Pesawat mendarat dengan cukup mulus tanpa goncangan yang berlebihan, sang pilot telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Tapi kru sempat kesulitan membuka pintu pesawat, sehingga penumpang harus menunggu selama beberapa saat. Pintu akhirnya berhasil dibuka, penumpang berduyun-duyun bergerak melalui sebuah lorong menuju gedung bandara Changi. Nah, kalau sekarang saya baru terpukau! Bandara Changi ini tak hanya besar, tapi juga mewah dan modern. Lantainya dilapisi dengan permadani yang empuk dan segala sesuatunya kinclong. Nanti saya ceritakan lebih detil di akhir series 😀
Kami berjalan menuju bagian imigrasi. Saya melihat penumpang yang lain pada sibuk mengisi sesuatu di sudut aula. Saya udah curiga aja sih kita harus ngisi, tapi saya tanyakan pada teman saya, katanya nggak usah. Saya turutin. Sampai di depan petugas imigrasi, kami disuruh balik untuk mengisi form imigrasi lebih dulu. Tuh, ‘kan beneeerrr? -_____-
Petugas imigrasinya nyolot banget sumfah! Cowok, pake kacamata, dengan kasar bilang, “Kartu imigrasinya mana?!” seraya melambaikan selembar form dan mengedik ke arah beberapa turis yang sibuk mengisi sesuatu di sudut aula. Dari logatnya, kayaknya sih dia orang Indonesia. Harusnya bisa lebih ramah, Pak.
Oke, sampai di Changi, DAN KITA BINGUNG! HAHAHAHAHA #tertawagetir. Ini nggak tahu deh harus ke mana dan harus ngapain lagi. Mengikuti papan petunjuk yang mengarahkan pengunjung kepada Skytrain, saya pun bergerak ke situ, mengikuti khalayak massa. Sempet ragu-ragu sebelum naik Skytrain, beli tiket apa enggak, bayarnya berapa (karena kami berdua sama-sama belum punya uang kecil). Setelah tanya sama petugas bandara beretnis Cina, ternyata Skytrain ke Terminal 3 itu gratis! Ehehe. Nah, dari Terminal 3 itu deh kita harus naik MRT.
Sampai di stasiun MRT, kami bingung lagi. Di mana beli tiketnya, apakah nggak apa-apa pake duit gede, ambil jurusan apa, dan sebagainya dan seterusnya. Saya lantas bergerak menuju posko mudik Pantura passenger service, meminta informasi kepada salah satu petugas yang adalah seorang emak-emak India. Saya menanyakan bagaimana cara menuju Jalan Besar (Tresor Tavern Hostel ada di situ), namun dia sempet agak bingung karena Jalan Besar itu adalah jalan yang panjang. Ada 2 stasiun yang bisa digunakan untuk menuju ke situ. Sayangnya saya nggak tahu detil tempatnya, RT / RW berapa, kampung apa, desa apa. Yang saya tahu hanyalah Jalan Besar 243. Dia lalu menyarankan untuk turun di Stasiun Farrer Park.
Saya mengucapkan terima kasih, dan kami bergerak menuju mesin tiket. Lagi-lagi, kami agak kebingungan. Nggak disangka, ternyata ibu-ibu India itu mengikuti kami. Dia lantas dengan murah hati menunjukkan bagaimana cara menggunakan mesin tiket MRT tersebut. Al menyerahkan selembar uang 50 SGD padanya, yang dikembalikan dengan uang sejumlah 45 SGD, sementara lembar 5 SGD digunakan untuk membayar ongkos. Dua lembar tiket keluar, diikuti dengan suara gemerincing dari koin-koin uang kembalian. Tak cukup sampai di situ, beliau lantas memberi kami sebuah peta kecil MRT, menandai stasiun-stasiun mana saja tempat kami harus melakukan transfer. Baik bangeeeeeettt! That’s really a good service! Thank you so much, Ma’am 🙂
Kereta Singapore MRT datang, saya melangkah masuk dengan masih menyisakan sejumput keraguan. Kami duduk di dalam sebuah gerbong yang bersih, modern, dan sejuk, bersama penumpang-penumpang lain yang tampak tak acuh. Di sudut kiri, tepat di tengah sambungan gerbong, saya melihat sekelompok Singaporean boys lagi asyik ngobrol sambil ketawa-ketawa. Penampilan fisiknya nggak beda jauh sama anak-anak SMA Indonesia, macem anak BPK Penabur lah 😀
Saya memusatkan perhatian pada suara, “Next station, bla bla bla. Please do not lean against the door,” yang senantiasa berkumandang di dalam kereta, menginformasikan stasiun mana yang akan dituju. Sementara di sudut atas gerbong, saya melihat titik-titik lampu yang saling terhubung dengan sebuah garis, mengilustrasikan rute MRT sesuai dengan line yang dilalui. Sangat memudahkan penumpang, bagi yang asing sekalipun. Nggak kayak TransJakarta -____- (artikel khusus tentang SMRT akan saya tulis di cerita selanjutnya)
Changi Airport, seperti bandara-bandara yang lain, terletak jauh dari peradaban. Kami berjalan melalui hamparan rumah-rumah susun khas warga Singapura dan jalanan yang mulus, lengang, diapit oleh pepohonan hijau. Mendekati pusat kota, kereta melejut menembus terowongan di dalam tanah, dan saya merasakan kecepatannya bertambah daripada dengan saat berada di atas daratan. Tiba-tiba lupa dengan petunjuk yang diberikan oleh ibu-ibu India tadi, saya sempatkan bertanya lagi pada seorang penumpang di sebelah saya, seorang wanita beretnis Cina yang tengah asyik mendengarkan musik. Syukurlah dia mampu memperjelas informasi tersebut. Bahwa kami harus turun di Stasiun Tanah Merah dan transfer ke kereta yang menuju Joo Koon di platform A. Ibu itu juga baik lho, mau tengok kanan dan kiri untuk memastikan di platform mana kami harus turun. Sampai di Outram Park, kami transfer lagi ke jalur North East Line yang menuju Farrer Park.
Kami berjalan ke luar stasiun, mendapati sebuah kota yang bersih, bertrotoar lebar, tidak macet, tapi tetep.. panaaasss! Kebingungan lagi untuk menemukan Jalan Besar, kami menghampiri sebuah locality map yang ada di depan pintu keluar. Kami berbelok ke kiri, meninggalkan Serangoon Road yang kala itu tengah semarak dengan hiasan-hiasan bernuansa Hindi yang menggantung di atas jalanan. Nah, ini adalah kawasan Little India. Orang-orang bermata sebesar kelereng, berkulit legam, berbulu lebat, dan beraroma kuat, hilir mudik di sepanjang jalan. Kami sampai di sebuah persimpangan dan kembali bertanya pada seorang warga. Untungnya si Al bisa berbahasa Cina, jadi dia dapat berkomunikasi dengan lebih baik dengan warga Cina di Singapura.
Ternyata kita udah deket! Tinggal jalan dikit dari perempatan, kami udah sampai di Tresor Tavern Hostel yang nyempil dihimpit bangunan-bangunan lain di sebelahnya. Saya membuka pintu kaca, ada sepasang pengunjung dan sepasang staff berada di dalamnya. Staff-nya nggak sigap, agak bengong dulu saat melihat kami masuk. Saya lalu mengatakan bahwa kami mau check-in, dan mengiyakan pertanyaan apakah sudah book dulu atau belum.
Tresor Tavern Hostel ini saya pesan melalui RajaKamar, dengan harapan mendapatkan cash back melalui voucher yang saya dapatkan setelah memenangkan RajaKamar Blog Competition. Tarif untuk Shared Dormitory 2 Beds 2 malam adalah 800.000-an rupiah. Ada yang lebih murah, tapi saat saya pesan waktu itu, kamar (dan hotel) yang lebih murah udah nggak ada. Selain meja-meja kursi untuk breakfast para penghuni hotel, terdapat sebuah meja resepsionis, meja biliard, dan satu set meja kerja (lengkap dengan satu set komputer) untuk staff.
Seorang room boy (lebih tepat disebut room man) beretnis India mengantarkan kami menuju bed 301 dan 302 di lantai 3. Tidak ada tangga, jadi kami naik lift. Nggak kebayang deh gimana kalau ada kebakaran atau gempa bumi, langsung loncat dari atas kali yak. Kami digiring ke dalam sebuah ruangan dengan ranjang-ranjang bertingkat yang berhimpitan, masing-masing memiliki sebuah tirai untuk menutup penghuni yang berada di dalamnya. Nggak ada jendela, membuat dorm ini terkesan suram dan membangkitkan keinginan bermalas-malasan. Satu penghuni bisa meminta satu loker dengan deposit sebesar 10 SGD. Kami berdua sih, memilih satu loker untuk berdua. Ngiriiittt!!! Toh lokernya juga gede banget. Sayang kuncinya agak aneh, agak susah dibuka.
Ehem, istirahat dulu kali yak, nanti baru lanjut lagi 😀
Blog jalan2 anda menarik 😀
thanks for sharing 😉
Wahaha. Makasih apresiasinya, mbak.
[…] Tulisan khusunya bisa dibaca di: Kebingungan Dari Changi Menuju Jalan Besar […]