Pagi di Puncak Prau terasa sangat dingin. Sementara yang lain sudah terbangun dari sejak subuh demi menunggu momen matahari terbit, gue dan bang Ridho lebih memilih untuk bertahan dalam balutan sleeping bag kami di dalam tenda. Bahkan meski sudah mengenakan jaket dan sleeping bag pun, gue tetap masih merasa kednginan. Parah! Gue hanya bisa mendengar riuh tawa dan celoteh teman-teman yang berkumpul di luar tenda. Namun sayang, kabut yang tebal dan cuaca yang berawan membuat kami gagal menyaksikan panorama matahari terbit dari Puncak Prau. Saat kabut mulai menipis dan awan tebal perlahan tertiup angin, mentari sudah agak tinggi, kami hanya bisa berfoto ria di puncak salah satu gundukan, sebelum akhirnya sarapan dan berkemas.
Tidak seperti saat pendakian kemarin, kami menuruni gunung melalui jalur Kejajar atau SMP 2. Pada menit-menit awal, kami berjalan naik turun melalui bukit-bukit berumput, berpapasan dengan tenda-tenda rombongan yang lain. Jalur ini memang sedikit lebih landai daripada jalur Patak Banteng, ada beberapa medan lapang yang dapat kami jadikan sebagai titik peristirahatan. Namun gue dan beberapa anggota lainnya sempat beberapa kali kepeleset saat berjalan melewati tanah berbatu yang licin.
Kami lalu melewati sebuah gapura bambu bertuliskan “Prau” yang berarti kami sudah keluar dari jalur pendakian. Kondisi jalanan mulai wajar, landai dengan petak-petak ladang warga yang terhampar di kanan dan kiri jalan. Gue seneng banget! Sampai jumpa jalanan curam-licin-sempit-sialan! Kami berjalan keluar area perkampungan warga dan memasuki jalan raya untuk selanjutnya berkumpul di Bu Sudjono, sebuah penginapan dan tempat makan yang biasa menjadi meeting point para pendaki. Nggak disangka-sangka, gue malah bertemu dengan adik kelas gue di masa kuliah yang baru saja menyelesaikan pendakiannya di Prau dan Sikunir.
Pendakian pertama gue sukses!!! Woo-hooooo!!! Semua kekhawatiran gue sama sekali tidak terjadi. Gue kembali ke Cirebon dengan setangkup kepuasan dan kebanggan di dalam dada. Ah, gue jadi ketagihan naik gunung, pengen nanjak lagi! Gue sangat menikmati momen-momen gue capek, haus, duduk terengah di tengah jalan, lalu menenggak tegukan demi tegukan air mineral yang rasanya menjadi sangat segar. Yang terutama, ada sebuah kebanggaan yang menggelegak di dalam dada saat gue berdiri di puncak, menatap dunia dari titik tertinggi, menghadapi bentangan cakrawala biru dengan semburat keperakan yang terpoles halus menghiasinya.
Nah, sekarang gue mau bagikan beberapa pengetahuan baru yang gue dapat dari kegiatan pendakian pertama kemarin. Mudah-mudahan bermanfaat buat temen-temen yang juga baru pertama kali naik gunung ya.
Apakah harus carrier / keril?
Sebenernya nggak juga kok, tergantung dengan banyaknya barang bawaan dan lamanya pendakian. Kalau cuma dua hari satu malam, pakai bodypack atau daypack juga cukup. Bahkan kemarin ada peserta yang pakai tas biasa lho. Keril dengan merek Eiger atau Deuter emang maharani, cyin! Kalau mau yang agak terjangkau, bisa pertimbangkan merek Consina. Kemarin gue paka keril dengan merek HD, buatan lokal sih, 60 L cuma Rp 250.000,00. Tapi kerilnya nyaman kok, dan kelihatannya juga cukup tangguh.
Apa aja yang harus dibawa?
Beberapa perlengkapan pribadi yang harus dibawa adalah: matras, sleeping bag, baju hangat (ditambah kupluk dan sarung tangan lebih baik), celana panjang (minimal 2 buah, 1 juga cukup jika hanya 2 hari kayak gue kemarin), sepatu / sendal gunung (bawa cadangan untuk antisipasi sepatu / sendal rusak), senter / headlamp, obat-obatan pribadi, air mineral minimal 2 x 1.5 liter (tergantung lama pendakian, kondisi alam, dan kondisi fisik kamu), alat mandi (jika memang ada sumber air), tisu basah, ponco / jas hujan, bahan makanan(praktis namun tetap bergizi). Sementara untuk tenda, nesting, gas, parafin, dsb dapat dirundingkan pembagiannya dengan kelompok kamu.
Gimana cara packing-nya?
Tidak seperti yang gue sangka selama ini, barang-barang ringan diletakkan di dasar keril, sementara barang-barang berat diletakkan di bagian atas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi gaya gravitasi yang menarik benda berat ke bawah, sehingga diharapkan dapat membuat keril terasa lebih ringan. Perkecualian diberikan kepada benda-benda yang harus bisa dikeluarkan dengan mudah saat dibutuhkan, seperti obat-obatan, ponco, dan tisu basah.
Ya segitu aja sih yang mau gue share hehe. Mendaki gunung bisa kamu jadikan alternatif kegiatan traveling yang murah meriah. Pengeluaran paling besar adalah untuk transportasi, sementara pengeluaran lainnya bisa diatur-atur lagi sama kelompok. Untuk tenda, sleeping bag, matras, bahkan keril, bisa kamu pinjem dari temen-temen kamu yang lain — atau sewa. Mulailah dari gunung-gunung yang dekat dan “ramah” terlebih dahulu, seperti Gunung Prau (yang kemarin gue daki), Gunung Papandayan, Gunung Gede-Pangrango, atau Gunung Putri. Oke, salam lestari 😀
Pas turun dari gunung cerah, pas sunrise nya mlah berkabut. Sayang banget ga dapet foto mataharinya…
Iya 😦
Tapi gpp, dasarnya udah indah, mau cerah mau berkabut tetep kece-kece aja
*menghibur diri*
Disini hanya ada dua gunung yang sering di daki oleh orang Bukittinggi yaitu merapi dan Singgalang. 🙂
Mantap! Cakep nggak tuh?
KEREn ceritanya…
salam.
Makasih udah mampir, bro.
Keril HD beli dimana mas ?? Yg 80L ada info harga kah ??!! …. .makasih balasannya
Waktu itu gue nemu di Cirebon, hahaha. Dapet di tempat sewa alat2 outdoor yg juga melayani jual beli. Harganya terbilang murah kok. 200ribuan kalau nggak salah.
naik gunung emang bikin ketagihan
jam tangan untuk naik gunung