Mengupas Transportasi Umum di Yogyakarta: KA Bandara, Commuter Line, KA Prameks, dan TransJogja

Lalu lintas Jalan Adi Sucipto di depan Plaza Ambarrukmo, Desember 2021

Bertahun-tahun konsisten membuat tulisan panduan transportasi umum di negara-negara tetangga, ternyata saya malah melupakan kampung halaman saya sendiri: Yogyakarta. Sekarang, ketika moda transportasi umum di Daerah Istimewa Yogyakarta ini sudah bertambah, mungkin sekarang lah saatnya saya membuat tulisan ini. Saya cukup bangga, karena saat ini Yogyakarta atau Jogja sudah dilayani oleh sistem bus bernama TransJogja, sebuah layanan kereta api commuter line, kereta api lokal, dan kereta api bandara untuk Yogyakarta International Airport (YIA)

Ulasan terkait KA Bandara YIA dan KAI Commuter Line Jogja-Solo sudah pernah saya buat dalam tulisan terpisah. Jadi kali ini, saya akan merangkum semuanya dalam satu tulisan padu ini.

Untuk first timers, transportasi umum di Yogyakarta cukup bisa menjadi pilihan karena menjangkau banyak tempat wisata populer. Tak hanya objek-objek wisata di dalam kota, namun bahkan Candi Prambanan di perbatasan DIY dengan Jawa Tengah pun bisa dijangkau dengan bus dan kereta api. Baru tahu? Nah, kita bahas selengkapnya, yuk.

Macam-macam transportasi umum di Yogyakarta (infografis pribadi, foto di dalam tiap ikon adalah dokpri)

KA Bandara Yogyakarta

Saya mulai dari moda transportasi umum yang mungkin akan kamu jumpai pertama kali setibanya kamu di Yogyakarta: kereta api bandara. KA Bandara Yogyakarta ini melayani rute Yogyakarta International Airport – Stasiun KA Yogyakarta via Stasiun Wates. Stasiun Lempuyangan tidak dilayani. Per Oktober 2023, jadwal dan jam operasionalnya sudah bertambah! Total ada 21 perjalanan pulang-pergi dari pukul 04:20-20:35 untuk keberangkatan dari Stasiun Yogyakarta dan pukul 05:12-21:25 untuk keberangkatan dari Stasiun Bandara YIA.

KA Bandara Yogyakarta

Saat ini, ada 2 layanan KA Bandara YIA yang bisa dipilih: KA Bandara YIA reguler dan KA Bandara YIA Xpress. Bedanya, YIA Xpress bablas dari Stasiun Tugu ke Bandara YIA dan sebaliknya tanpa berhenti di Stasiun Wates. Harganya tentu beda juga, hehe. Rp50 ribu untuk YIA Xpress, Rp20 ribu untuk KA Bandara YIA reguler, dan Rp10 ribu untuk rute Wates-YIA atau sebaliknya. Lama tempuhnya nggak beda jauh kok, 35 menit untuk YIA Xpress dan 40 menitan untuk KA Bandara YIA.

Karena sudah dikelola oleh PT Railink, pembelian tiket bisa dilakukan di website Railink, aplikasi KA Bandara, dan aplikasi Access by KAI. Tentunya bisa beli langsung juga di loket stasiun, tapi saya sarankan beli online aja maksimal H-1 karena KA Bandara YIA ini banyak peminat! Rawan kehabisan jadwal yang diinginkan kalau beli on the spot, kecuali kamu sudah menyiapkan skenario cadangan untuk transportasi. 

Kereta apinya nyaman! Kursi penumpang ditata berbaris dengan konfigurasi 2-2 dalam guyuran warna hijau segar yang mendominasi sisi luar dan dalam kereta. Ada hand rail untuk penumpang berdiri, stopkontak, dan luggage corner untuk meletakkan koper dan backpack penumpang dengan nyaman. Kereta terasa sejuk berkat pendingin udara yang berfungsi paripurna. Ada passenger announcement dalam 3 bahasa: Jawa, Indonesia, dan Inggris. Nuansa budaya Jawa hadir dalam sentuhan motif batik pada bodi luar kereta. KA Bandara YIA ini belum terelektrifikasi, masih menggunakan kereta api diesel. Jalurnya menggunakan lintasan eksisting yang lalu terhubung ke Yogyakarta International Airport oleh lintasan baru elevated sepanjang 4,8 kilometer. 

Suasana di dalam KA Bandara Yogyakarta
Bentang pegunungan jelang ketibaan di Yogyakarta International Airport

Saat berangkat dari Stasiun Yogyakarta, duduk lah di sebelah kiri dari arah kedatangan kereta api untuk pemandangan alam yang memanjakan!


KAI Commuter Line Yogyakarta

Mungkin banyak travelearners yang belum tahu, kalau Jogja juga punya commuter line seperti di Jabodetabek. Yah, memang masih 1 jalur dan stasiunnya belum banyak, tapi minimal sudah sama-sama terelektrifikasi. KAI Commuter Line Yogyakarta mulai beroperasi pada bulan Februari 2021 menggantikan layanan KA Lokal Prambanan Ekspres (Prameks) untuk relasi Yogyakarta-Solo. KA Prameks masih ada, namun hanya untuk relasi Yogyakarta-Kutoarjo. Nanti akan saya jelaskan lebih lanjut di bawah.

KAI Commuter Line Yogyakarta

Saat ini, KRL Yogyakarta-Solo melayani rute Yogyakarta-Palur, melalui beberapa stasiun penting seperti Lempuyangan, Maguwo (terhubung ke Bandara Adisucipto), Brambanan (untuk ke Candi Prambanan), Klaten, Purwosari, dan Solo Balapan. Ongkosnya Rp8.000,00 flat rate. Sama seperti KRL Jabodetabek, MRT, dan LRT, KRL Commuter Line Jogja ini juga menggunakan sistem tap in dan tap out untuk masuk dan keluar. Kartu yang bisa digunakan adalah Kartu Multi Trip (KMT) KAI yang bisa dibeli di loket, kartu elektronik bank (BRIZZI, Flazz, eMoney, Tapcash, dan Jakcard), dan fitur GOTRANSIT di aplikasi GOJEK. 

Dari Stasiun Yogyakarta, jadwal paling pagi adalah pukul 05:30 dan jadwal paling malam adalah pukul 22:35 dengan 12 perjalanan. Jadi headway-nya antara 1 hingga 1,5 jam. Memang belum serapat headway KRL Jabodetabek, sih. 

KRL Jogja-Solo saat jam pulang kantor, mirip di Jabodetabek ya
Mencoba KAI Commuter Yogyakarta ketika masih pandemi

Fasilitas KRL Yogyakarta-Solo setara dengan KRL Jabodetabek. Bangku penumpang dirancang dengan tata letak ala MRT, ada hand grip, AC, pintu otomatis, peta jaringan, dan passenger announcement manual oleh pak kondektur hehe. Semoga dibangun stasiun-stasiun baru di antara Yogyakarta-Palur dan ditambah jadwal keberangkatannya menjadi maksimal setiap 30 menit agar KRL Commuter Line Yogyakarta-Solo bisa menjadi sebuah urban rapid transit system yang dapat diandalkan oleh masyarakat Yogyakarta Raya untuk commuting setiap hari. 


KA Prambanan Ekspres (Prameks)

Sebelum KRL Commuter Line Yogyakarta beroperasi, KA Prambanan Ekspres lah yang melayani koridor Kutoarjo – Jogja – Solo secara penuh! Sama seperti KRL, ongkosnya Rp8 ribu jauh-dekat. Saat ini, KA Prameks yang masih menggunakan tenaga diesel ini fokus melayani koridor barat, dari Yogyakarta ke Kutoarjo.

KA Prameks di Stasiun Yogyakarta edisi red livery

KA Prameks hanya melayani 5 stasiun dengan 5 jadwal keberangkatan. Kelima stasiun itu adalah Yogyakarta, Wates, Wojo, Jenar, dan Kutoarjo, jadi siapkan perjalananmu dengan baik. Tiket bisa dibeli langsung di loket tiket atau reservasi online di aplikasi Access by KAI.

Fasilitas KA Prameks saat ini kurang lebih sama dengan KRL Commuter Line. Bedanya hanya belum terelektrifikasi. Tapi buat temen-temen travelearners yang pernah merasakan armada lama KA Prameks dengan livery berwarna kuningnya, pasti tahu betapa nggak nyamannya naik Prameks saat itu, hahaha. AC nggak berasa, suasana di dalam kereta api terasa panas dan gerah bagai sauna. Puji Tuhan sekarang sudah lebih baik. 

KA Prameks yang sempat melayani angkutan ke YIA via Stasiun Wojo
Naik kereta ke Stasiun Wojo, Yogyakarta

Sebelum KA Bandara YIA beroperasi, angkutan ke Yogyakarta International Airport dilayani oleh KA Prameks dan KA Bandara ke Stasiun Wojo, baru dilanjutkan naik shuttle Damri ke bandara. Jadi, naik KA Prameks ke Stasiun Wojo bisa jadi opsi transportasi umum ke YIA juga, ya.


Bus TransJogja

Saya ingat betul ketika bus TransJogja ini mulai beroperasi. Saat itu tahun 2008, saya masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Kehadirannya sebagai pelopor rapid transit system disambut baik oleh warga Yogyakarta yang mendambakan layanan bus nyaman dengan AC, halte, dan kemudahan opsi pembayaran. Apalagi, TransJogja adalah sistem menyerupai BRT pertama yang dibangun di luar DKI Jakarta. Ehem, saya tidak berani menyebut TransJogja sebagai bus rapid transit (BRT) system, karena sebuah sistem BRT seharusnya memiliki dedicated lane yang membuatnya minim intervensi lalu lintas lainnya.

Bus TransJogja jalur 5A di Terminal Jombor, Sleman

Last time I checked, saat ini TransJogja (beserta jaringan Teman Bus) melayani total 19 rute yang menjangkau banyak sudut kota Yogyakarta dan sekitarnya, termasuk tempat-tempat wisata. Ongkosnya hanya Rp3.600,00 yang bisa dibayar dengan kartu e-money TransJogja dan QRIS. Fasilitasnya standar angkutan umum bus modern di Indonesia. Bedanya dengan TransJakarta, ukuran bodi bus TransJogja lebih kecil. Mungkin untuk menyesuaikan dengan lebar jalanan di Yogyakarta yang juga sempit-sempit. 

Sayangnya, kualitas layanan TransJogja terus menurun dari tahun ke tahun. Selain rute yang tidak efektif, juga headway-nya lama banget! Kecuali di titik-titik konsentrasi wisatawan seperti Jl. Malioboro, nunggu bus TransJogja datang itu bisa setengah jam sendiri. Nggak heran bila TransJogja terus kehilangan pelanggannya dan ridership ajeg menurun dari 2016, penurunan berkisar dari 5% hingga 10% tiap tahunnya. Masyarakat kota Yogyakarta pun enggan naik TransJogja dan kembali ke zona nyamannya: SEPEDA MOTOR. Tak kurang dari 100.000 kendaraan pribadi baru mengaspal tiap tahunnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (BPKAD DIY, 2023)

Ada 100.000 kendaraan bermotor baru tiap tahun di DIY

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, hanya 34,3% rumah tangga di Yogyakarta yang memiliki akses nyaman ke transportasi umum. “Akses nyaman” di sini didefinisikan dengan jarak maksimal 500 meter ke akses transportasi umum. Persentase ini yang terendah dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia, bahkan Kalimantan Barat dan Jawa Timur masih lebih baik. 

Senada dengan statistik tersebut, sebuah survei yang dilansir Harian Jogja pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa pengguna TransJogja hanya 0,49% dari total pengguna kendaraan umum dan pribadi di Yogyakarta! Bahkan 1% aja nggak nyampe, dong. 

Padahal, bahan bakar minyak (BBM) kita belum ramah lingkungan, bahkan belum sesuai standar Euro4. Saat ini, kita memang sudah tak lagi menghadapi isu bahan bakar bertimbal, namun “perjuangan” kita belum tuntas. BBM yang beredar di negara kita saat ini mengandung kadar belerang, benzen, dan unsur senyawa sejenis lainnya dalam jumlah tinggi. Sebagai contoh, kandungan benzen harusnya hanya maksimal 1%, namun BBM kita mengandung hingga 5% benzen. Belum lagi belerang. Sesuai peraturan internasional, seharusnya maksimal 50 ppm, namun BBM kita mengandung belerang hingga lebih dari 1800 ppm. Tinggi sekali!

Informasi ini saya ketahui dari bapak Ahmad Safrudin, Ketua Komite Penghapusan Bahan Bakar Bertimbal (KPBBB), sebagai salah satu narasumber dalam diskusi “Sinergitas Sektor Transportasi dan Sektor Energi Untuk Mewujudkan Kualitas Udara Bersih di Kota Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Medan, dan Makassar” yang diadakan oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dan KBR (Kantor Berita Radio) pada Kamis, 23 November 2023 lalu. Diskusi selengkapnya bisa disimak dalam Youtube Ruang Publik KBR di atas.


Kemacetan di Yogyakarta

Kalau ada orang Jogja yang bilang Jogja hanya macet di musim liburan dan disebabkan oleh kendaraan-kendaraan bermotor luar kota, itu adalah warga Jogja yang denial, sama seperti orang Bandung yang terus menyalahkan mobil-mobil Jakarta atas kemacetannya. Faktanya, Jogja sudah macet sehari-hari oleh kendaraan bermotor warganya sendiri. Malahan, kemacetan terjadi tak hanya di jam-jam tertentu atau ruas jalan tertentu, tapi sudah lebih sporadis. Tahun 2021-2022 lalu, saya dan istri sempat tinggal di daerah Godean, kabupaten Sleman. Jalan Godean adalah salah satu jalan yang macet setiap hari!

Karena lebar jalan tak bisa ditambah lagi, maka transportasi umum adalah kunci solusi. Rute harus ditambah, layanan harus diperbaiki. Standar operasional harus tetap dijalankan meskipun belum banyak warga yang menggunakan transportasi umum. Ingat, transportasi umum tidak diadakan untuk mencari keuntungan, tapi memberikan kemudahan. Saya yakin, bila layanan yang baik konsisten diberikan, bahkan ditingkatkan, lama-lama akan semakin banyak warga yang berpindah ke transportasi umum.

Apresiasi saya berikan atas 25 bus Trans Jogja yang diremajakan pada bulan September 2023 lalu sebagai langkah untuk menambah keterisian penumpang TransJogja. Saya juga menyambut baik wacana Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk mengaktifkan kembali layanan angkutan umum ke kawasan pantai selatan di kabupaten Bantul dan Gunung Kidul.

Menikmati Gunung Merapi dan kereta api dari atas Taman Parkir Abu Bakar Ali [difoto oleh Ara]
Stasiun Kereta Api Yogyakarta di malam hari

Nah, salah satu simpul kemacetan yang ajeg di dalam kota Yogyakarta ada di kawasan Jalan Pasar Kembang/Stasiun Yogyakarta (Tugu), Jalan Malioboro, dan Stasiun Lempuyangan. Mobil dan taksi berduyun-duyun menepikan kendaraannya untuk mengantar dan menjemput penumpang. Seharusnya, Stasiun Yogyakarta dan Stasiun Lempuyangan dibuat terintegrasi dengan halte TransJogja yang terhubung langsung dengan area stasiun, misalnya di halaman drop-off sisi timur dan selatan Stasiun Yogyakarta. 

Prakteknya, halte TransJogja terletak beberapa puluh meter dari pintu masuk/keluar penumpang, bahkan bisa hitungan ratusan meter kalau patokannya adalah pintu masuk/keluar bangunan stasiun. Malahan, TransJogja tidak punya satu stasiun pertukaran besar seperti Harmoni di Jakarta. Oh, jangan bilang Ngabean, bentuk dan fasilitasnya jauh untuk disebut sebuah stasiun sentral, lebih mirip seperti terminal bayangan.

Eksistensi andong dan becak tradisional perlu mendapat dukungan dari Pemkot Yogyakarta

Ah, saya berandai-andai ada satu jalur trem yang melalui jantung kota Yogyakarta ini. Berawal dari Stasiun Yogyakarta, lalu bercabang dua ke arah Tugu Pal Putih dan Keraton, masing-masing menyusuri Jalan P. Mangkubumi dan Jalan Malioboro yang dibuat full pedestrian-only setiap hari sehingga hanya pejalan kaki, trem, becak tradisional, dan andong yang melintas. Trem Cabang Selatan lalu berbelok ke timur menyusuri Jalan Diponegoro, sementara Trem Cabang Utara merayap di Jalan Jend. Sudirman.


Sinergi Sektor Transportasi dan Energi di Yogyakarta

Saya yakin, bukan kebetulan bila beberapa hari lalu saya mengikuti sebuah webinar yang membahas energi terbarukan lalu sekarang saya membahasnya dalam tulisan transportasi umum di Yogyakarta. 

Budaya bertransportasi umum, berjalan kaki, dan bersepeda di Yogyakarta harus semakin digalakkan. Kalau perlu, didisiplinkan! Tak hanya terkait pemakaian energi, namun juga menekan polusi. Sekitar bulan Agustus 2023 lalu, polusi udara di Yogyakarta memburuk karena maraknya aktivitas pembakaran sampah yang dilakukan warga sebagai imbas dari ditutupnya TPA Piyungan. Kita perlu siap dengan kondisi-kondisi tak terduga seperti ini dengan membiasakan budaya hidup rendah emisi dari saat ini.

Galakkan budaya bersepeda, berjalan kaki, dan bertransportasi umum di Yogyakarta

Sama seperti daerah lainnya di Indonesia, transportasi umum di Yogyakarta masih bertumpu pada energi fosil, seperti BBM untuk bus TransJogja dan diesel untuk kereta api. KAI Commuter Line memang ditenagai listrik, tapi sumber energinya pun belum energi terbarukan. Andai seluruh bus dan kereta api perkotaan di Jogja sudah menggunakan listrik sepenuhnya, lalu energi listriknya dihasilkan dari panel surya, misalnya, maka sektor transportasi dan energi di Yogyakarta akan telah sukses bersinergi untuk mengurangi polusi udara dan menekan emisi. Hasilnya, bumi tetap lestari. 

Pengembangan energi terbarukan menjadi salah satu isu strategis dalam rencana kerja Pemda DIY selama 4 tahun terakhir. Sayangnya, anggaran yang disediakan oleh Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi Sumber Daya Mineral (PUPESDM) malah menurun tiap tahunnya, sehingga menghambat optimalnya pengembangan energi terbarukan di DIY. Padahal, saat ini Pemda DIY sudah memiliki 310 unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), 2 Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidup (PLTMH), dan 1 unit Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid (PLTH), hingga Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTB). Pemda DIY menjadi yang pertama dalam memiliki Peraturan Daerah (Perda) Energi Terbarukan di Indonesia.

Syukurnya, masyarakat DIY sudah mulai sadar akan energi terbarukan. Tidak hanya warga kota, namun juga warga desa yang jauh dari hingar-bingar kota Yogyakarta. Di Samigaluh, Kulonprogo, masyarakat yang menjadi bagian Kelompok PLTMH Kedungrong memanfaatkan aliran irigrasi Kali Progo untuk menggerakkan dinamo penghasil listrik. Di Gunungkidul, Kelompok Tani Lestari Bulak Sawah menghemat biaya bahan bakar diesel dengan PLTS. Pemanfaatan PLTS juga dilakukan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bukit Tinar, Bantul. 

Bauran energi listrik dari energi terbarukan ditargetkan 6,6% dari total energi listrik yang ada di DIY pada 2025 mendatang. Saat ini, bauran energi terbarukan sudah mencapai 6,47%.

Jalan Malioboro saat car free night di malam minggu
Andai toilet ini adalah stasiun kereta bawah tanah beneran di Jogja, hehe

Yogyakarta juga perlu dirancang lebih ramah pesepeda dengan menyediakan persewaan sepeda gratis di titik-titik strategis dalam kota Yogyakarta. Agar lebih menarik, sepeda yang dikayuh dibuat bisa mengisi daya ponsel pengguna dengan mengubah energi kinetik atau surya menjadi energi listrik. Buka jaringan angkutan umum ke destinasi-destinasi wisata unggulan, seperti pantai-pantai Gunung Kidul dan Candi Borobudur, sehingga pengguna kendaraan pribadi di Yogyakarta berkurang. 

Kota Utsunomiya di Perfektur Tochigi, Jepang, bisa menjadi salah satu contoh untuk menyinergikan sektor transportasi dan energi terbarukan. Akhir Agustus 2023 lalu, Utsunomiya meluncurkan sebuah light rail transit (LRT) yang menggunakan armada low floor tram. Utsunomiya LRT ini menjadi trem atau streetcar pertama di Jepang setelah 75 tahun! Energi listrik yang menyokongnya 100% terbarukan, karena dihasilkan dari panel surya dan tenaga biomassa dari pusat pengelolaan sampah.

Panjang lintasan Utsunomiya LRT sekitar 14 km, menghubungkan kota Utsunomiya dan Haga, melalui titik-titik strategis seperti sekolah dan kawasan industri. Beberapa stasiun dirancang terintegrasi dengan halte bus dan stasiun kereta api untuk menciptakan perpindahan moda yang nyaman.


Teman-teman warga dan wisatawan Yogyakarta, yuk biasakan gunakan transportasi umum di Jogja. Walaupun belum sempurna, namun perubahan ke arah yang lebih baik sudah terjadi. Ada KA Bandara YIA, KAI Commuter Line, KA Prameks, dan bus TransJogja. Manfaatkanlah sebagai moda transportasi dari/ke Yogyakarta International Airport, Solo, Candi Prambanan, dsb. Beberapa rute bus TransJogja, khususnya yang melalui Jalan Malioboro, tetap cukup bisa diandalkan. Gunakanlah untuk mengunjungi spot-spot di sekitar Jalan Malioboro, Tugu Jogja, Alun-Alun, dan sekitarnya.

Ayo naik angkutan umum di Jogja!

Tempat-tempat wisata di pusat kota Yogyakarta juga bisa dijelajahi dengan berjalan kaki, misalnya walking tour start dari Tugu Pal Putih, menyusuri Jl. P. Mangkubumi, istirahat sebentar di Loko Cafe Stasiun Yogyakarta, menyusuri Jalan Malioboro sambil melipir ke Teras Malioboro dan Pasar Beringharjo. Tiba di Benteng Vredeburg dan Simpang Nol Kilometer, teruskan berjalan kaki melalui Jl. Trikora hingga tiba di Keraton.

Kata Pak Joko Pinurbo, “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.” Tetaplah seperti itu. Jangan biarkan berubah jadi, “Jogja terbuat dari macet, polusi, dan mati lampu.” Semoga transportasi umum di Yogyakarta semakin berbenah dengan menyisipkan energi terbarukan dan kualitas pelayanan. Seluruh referensi tulisan ini bisa dilihat di sini. Terima kasih sudah membaca, keep learning by traveling~

8 komentar

  1. avatar Adi Saja

    Wah lengkap banget uraian dari Mas Nugie. Keren. Iya memang Jogja makin lengkap, khususnya Prameks yang kayaknya vital banget untuk transportasi banyak kalangan di kota Sultan.

  2. avatar annienugraha
    annienugraha · · Balas

    Seneng banget baca artikel ini. Informasi yang bermanfaat untuk saya yang sudah lama gak menginjakkan kaki di Jogya. Terlihat banget banyak kemajuan yang sudah dilakukan oleh Pemda setempat untuk layanan transportasi umum. Jadi memberikan kenyamanan bagi para pelancong untuk datang dan berlibur di Jogya. Lengkap pulak informasinya.

    BTW, Mas Nugi, hurufnya dibesarin dong hahaha. Saya sampai micing2 untuk baca artikelnya.

  3. avatar Phebs

    Informatif sekali. Kalau di musim liburan Jogja sering macet. Menggunakan transportasi publik adalah salah satu solusi. Terutama ke tempat-tempat wisata…

  4. avatar Maria G Soemitro

    wah harus dibookmarks nih
    Karena merupakan rumah kedua, bisa dipastikan tiap tahun ke Yogya (kecuali pandemi)
    dan baru tau ternyata banyak transportasi alternatif yang saya baru tau

  5. avatar gemaulani08
    gemaulani08 · · Balas

    Aku paling penasaran nyobain KA Prameks sih, murah dan kursinya luas gitu. Jadi makin penasaran. Kemarin ke jogja belum sempat nyobain keretanya sama yang commuter line ternyata ada yg bisa ke prambanan ya kak. Noted banget deh. Semoga juga kedepannya transportasi umum di Indonesia sudah pakai energi yang lebih ramah lingkungan. Btw aku malah pas pertama liat toilet bawah tanah itu kirain stasiun bawah tanah hehe

  6. avatar Fanny Fristhika Nila

    Aku JD malu Krn tiap ke Jogja pasti naik mobil pribadi. Bandaranya aja yg baru ini aku ga pernah cobain.

    Padahal memang dr yg aku baca publik transport di sana yg paling banyak dan membantu itu KA yaaa. Mana muraaah bgtttt lagi harganya. Tapi ya itu mas, kalo pergi Ama anak, aku udh mikir males ribetnya. Ntah ya kalo peginya Ama twmen2. Aku pasti semangat naik KA nya. Apalagi kalo mereka juga paham rute 😄

  7. avatar pengingat

    Untuk transjogja keberadaannya memang membantu untuk masyarakat maupun wisatawan. Cuma rutenya kadang agak muter-muter, kurang praktis, misalnya dari kotagede ke amplaz, harus naik bus dulu turun halte janti, jalan kaki 1,3 km. Kalau naik kendaraan pribadi (motor/mobil) maupun taksi/ojek online lebih cepat sampai.

    1. avatar Matius Teguh Nugroho

      Semoga TransJogja berbenah diri dan memperbaiki layanannya ya

Tinggalkan Balasan ke Maria G Soemitro Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Matius Teguh Nugroho

keep learning by traveling

Duo Kembara

Cerita Si Kembar dan Mommy Ara menghadirkan kebaikan

Lonely Traveler

Jalan-jalan, Makan dan Foto Sendirian

Guru Kelana

Perjalanan sang guru di berbagai belahan dunia

dyahpamelablog

Writing Traveling Addict

Daily Bible Devotion

Ps.Cahya adi Candra Blog

bardiq

Travel to see the world through my own eyes.

Teppy & Her Other Sides

Stories, thoughts, places...

Mollyta Mochtar

Travel and Lifestyle Blogger Medan

LIZA FATHIA

a Lifestyle and Travel Blog

liandamarta.com

A Personal Blog of Lianda Marta

D Sukmana Adi

Ordinary people who want to share experiences

papanpelangi.id

sebuah blog perjalanan

Guratan Kaki

Travel Blog

Omnduut

Melangkahkan kaki ke mana angin mengarahkan

BARTZAP.COM

Travel Journals and Soliloquies

Bukanrastaman

Not lost just undiscovered

Males Mandi

wherever you go, take a bath only when necessary

Eviindrawanto.Com

Cerita Perjalanan Wisata dan Budaya

Plus Ultra

Stories and photographs from places “further beyond”.

backpackology.me

An Indonesian family backpacker, been to 25+ countries as a family. Yogyakarta native, now living in Crawley, UK. Author of several traveling books and travelogue. Owner of OmahSelo Family Guest House Jogja. Strongly support family traveling with kids.

Musafir Kehidupan

Live in this world as a wayfarer

Cerita Riyanti

... semua kejadian itu bukanlah suatu kebetulan...

Ceritaeka

Travel Blogger Indonesia

What an Amazing World!

Seeing, feeling, and exploring places and cultures of the world

Winny Marlina

Winny Marlina - Whatever you or dream can do, do it! lets travel

Olive's Journey

What I See, Eat, & Read

tindak tanduk arsitek

Indri Juwono's thinking words. Architecture is not just building, it's about rural, urban, and herself. Universe.

dananwahyu.com

Menyatukan Jarak dan Waktu