkan Benteng Marlborough ini seperti Benteng Vredeburg di Jogja. Marlborough jauh lebih asyik! Daya tariknya bukan area pameran di dalam bentengnya sendiri karena begitu-begitu saja dan tak banyak yang bisa dilihat. Ara mengajakku menapaki anak-anak tangga untuk naik ke atas benteng.


Posisinya yang berada di tepi pantai dan dekat kawasan pusat kota Bengkulu membuat Fort Marlborough menawarkan pemandangan yang menyejukkan. Kami tak sendiri, karena ada puluhan pengunjung lainnya yang melakukan hal yang sama. Sebagian areanya diselimuti rerumputan yang empuk, nyaman sebagai alas duduk sembari menunggu baskara tenggelam di sudut ufuk.
Aku tak akan banyak berceloteh tentang sejarah Benteng Marlborough dan fakta-faktanya di sini. Sudah banyak sumber yang lebih kredibel di luar sana. Jadi, tulisan ini akan fokus pada cerita perjalanan kami dan pendapat pribadi.


Ah, rasanya aku bisa betah duduk berlama-lama di atas Benteng Marlborough, tentu saat cuaca nyaman. Membawa kopi racikan sendiri, tenggelam dalam imaji, berbicara pada senja di penghujung hari.
Pantai Sungai Suci
Destinasi kali ini tidak berada di dalam wilayah kota Bengkulu, namun ada di kabupaten Bengkulu Tengah. Meskipun jaraknya jauh, namun perjalanan tetap terasa menyenangkan karena lalu lintas yang tidak ramai. Asik banget motoran di jalan yang sepi tuh. Kami sebenarnya nggak mengkhususkan diri untuk sengaja ke pantai ini. Kebetulan, Ara mengajakku mengunjungi desa tempat ia dulu tinggal sewaktu kecil, dan kami melalui pantai ini. Pantai Sungai Suci mengukir memori Ara kecil dan remaja.
Merujuk pada namanya, Ara berkelakar, “Pantai Sungai Suci ini krisis identitas. Pantai, tapi Sungai.”


Berbeda dengan pantai-pantai di sepanjang pesisir kota Bengkulu yang landai dengan pasir sehalus ayakan tepung, Sungai Suci adalah pantai dengan tebing curam seperti beberapa pantai di pesisir selatan kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta seperti Bukit Pengilon ini. Jadi memang bukan pantai untuk mandi-mandi, hanya untuk diamati dan untuk tempat, ehem.. (melirik ke gubuk-gubuk semi tertutup yang berjajar di salah satu area pantai)
Tak ada tiket masuk. Kami menikmati waktu dulu di area itu, sambil memesan es kelapa muda utuh. Ada beberapa bangku terbuka, juga lahan berumput yang nyaman untuk jadi tempat rebahan.
Setelah puas dan merasa bosan, kami beranjak ke area lainnya Pantai Sungai Suci. Di bagian ini, ada tebing yang menjorok ke lautan, bahkan ada batu karang kecil yang benar-benar terpisah dari daratan utama, terhubung oleh jembatan gantung. Tentu saja, jembatan gantung itu dikomersilkan, ada tiket masuk untuk pengunjung yang mau memasukinya. Masih murah sih, Rp5 ribu saja. Meski pendek dan nggak terlalu tinggi, tapi sudah cukup membuat nyaliku yang fobia ketinggian ini ambyar 😂 Coba lihat saja ekspresiku saat melewati jembatan gantung di video ini.


Nggak banyak yang bisa dilakukan di pulau kecilnya, paling jajan dan foto-foto, atau mengamati deburan ombak yang berderai ketika tertumbuk pada tebing terjal.
Ngomong-ngomong, mendekati Pantai Sungai Suci kami melalui jalanan pedesaan Bengkulu yang sangat indah! Menyesal tidak merekamnya atau berhenti sebentar di salah satu sudut jalan.
Kebun Teh Kabawetan, Kepahiang
Salah satu hal yang kusuka dari Bengkulu adalah lanskapnya yang beragam, terangkum dalam satu wilayah provinsi yang juga ringkas. Pantai, bukit, gunung, danau, air terjun, ada semua.
Setelah menginap semalam merayakan pergantian tahun dalam ibadah tutup tahun yang khidmat dan hangat di kampung halaman Ara, kami berangkat ke kabupaten Kepahiang bersama Yadi dengan mobilnya. Dari pantai, naik ke pegunungan. Kalau Bandung punya kebun teh Pangalengan, Bengkulu punya perkebunan teh Kabawetan. Setelah berpanas-panasan, kami tenggelam dalam kesejukan.


Aku sendiri belum pernah ke Pangalengan atau perkebunan teh lainnya di sekitaran Bandung, jadi tidak bisa memberikan perbandingan yang valid 😅 Hanya pernah motoran ke Ciwidey, tapi itu pun tujuannya Situ Patenggang dan Kawah Putih.
Yang jelas, perjalanan menuju Kabawetan benar-benar memanjakan! Kami berkendara melalui jalanan sempit pegunungan yang naik-turun, diapit jajaran pohon sengon yang tumbuh tinggi menjadi gapura alami. Perkebunan teh yang hijau terhampar luas berlatarkan gugusan pegunungan.
Tiba di kawasan inti wisata Kabawetan, suasana sangat ramai. Jalanan dipadati kendaraan-kendaraan yang parkir dan berjalan tersendat. Maklum, hari itu adalah tanggal merah 1 Januari 2022. Nggak harus ke kawasan itu kok, silakan pilih sudut-sudut lain yang lebih sepi. Kau tak akan kehabisan perkebunan teh di sini.


Layaknya sebuah kawasan wisata yang mulai berkembang, sudah ada pengelola yang membangun area wisata berbayar dengan elemen-elemen artifisial. Syukurlah nggak se-alay tempat-tempat wisata Pulau Jawa yang biasanya menghadirkan jantung hati raksasa 🙃 Atau mungkin saja, belum? Hehe. Ada satu tempat makan juga di dekatnya, selebihnya hanyalah penjual-penjual makanan keliling. Nah, kamu yang udah siap bisnis kedai kopi atau restoran, coba bangun di Kabawetan.
Rumah Ibu Fatmawati & Rumah Kediaman Bung Karno
Ini adalah 2 tempat wisata berbeda yang juga tidak berdekatan. Namun karena tak banyak cerita dan impresiku di 2 tempat ini, jadi ulasannya aku satukan.

Rumah Ibu Fatmawati berukuran selayaknya rumah pada umumnya dengan halaman yang juga secukupnya di bagian depan. Dibangun dengan gaya rumah panggung dan dinding kayu khas rumah-rumah orang Sumatera dan Melayu. Tak terlalu banyak isi rumahnya, namun yang paling menarik adalah ruangan dengan mesin jahit lawas dan bendera Merah Putih, mengenang bagaimana dulu sang ibu negara menjahit bendera negara kita.
Tidak ada tiket masuk resmi, namun ada bapak penjaga yang membantu mengambil foto kami. Berikanlah sumbangan seikhlasnya.
Nah, Rumah Kediaman Bung Karno jauh lebih luas dengan tiket masuk resmi. Ada area taman lapang yang membuatnya tampak seperti istana negara alih-alih “rumah kediaman”.
Di dalamnya terdapat ruang-ruang selayaknya sebuah rumah, seperti ruang tamu dan kamar tidur. Barang-barang peninggalan Bung Karno pun dipamerkan, misalnya sepeda, bangku rotan, dan ranjang. Di belakang rumah pun masih ada taman kecil.
Berendo Kota Bengkulu
Kalau ditanya apa satu bangunan yang paling disuka dalam kunjunganku di Bengkulu? Maka jawabannya adalah Berendo.


Sekilas, Berendo Kota Bengkulu tampak sebagai sebuah masjid megah saja, padahal ia lebih daripada itu. Berendo adalah sebuah alun-alun, tempat publik terbuka yang boleh dikunjungi semua warga. Bagian utamanya memang adalah Masjid Agung At-Taqwa, namun ada juga plaza yang luas, ada menara pandang, dan kabarnya sedang disiapkan area kuliner juga.
Arsitektur dan desain eksterior masjidnya mengingatkanku dengan Sheikh Zayed Grand Mosque di Abu Dhabi, apalagi guyuran warna putihnya. Jadi sebelum Masjid Sheikh Zayed di Solo itu ada, Berendo sudah hadir lebih dulu.



Saat itu kami ke Berendo Kota Bengkulu di siang hari yang terik. Nyaris tak ada pengunjung lain yang menikmati area Berendo, juga tak ada kegiatan komersil. Entah bagaimana jadinya saat malam, apakah lebih ramai atau tetap sepi. Ara juga kurang tahu, karena Berendo adalah tempat baru.
Makam Inggris dan Gedung Daerah Provinsi Bengkulu
Di siang hari yang terik setelah bertamu di Rumah Kediaman Bung Karno, kami berteduh ke Makam Inggris Jitra. Kata Ara, dulu saat masih bekerja sebagai jurnalis, ia sering menyepi dan beristirahat di Makam Inggris. Rindang dan tenang katanya. Warga sekitar sampai keheranan melihat polahnya 😂



Komplek Makam Inggris Jitra tidak luas, bukan areal makam besar seperti Ereveld Pulo, misalnya. Persis di sampingnya ada Gereja HKBP Jitra.
Dari situ, kami lalu berpindah ke kawasan Gedung Daerah Provinsi Bengkulu. Ah, betapa kusuka kawasan ini! Jalanannya lumayan tenang, rindang, dan bersih. Di halamannya yang luas, rusa-rusa dibiarkan berkeliaran. Tentu saja gerbangnya dalam kondisi tertutup rapat dan ada pagar pembatas yang tinggi. Tapi biar begitu, ada beberapa penjual wortel untuk pengunjung yang tertarik memberi makan rusa melalui celah-celah pagar besi.
Di seberangnya ada taman dan Alun-Alun Kota Bengkulu beserta Tsunami Tower (View Tower) yang ikonik dan.. terbengkalai, haha. Sayang sekali, padahal bisa jadi atraksi yang menarik hati. Di taman, aku dan Ara menikmati es dari salah satu penjual yang banyak menjajakan makanan dan minuman di sekitar taman.




Dari sana, kami ke Fort Marlborough dan kawasan pantai lagi melalui beberapa landmark historis kota Bengkulu, seperti Tugu Pers.
Siang hari di tanggal 4 Januari 2022, kami sudah tiba di Bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu. Bandaranya kecil dan susah dijangkau transportasi umum, sehingga kami memesan taksi online dari aplikasi Maxim. Saat itu duo aplikasi hijau belum ada di Bengkulu. Entah kalau sekarang.
Tak ada tempat makan di dalam bandara, sehingga kami harus sedikit jalan kaki berpanas-panasan menuju kantin di seberang sana. Tidak ber-AC dan atapnya dari baja ringan. Untung saat itu cuacanya masih cukup sejuk. Aku memesan, ehem, lagi-lagi nasi goreng dan kopi hitam panas 😂 Syukurlah kali ini lebih enak. Selesai makan dan sedikit rehat, kami check-in dan masuk ke dalam boarding room.
Sialnya, penerbangan kami dengan maskapai Lion Air menuju Jakarta tertunda beberapa puluh menit. Kami mendapat kompensasi berupa nasi kotak dengan lauk ayam crispy ala ala KFC dan segelas air mineral. Terjebak delayed flight di bandara sekelas Bengkulu bukanlah hal yang menyenangkan, tak banyak yang bisa dilakukan. Kami bahkan sampai streaming Disney+ dengan laptop sendiri saking bosannya.



Namun pada akhirnya, kaki ini kembali menjejak Jakarta, yang lalu membawaku melaju ke Bandung. Terima kasih untuk kenangan dan perkenalan yang indah, Bengkulu. Aku menyukaimu, dan akan dengan senang hati kembali mengetuk pintu rumahmu. Bengkulu adalah kota yang nyaman dan menyenangkan. Lain waktu ke Bengkulu, kami akan tetirah di hotel mewah dan lebih banyak berpetualang menggoyang lidah. Keep learning by traveling~
Artikel ini terpilih sebagai “Top Travel Blog 2024” dari penerbit bahan ajar pendidikan Twinkl.














Hahahahahah beberapa ceritanya bikin ketawa aja nih mas 😄. Sukaaaa baca caramu bercerita di sini.
Bengkulu ini salah satu kota di Sumatera yg aku belum datangin. 2017 sebenernya ada kesempatan kesana, sahabat Raka nikah. Tapiiiii bertepatan Ama trip kami ke jepang, yg mana ga mungkin dicancel 🤣🤣.
Ternyata kotanya memang baguuus yaa. Aku seneng pas baca kota ini LBH sejuk. 👍. Kalo nanti jadi road trip ke palembang, aku mau minta Raka sekalian ke kota ini deh 🤭
Tempat wisatanya ga jauh beda Ama kota lain sbnrnya yaaa.. ada pantai, danau, sungai, museum atau benteng. Tapi aku LBH tertarik Ama kuliner. Sayang kamu ga eksplor di situ, kec si nasgor yg kayaknya LBH enak buatanmu ya mas🤣
Semoga ntr Ama Ara bisa kesana lagi dan eksplor LBH banyak 👍
Hehe, iya ada beberapa pengalaman lucu di sana.
Bengkulu ini kota kecil tapi paket wisata lengkap. Jogja aja masih jauh kalau mau ke pantai. Nanti kalau ke Bengkulu lagi, aku mau fokus wisata kuliner hehe.
Selain sama Palembang, juga bisa disatukan sama road trip dari Sumatera Barat.
Baca bagian awal aku jadi ingat perjalanan Palembang-Lubuklinggau beberapa tahun lalu karena adikku nikah di sana. Asli, jalannya memang ekstrim banyak lubang. Bahkan ada spot tertentu yang ngeri, pinggir sungai tapi jalannya tinggal separo. Aku yang biasanya nggak pernah mabok aja bisa seketika mual. Pas istirahat di Sekayu langsung lari ke toilet buat hoek… hehehe. Menegangkan tapi seru, kita jadi bisa lihat pelosok Sumatera itu kayak apa. Cuma kalau di sana, kata adik iparku, kita musti waspada kalau keluar malam, karena rawan begal. Terutama buat orang luar daerah, sebaiknya jangan keluar malam sendirian tanpa didampingi orang lokal.
By the way, asyik juga wisata ke Bengkulu. Kapan-kapan deh, kalau pas ada budget lebih, aku merayu adikku buat ke sana.
Betul sekali soal himbauan malam-malam. Jangankan di daerah pelosok, orang Palembang kota pun menghindari keluar malam-malam.
Padahal cuma sejauh Selat Sunda, namun bisa sangat berbeda.
[…] yang menjadi salah satu sorotan dalam perjalanan kali ini! Di negara yang tak lebih luas dari Provinsi Bengkulu ini, saya akan mengunjungi 4 kota: Podgorica, Kotor, Budva, dan Bar. […]