Menikmati Senja dan Kereta Api di Masjid Raya Al-Jabbar, Bandung

Papan nama bertuliskan “Masjid Raya Al-Jabbar” itu selalu menarik perhatian di setiap kali aku berangkat ke kantor di Kawasan Summarecon Bandung. Berbulan-bulan aku mengabaikannya, sejak kantorku mulai memberlakukan skema bekerja hybrid sejak tahun 2025. Namun, suatu hari di bulan Februari, mendadak aku menepis perasaan abai itu dan memutuskan, “Pulang kantor, aku mau ke sana ah.”

Ternyata, aku tak menyesali keputusan itu, karena Masjid Raya Al-Jabbar kini jadi salah satu destinasi kesukaan. Maka, sebelum tahun 2025 ini berakhir, aku ingin menceritakan dulu kunjunganku ke masjid kebanggaan (?) masyarakat Jawa Barat ini.

Masjid megah itu tak memiliki kesan pertama yang baik di mataku. Sebagai aktivis transportasi umum dan pengamat kebijakan publik, halah, Ridwan Kamil yang menghambur-hamburkan uang sekian milyar Rupiah untuk masjid ini terasa sangat janggal untukku. Sementara, transportasi dan infrastruktur umum kota Bandung (atau Jawa Barat pada umumnya, kecuali Bodebek) masih jauh dari layak. Namun, perasaanku agak berubah saat aku mengunjunginya.


Masjid Raya Al-Jabbar, Ikon Baru Bandung Timur

Kebetulan, saat itu aku sedang tinggal sendiri. Ara dan kedua putri kembar kami sedang berlibur ke rumah eyangnya di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Cerita perjalananku menyusul mereka bisa dibaca di sini. Jadi, untuk mengisi waktu dan mengusir sepi, aku berpikir untuk mampir ke masjid ini.

Keluar Kawasan Summarecon Bandung (Sumaba), aku tinggal mengambil arah ke kiri dan mengikuti jalan raya itu hingga menyeberangi sebuah sungai kecil yang jembatannya masih terbuat dari kayu. Turun dari jembatan, jalan jadi agak melebar, dan masjid terapung itu sudah berdiri gagah di sisi kanan. Aku masih melanjutkan laju sepeda motorku karena keberadaan pemisah lajur jalan yang membuatku tidak bisa langsung menyeberang ke kanan. Aku memutar beberapa meter di depan, dan… agak bingung dengan akses parkir sepeda motor.

Karena takut salah, atau kelewatan, yang membuatku nanti malah makin kerepotan, aku dengan ragu memasukkan sepeda motorku ke kawasan parkir bus wisata yang bersisian dengan kawasan berbelanja. Semacam pasar, atau pusat oleh-oleh yang biasa berdampingan dengan tempat wisata besar. Aku letakkan sepeda motor di bawah kanopi bersama beberapa sepeda motor lainnya. Aku lalu memasuki kawasan Masjid Raya Al-Jabbar melalui pasar itu.

Aku tiba di penghujung sore, masih ada sisa-sisa cahaya matahari yang membuat suasana masih cukup terang. Untuk memasuki bangunan utama masjid yang berdiri di tengah sebuah danau buatan, pengunjung harus melalui jembatan. Tiba di ujung jembatan, kita harus melepas alas kaki untuk memasuki area pelataran masjid. Maka dari itu, sebaiknya membawa tas atau minimal kantong plastik sendiri. Ada tempat penyimpanan juga kalau memang nggak bawa tas atau kantong.

Masjid Raya Al-Jabbar adalah salah satu landmark religius dan arsitektural paling mencolok di Bandung. Terletak di kawasan Gedebage, masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai ruang publik, destinasi wisata religi, sekaligus simbol identitas Jawa Barat modern. Masjid ini dirancang langsung oleh Ridwan Kamil, arsitek sekaligus Gubernur Jawa Barat saat pembangunannya. Gaya arsitekturnya memadukan geometri Islami yang kuat, sentuhan futuristik dan modern, dan interpretasi visual dari alam dan budaya Sunda. Aku tak menyangkal, bahwa arsitekturnya membuat saya terpesona.

Menikmati Wara-Wiri Kereta Api dari Masjid Raya Al-Jabbar

Aku menapaki anak-anak tangga untuk naik ke pelataran atas, menghampiri bentuk bangunannya yang menyerupai perahu atau sayap yang mengembang (atau bunga teratai/lotus?), berdiri megah di atas kolam retensi luas. Karena dikelilingi air, masjid ini sering dijuluki “masjid terapung”, meskipun secara struktur tetap berdiri di atas lahan.

Sebagai pengagum arsitektur, ia menyambutku dengan fasad geometris. Dinding luarnya dipenuhi pola segitiga berulang yang terinspirasi dari seni Islam kontemporer. Saat malam hari, pencahayaan LED membuat masjid tampak dramatis dan ikonik. Tak ada tiang tengah yang menyangga kubahnya, sehingga interior masjid terasa lapang. Cahaya matahari masuk melalui celah dan pola fasad, menciptakan permainan bayangan yang berubah sepanjang hari. Menara tinggi rampingnya menjadi penanda visual masjid dari kejauhan, sekaligus penyeimbang komposisi bangunan.

Kalau kau naik kereta api dari Bandung ke arah timur (Rancaekek, Cicalengka, dan seterusnya), masjid ini akan menyapamu di sisi kiri jendela dari arah kedatangan kereta.

Masjid Raya Al-Jabbar diresmikan pada Desember 2022 dan berfungsi sebagai Masjid Raya Provinsi Jawa Barat, menggantikan peran simbolis masjid-masjid besar sebelumnya, seperti Masjid Raya Bandung. Pembangunannya juga sekaligus menjadi bagian dari penataan kawasan Gedebage sebagai pusat pertumbuhan baru Bandung.  Karena, seharusnya, Bandung Timur ini menjadi area pengembangan baru Bandung yang modern dan tertata. Ada Masjid Raya Al-Jabbar, Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Kawasan Summarecon Bandung, dan Stasiun Kereta Cepat Tegalluar. Seharusnya juga, ada LRT Bandung Raya yang menghubungkan stasiun kereta cepat itu dengan pusat kota Bandung tapi… ya sudahlah. Sekarang, cuma Summarecon-nya aja yang tertata.

Nama “Al-Jabbar” diambil dari salah satu Asmaul Husna, yang bermakna Yang Maha Perkasa atau Yang Maha Menyempurnakan, mencerminkan harapan akan kehadiran masjid ini sebagai pusat spiritual dan sosial. Kebetulan, juga mirip dengan singkatan Jabar (Jawa Barat).

Masjid ini tidak hanya untuk sholat. Di dalam dan sekitarnya terdapat: area edukasi Islam, museum dan galeri tematik, plaza terbuka untuk keluarga, ruang refleksi dan rekreasi ringan. Karena itu, Al-Jabbar sering dikunjungi bukan hanya oleh jamaah, tetapi juga wisatawan, fotografer, hingga keluarga yang ingin menikmati ruang publik religius yang inklusif. Seperti aku juga, blogger Kristen yang menikmati senja di pelataran masjid raya.

Aku suka dengan pelataran atas ini, karena aku bisa melihat pegunungan priangan yang terbentang mengelilingi Bandung dari berbagai jurusan. Aku juga bisa mengamati perairan buatan yang mengepung masjid, dan… “Tut tuuuttt tuuuttt, jugijagijugijagijug…” Eh, kok ada suara kereta api keras sekali? Aku sejenak lupa, bahwa masjid ini memang berada persis di sisi rel kereta api. Stasiun Cimekar pun, yang melayani KRL Commuter Line Bandung Raya dan KA lokal lainnya, terletak tak jauh dari sini.

Aku turun ke bawah, menghampiri lorong kanopi yang belum sempat kususuri. Ah, cantik sekali lorong ini. Desainnya simetris dengan banyak unsur geometri dekoratif, lampu yang berpendar keemasan, perairan di salah satu sisinya, dan… jalur kereta api di seberang sana. Aku duduk di salah satu bangkunya, menanti senja yang sesaat lagi dicumbu malam, mengamati si ular besi yang wara-wiri di penghujung hari.

Untuk lebih optimal, kau bisa menyaksikan kunjunganku ke Masjid Raya Al-Jabbar di video ini:

Sejenak, aku lupa bahwa aku masih berada di Bandung, Indonesia. Suasana ini, kebersihan ini, area lapang yang luas ini, identik dengan suasana yang biasa kurasakan di Malaysia atau Vietnam. Semakin malam, angin bertiup semakin kencang, persis saat kita berada di tepi pantai atau danau alami. Aku takut ponselku terjatuh dan tenggelam ke dalam danau, ‘kan nggak lucu. Jadi, seiring dengan adzan maghrib yang berkumandang, aku berjalan pulang.


Ternyata, area parkir sepeda motor berada persis di samping masjid, di dalam area masjid raya. Seharusnya aku tak buru-buru masuk ke halaman parkir bus wisata, dan motoran sedikit lagi lalu berbelok ke kiri. Bersama dengan tarian cahayanya, aku meninggalkan masjid raya. Sebelum benar-benar pulang, ingin makan malam dulu di warung makan apapun yang menghadap rel, tapi ternyata tidak ada. Aku jadi hanya makan ayam krispi geprek karena lokasinya paling dekat dengan rel, meski tetap tidak bisa melihat rel dengan leluasa.

Masjid Raya Al-Jabbar bukan sekadar bangunan ibadah, tetapi pernyataan visual tentang bagaimana Islam, arsitektur, dan ruang kota bisa berpadu secara modern tanpa kehilangan makna spiritual. Ia merepresentasikan Bandung dan Jawa Barat hari ini: religius, kreatif, dan progresif. Terima kasih sudah membaca, keep learning by traveling~

9 komentar

  1. avatar Dian Restu Agustina

    Di awal masjid ini berdiri, saya juga sempat membatin, mengapa tidak merapikan dulu saja wilayah Bandung dan Jawa Barat pada umumnya…

    Tapi setelah masjidnya jadi, saya baru sadar, kalau masjid ini menawarkan pengalaman holistik yang menggabungkan fungsi ibadah, pendidikan, keindahan visual, dan kebanggaan budaya, jauh melampaui fungsi masjid pada umumnya. 

  2. avatar Diah Woro Susanti
    Diah Woro Susanti · · Balas

    Poin tentang akses parkir motor yang agak membingungkan itu relate banget! Lokasi landmark segede itu di kawasan pengembangan baru harusnya punya petunjuk dan akses yang lebih jelas dari awal. Dulu aku juga kesasar mana jalannya jauh banget huhuhu… Semoga pengelola segera perbaiki rambu-rambu parkir di sana. Capek deh kalau harus muter-muter di Gedebage yang udah macet!

  3. avatar Nanik Nara

    Walau motornya parkir di sebelah area perkir bus, alhamdulillah aman saja kan ya.

    Bagus banget ya emang masjid raya Al Jabbar ini, karena memang pastinya ada makna filosofisnya juga kenapa bentuk bangunannya serta penataannya seperti itu.

    Masjid bukan hanya sebagai tempat sholat, sepertinya ini yang ingin kembali digaungkan oleh Ridwan Kamil dalam perancangan dan pembangunan masjid ini. Sebagaimana fungsi awalnya, Masjid adalah pusat segala kegiatan umat

  4. avatar annienugraha
    annienugraha · · Balas

    Been here dan benar-benar takjub dengan rancang bangun yang dikerjakan oleh Kang Emil. Detailingnya juga cantik betul. Saat di sini, rasanya tak putus dengan rasa kagum yang tak bisa ditahan. MashaAllah.

    Ternyata menyore di sini tuh berkesan betul ya Gi. Saya malah belum pernah. Kapan-kapan ah diwujudkan. Jadi ada alasan kuat untuk kembali.

  5. avatar Yuni Bint Saniro

    Masjid Raya Al Jabbar Bandung tuh keren banget sih. Nggak heran kalau kemudian menjadi salah satu landmark wisata religi. Bagus. Aku pingin berkunjung ke sana. Minimal sekali lah.

  6. avatar Maria G Soemitro

    wow top banget emang reviewnya Nugie tentang masjid raya Al Jabbar
    Selama ini selalu ngelihat masjid ini dalam perjalanan berangkat-pulang dari/ke rumah di Cinanjung Kabupaten Sumedang
    Pernah terpikir sih, ngapain bikin masjid yang jauh dari pemukiman, dari tulisan Nugie saya jadi paham manfaatnya

    Tenkyu ya

  7. avatar Maria G Soemitro

    wow top banget emang reviewnya Nugie tentang masjid raya Al JabbarSelama ini selalu ngelihat masjid ini dalam perjalanan berangkat-pulang dari/ke rumah di Cinanjung Kabupaten SumedangPernah terpikir sih, ngapain bikin masjid yang jauh dari pemukiman, dari tulisan Nugie saya jadi paham manfaatnya

    Tenkyu ya

  8. avatar www.annisakih.com

    Saya pun tahu tentang Mesjid AlJabar ini awalnya dari postingan media sosial pak mantan. Baru ngeh kalau bagi warga lokal ada kontroversinya juga.

    Yang saya ngeh saat mau membangun LRT beliau sempat menyentil LRT Palembang sepi. Saya sampai buat satu postingan blog sendiri juga tuh waktu itu untuk menanggapinya.

  9. avatar Hani

    Sabtu minggu yl ke Cicalengka naik KRD, berhenti di Cimekar. Katanya bisa ke Al Jabbar dari Cimekar. Tapi belum coba. Bahkan sampai sekarang belum juga ke Al Jabbar, udah jiper duluan takut macet dan susah parkir. Sering lihat cuma dari dalam KA kalau ke Solo…Keren banget memang ya kalau masuk ke dalem…Mau coba ah, naik KRD…

Tinggalkan Balasan ke Nanik Nara Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Matius Teguh Nugroho

keep learning by traveling

Duo Kembara

Cerita Si Kembar dan Mommy Ara menghadirkan kebaikan

Lonely Traveler

Jalan-jalan, Makan dan Foto Sendirian

Guru Kelana

Perjalanan sang guru di berbagai belahan dunia

dyahpamelablog

Writing Traveling Addict

Daily Bible Devotion

Ps.Cahya adi Candra Blog

bardiq

Travel to see the world through my own eyes.

Teppy & Her Other Sides

Stories, thoughts, places...

Mollyta Mochtar

Travel and Lifestyle Blogger Medan

LIZA FATHIA

a Lifestyle and Travel Blog

liandamarta.com

A Personal Blog of Lianda Marta

D Sukmana Adi

Ordinary people who want to share experiences

papanpelangi.id

sebuah blog perjalanan

Guratan Kaki

Travel Blog

Omnduut

Melangkahkan kaki ke mana angin mengarahkan

BARTZAP.COM

Travel Journals and Soliloquies

Bukanrastaman

Not lost just undiscovered

Males Mandi

wherever you go, take a bath only when necessary

Eviindrawanto.Com

Cerita Perjalanan Wisata dan Budaya

Plus Ultra

Stories and photographs from places “further beyond”.

backpackology.me

An Indonesian family backpacker, been to 25+ countries as a family. Yogyakarta native, now living in Crawley, UK. Author of several traveling books and travelogue. Owner of OmahSelo Family Guest House Jogja. Strongly support family traveling with kids.

Musafir Kehidupan

Live in this world as a wayfarer

Cerita Riyanti

... semua kejadian itu bukanlah suatu kebetulan...

Ceritaeka

Travel Blogger Indonesia

What an Amazing World!

Seeing, feeling, and exploring places and cultures of the world

Winny Marlina

Winny Marlina - Whatever you or dream can do, do it! lets travel

Olive's Journey

What I See, Eat, & Read

tindak tanduk arsitek

Indri Juwono's thinking words. Architecture is not just building, it's about rural, urban, and herself. Universe.

dananwahyu.com

Menyatukan Jarak dan Waktu