Sejatinya rencana hari ini adalah jelajah pantai-pantai Gunung Kidul di Indrayanti dan Ngobaran. Tapi karena temen gue bangun siang dan waktu udah nggak memungkinkan buat kami ke sana, rencana sedikit diubah. Kami memutuskan untuk ke Bukit Parangndog, sebuah bukit di Pantai Parangtritis untuk menikmati keindahan pantai selatan ini.
Berangkat dari rumah gue di kawasan batas kota Yogyakarta sebelah barat, perjalanan berlangsung sekitar 45 menit dengan sepeda motor agak ngebut. Sekitar satu jam dengan sepeda motor kecepatan normal. Sekitar dua jam dengan naik becak tradisional. Dan sekitar 5 jam dengan berjalan kaki sambil mendorong becak #pffft. Kami berdua meluncur melenggang jaya melalui Jalan Parangtritis yang mulus, tidak terlalu ramai, dan lempeng-lempeng aja. Saat-saat seperti ini adalah saat-saat di mana gue… ehem, di mana aku bangga dengan kampung halamanku ini. Jogja memiliki infrastruktur yang baik, dengan jalan-jalan mulus, minim lubang, dan terbuat dari aspal (bukan dari beton) yang bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa.
Karena kami ingin masuk kawasan wisata Parangtritis dengan gratis, maka kami berbelok melalui jalanan desa yang diapit gumuk-gumuk pasir dan pepohonan. Tinggal belok kanan sebelum masuk gapura Parangtritis, lalu berjalan memutar. Kami melalui jalanan desa yang kecil dengan petak-petak pekarangan warga dan rumah-rumah tradisionalnya. Ada sebuah objek menarik dalam perjalanan singkat ini, di mana kami melalui sebuah markas power ranger museum geologi dengan desain arsitekturnya yang unik.
Untuk naik ke Bukit Parangndog ini, temen-temen silakan terus jalan setelah Pantai Parangtritis. Jalanannya sedikit berkelok dan menanjak. Pada pertigaan kedua, silakan belok ke kanan dan terus berjalan lurus sampai menemukan sebuah pendopo berwarna putih. Gue peringatkan, jalan menuju puncak bukit ini sangat menanjak. Jangan coba-coba naik ke atas pakai odong-odong, nggak akan nyampeee. Bagus buat kalian yang lagi dalam perjuangan mengecilkan perut atau mengencangkan bokong, paha, dan betis. Untuk mobil, gue nggak yakin bisa sampai ke atas, mengingat ukuran jalan yang sangat ngepas untuk dua lajur sepeda motor.
Temen-temen bisa parkirkan sepeda motor kalian di depan pendopo itu dengan tarif Rp 2.000,00. Untuk mobil, tarifnya Rp 4.000,00 kalau nggak salah. Hmmm mungkin mobil-mobil dengan ukuran kecil bisa ya, dengan sopir yang memiliki kemampuan mengemudi di atas rata-rata. Ada sebuah warung di situ, menjual minuman dan makanan ala kadarnya dengan harga yang nggak mahal-mahal amat. Nasi ayam Rp 7.000, nasi telor Rp 5.000, indomie telor Rp 5.000. Bisa bayar parkir ke ibu-ibu penjual warung itu.
Dari situ, ambil jalan kecil di sebelah kiri (dari arah pendopo) yang terletak beberapa sentimeter sebelum pendopo itu. Yak, naik-naik ke puncak bukit deh! Untungnya kondisi medannya nggak berbahaya, nggak kayak medan buat trekking di Green Canyon yang bikin gue ketar-ketir #pffft. Pakai sendal jepit juga aman-aman aja kayaknya. Dan, setelah melalui anak-anak tangga alami dari batu… TADAAAAAA!!! Sampailah kami di puncak bukit! Sebuah medan lapang yang biasa dipakai sebagai tempat take-off paralayang. Nah, kalau mau main paralayang, bisa bilang ke ibu-ibu penjaga tadi. Nanti beliau yang akan menyampaikan pesanan temen-temen ke komunitas yang bersangkutan. Kalau belum ada perubahan, tarifnya Rp 350.000,00 dengan lama penerbangan sekitar setengah jam #modarrr #serembingits
Sampai di puncak, aku takjub dengan panorama alam yang terbentang di depan mata. Ternyata, langit itu luas. Di bawah sana, terbentang samudera yang tampak bagai permadani raksasa berwarna biru, bersandingkan pasir kehitaman dan pepohonan kelapa. Aku melihat kaki langit dengan nyata, sebuah garis maya yang ditarik lurus di antara bentangan samudera dan cakrawala. Aku bersyukur dengan cuaca sore ini, nyaris tak ada segores awan pun yang menggantung di bawah langit. Sayup-sayup, aku mendengar gemuruh ombak yang dihantarkan angin sampai ke telingaku.
Mengesampingkan fakta bahwa gue pernah hidup di kota ini selama kurang lebih 18 tahun, gue belum pernah sama sekali mengunjungi sepetak surga ini. Beberapa tahun lalu, gue dan temen-temen kuliah, yang kebetulan lagi liburan di Jogja, pernah berusaha mencapai bukit ini. Tapi kami salah jalan, karena emang nggak ada yang tahu persis di mana tempatnya. Gue gagal jadi tuan rumah yang seharusnya mengerti seluk beluk daerahnya ini, haha. Alih-alih berbelok ke kanan, waktu itu kami malah terus berjalan lurus sampai bosan dan lalu memutuskan untuk kembali turun #gubrak.
Sambil menunggu sang aditya melenyapkan dirinya ke dalam kaki langit, gue dan temen gue, sebut saja Joko (emang itu sih namanya), menghabiskan waktu dengan berbagi cerita kehidupan. Udah lama kami nggak bertemu. Biasanya, kami bertemu di acara-acara lembaga yang memberikan kami beasiswa, di mana semua anak didiknya dari seluruh penjuru Indonesia berkumpul. Sesekali kami saling mengambil foto dengan berbagai tujuan. Ya buat narsis-narsisan, ya juga buat foto update yayasan yang menaungi kami.
Semakin sore, semakin banyak yang datang bergabung dengan kami berdua. Sepasang kekasih, atau segerombol kawanan muda-mudi, semuanya ingin menikmati keindahan panorama matahari terbenam dari atas bukit. Perlahan tapi pasti, sang aditya mulai berpendar kemerahan, bergulir turun bagai sebuah bola emas yang jatuh ke bawah. Semburat warna emas dan kemerahan menggores lembar cakrawala sore, sementara awan-awan tipis mulai berdatangan, bergabung melepas kepergian sang surya menuju peraduannya.
Aku sedikit heran mengapa matahari tidak benar-benar terbenam di batas cakrawala. Entahlah, ada sebuah garis maya yang menelan si bola merah sebelum dia benar-benar menyentuh ujung bumi.
Puas tujuan sudah tercapai, kami bergerak menuruni bukit, kembali menuju ke kota. Untuk temen-temen yang menggunakan motor, gue sarankan untuk menutup kaca helm kalian lantaran ada banyak serangga senja hari yang beterbangan. Gue kira lagi gerimis, tapi anehnya nggak basah, lalu gue sadari itu bukan rintik-rintik air hujan. Itu serangga-serangga kecil. Yah, sesekali emang harus sedikit membuka kaca helm karena lampu kendaraan dari arah berlawanan yang sinarnya menyebar membahana.
Petualangan hari ini diakhiri dengan sebungkus sega kucing dan segelas susu murni di warung angkringan seberang Gramedia. Cheers!
Numpang lewat mas bro….. hahaha… *kaburrrrrrrr
Salam,
http://travellingaddict.blogspot.com/
-______-
Bayar, mas. Haha.
[…] memang memiliki objek-objek wisata budaya, sejarah, kuliner, seni, dan sosial di dalam kotanya, Yogyakarta juga sudah memiliki moda transportasi yang cukup […]
[…] Melepas Kepergian Sang Surya di Bukit Parangtritis […]