
Pria berambut cepak itu tersenyum hangat saat melihat empat anak muda tiba di kedai angkringannya, hari Jumat (14/01) sore. Segera kami saling bertumbuk kepalan tangan, sebagai ganti bersalaman di era pandemi, dan memperkenalkan diri. Namanya Pak Sugiarto, yang sudah lebih dari 5 tahun menjalankan usaha angkringan di Dusun Santren, Caturtunggal, kec. Depok, kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bersama Ara, Vera, dan mbak Iin, aku lantas duduk di bangku kayu panjang yang disediakan untuk fasilitas pengunjung angkringan, seiring Pak Giarto yang mempersilakan kami dengan, “Monggo monggo.”
Saat itu baru beberapa menit lepas dari pukul 4 sore. Pak Giarto baru saja membuka angkringannya, dibantu mbok Sugiyem yang bekerja di balik gerobak.
Yogyakarta, atau Jogja, memang lekat dengan angkringan. Sebuah artikel di Mojok.co yang tak sengaja kutemukan beberapa waktu lalu pun berujar dengan menggelitik, “Jogja Terbuat Dari Angkringan, Olive Chicken, dan Roti Gembong,” saking seringnya kita menemukan tiga hal itu di kota pelajar ini. Mungkin, alasan itu jugalah yang mendorong Pak Giarto untuk memilih membuka warung angkringan dari seabrek ide bisnis lainnya di Yogyakarta.
Angkringan Pak Giarto menempati teras dari rumah keluarga besarnya yang kini ia tinggali bersama beberapa saudaranya. Alamat persisnya di Gang Bakung no. 10, yang bisa diakses dengan mudah dari Jalan Gejayan (sekarang Jalan Affandi). Mobil diperbolehkan masuk dan melintas, namun dilarang parkir karena akan menghalangi kendaraan lainnya yang wara-wiri.

Aku sempat diajak menengok isi rumahnya, dan dibuat takjub dengan desain interior dan arsitektur rumah itu. Khas rumah-rumah tradisional bergaya joglo, di dalamnya terdapat satu ruangan besar sebagai communal room atau area bersama yang dikelilingi oleh kamar-kamar lainnya. “Dulunya malah los gitu aja, mas. Nggak ada kamar-kamar itu, baru lalu saya renovasi,” ujar Pak Giarto, menceritakan perjalanan rumah yang sudah dibangun sejak 1960-an itu.
Meski sebagian besar lantainya sudah dilapisi dengan keramik, namun aku masih melihat lantai aslinya yang hanya dibalut ubin hitam. Tiang-tiangnya masih kokoh menyangga atap dan menjadi ciri khas yang kuat untuk rumah joglo itu.
Persis di seberang angkringan Pak Giarto, juga berdiri sebuah rumah era 1960-an atau 1970-an yang sekarang difungsikan sebagai kontrakan mahasiswa. Angkringannya memang berada di tengah-tengah kawasan kampus. Yang terdekat adalah kampus Universitas Sanata Dharma, lalu Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Tak heran, pelanggan angkringannya adalah kalangan mahasiswa dan warga setempat.
“Hafal nama-nama mereka (pelanggan), Pak?” tanyaku, yang diiyakan dengan sumringah oleh Pak Giarto.
Selain bangku kayu panjang yang biasa ada mendampingi gerobak angkringan, lalu beberapa kursi bambu di belakangnya (ini mungkin kursi teras rumah), masih ada meja kayu besar yang diapit 2 bangku memanjang di sampingnya. Meja dan bangku itu terlihat baru, masih dibiarkan unfinished dengan bentuk asimetris dan tanpa di-polish.
“Meja sama bangku ini belum lama juga, mas,” kata Pak Giarto menjawab pertanyaan ingin tahuku.
Seperti halnya angkringan pada umumnya, sego kucing (nasi bungkus kecil) menjadi komoditi wajib, didampingi gorengan, sate-satean, dan bacem-baceman. Selain sate usus dan sate telur puyuh, juga ada sate daging dan bahkan sate bakso pedas. Agar lebih lengkap, aneka macam keripik juga hadir mengisi gerobak angkringan.

Aku mengambil seporsi sego kucing, sate daging, dan memesan es teh manis. Isian sego kucingnya adalah orek tempe, sambel disajikan terpisah agar pelanggan dapat mengambilnya sesuai selera (sebagian angkringan sudah mencampur sambal di dalam nasi). Paduan orek tempe dan sambel itu, enak tenan! Sambelnya juara deh. Orek tempenya juga kering dan gurih.
Yang baru kutemukan adalah bahwa angkringan Pak Giarto ini juga menyediakan mi instan! Ketika kutanya apa menu favorit pengunjung di angkringannya, pria paruh baya itu dengan tegas menjawab, “Mi instan,” diikuti tawa kecilnya. “Kandani og tenan (Tuh kan bener),” timpal mak Vera, yang menikmati semangkuk mi rebus telur bersama mbak Iin.
Baginya, angkringan hadir untuk memenuhi kebutuhan rakyat kecil di Jogja, tempat di mana orang bisa makan nasi dengan harga di bawah Rp10 ribu. Semua pesananku tadi, ditambah punya Ara dan mak Vera beserta mbak Iin, nggak sampai Rp25 ribu dong! Pantaslah anak-anak kampus rajin mampir ke angkringannya.
“Biasa buka sampai jam berapa, Pak?” celetukku di sela-sela menikmati cemilan sore itu.
“Biasanya jam 11an mas, paling malem jam 1,” sahut Pak Giarto. Waktu operasionalnya berakhir memang tak tentu, tergantung seberapa cepat dagangannya habis.
Melalui kunjungan sore itu, aku baru tahu bahwa warga di Daerah Istimewa Yogyakarta bisa mengajukan kebutuhan akan gerobak angkringan ke pedukuhan masing-masing. Pedukuhan adalah tingkat pemerintahan di atas RW, di bawah dusun, yang berlaku di Jogja. Satu dusun bisa terdiri dari beberapa pedukuhan, dipimpin masing-masing dukuh, yang lalu dikepalai satu kepala desa (kades). Merujuk pada artikel dari Tempo, dukuh dan pedukuhan adalah istilah di era Orde Baru yang masih bertahan di DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Kebutuhan tersebut naik hingga ke tingkat kabupaten, lalu dikelola oleh Forum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) Kabupaten Sleman. Forum lalu membagikan daftar pengajuan tersebut ke seluruh perusahaan atau kantor yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. PT Kanisius, penerbit dan percetakan terkemuka di Yogyakarta, melihat bahwa ada 2 pengajuan kebutuhan angkringan di pedukuhan tempatnya berdiri, Dukuh Santren. Pak Sugiarto adalah satu dari dua warga tersebut.
Melihat kesempatan untuk berbuat baik ini, menebar kasih untuk sesama, PT Kanisius lalu berinisiatif memberikan bantuan gerobak kepada 2 warga Santren, termasuk Pak Giarto. Dari sinilah Pak Giarto mendapatkan gerobak angkringan barunya.
Obrolan sore itu bergulir ke sana ke mari, mengalir seperti air. Dari seputar angkringan, industri kuliner Jogja, kehidupan Pak Giarto, sampai rumah tangga kami hahaha. Kami seperti 6 orang kawan yang sudah lama tak bersua. Beberapa pengunjung angkringan yang lain malah ikut menyimak obrolan kami.

Sempat tebersit masukan untuk menambahkan fasilitas wi-fi, sampai merundingkan bagaimana mekanisme terbaiknya agar tak mengganggu arus kas bisnis. Namun, aku dan mak Vera lantas sepakat berkata, “Nggak usah deh, Pak. Nanti pelanggannya malah sibuk main hape semua. Biarlah angkringan tetap seperti ini, tempat orang-orang Jogja ngopi dan saling berbagi.”
Iya kan? Angkringan Jogja dikenal karena kehangatannya, kedekatannya dengan masyarakat. Jika ia “naik pangkat”, ia tak lagi jadi angkringan, entah apa nanti namanya. Biarlah angkringan tetap sederhana, namun jadi tempat saling berbagi cerita yang kaya.
Waw bisa minta gerobak hahahah. Hasrat terpendam banget sebenernya pengin tinggal di Jogja terus punya guest house dan gerobak angkringan. Mirip lah sama Pak Sugiarto ini, jualan di depan rumah. Terus angkringan ku ada pilihan vegannya wakakakak. Seru kali ya.
Dulu pas masih kuliah di sana, aku dan temen temen suka main ke angkringan. Khususnya di akhir akhir bulan sebelum dapat kiriman uang saku. Ada angkringan langganan di deket UNY tuh lauknya buanyak. Makan nasi kucing sebungkus, satenya 10. Gak jadi hemat deh.
Waaa ayo wujudkan impiannya, Justin. Terus kita berkawan di Jogja. Seru tuh ada pilihan vegan.