SUPERTRIP #1 – SIKUNANG Part 13
Seharusnya rencana untuk seharian berkeliling kota Georgetown ini kami lakukan kemarin. Rencananya, begitu pagi-pagi tiba dari Johor Bahru, kami langsung menjelajah kota seharian sebelum check-in di hotel pada sore hari. Lalu, rencananya, kami akan menghabiskan malam pertama kami di Georgetown dengan bersantap malam sekaligus berbaur bersama warga lokal di Gurney Drive. Tapi rencana tetaplah rencana. Manusia berencana, jadwal bus juga yang menentukan #eh. Sebuah perjalanan panjang dan penuh perjuangan membuat kami sampai di Georgetown pada sore hari dalam keadaan tubuh yang siap ambruk di tengah jalan.
So, plan’s changed. Kami hanya memiliki waktu satu hari dua malam untuk mengeksplor Georgetown dan sekitarnya. Sebuah waktu yang sempit, memang. Agenda berkeliling kota kami lakukan pagi ini. Setelah sebelumnya check-out dan menitipkan tas ransel kami di hostel, kami segera memulai penjelajahan kami dengan berjalan kaki menyusuri Lebuh Gereja. Sebentar kemudian kami melintasi sebuah kuil bernama King Street Temple, yang hanya bisa gue foto-foto dari luar, dan Pinang Peranakan Mansion — salah satu objek wisata populer di Georgetown.
Gue melangkah masuk ke dalam Pinang Peranakan Mansion dengan penuh semangat dan sukacita surga. Seorang petugas datang menghampiri gue dengan seuntai senyum sumringah, mengucapkan selamat datang dan menginformasikan bahwa — gue harus merogoh kocek sebesar 20 RM untuk bisa masuk ke dalam dan menikmati koleksi historis yang ada. Glek! Bisa ditebak, semangat gue langsung lenyap menguap ke udara. Gue lalu berkata bahwa kami mau berkeliling dulu dan akan kembali nanti — entah nanti sore, nanti malam, nanti tahun depan, atau nanti kalau jadi.
Kami melanjutkan langkah kecil kaki kami di bawah teriknya matahari Penang pada hari Minggu kuturut ayah ke kota pagi itu. Sang surya bersinar terlalu kuat dan penuh kejayaan tanpa terhalang awan-awan. Kami berjalan melalui warga lokal yang sedang menikmati car free day dengan berjalan kaki atau bersepeda di kawasan Lebuh Pantai. Beberapa penjaja makanan membuat car free day semakin semarak, salah satunya adalah bapak-bapak berkacamata penjual es yang juga berjualan semalam. Entah sampai jam berapa dia berjualan tadi malam, dan dari jam berapa dia berjualan pagi ini, tapi gue senang melihat semangatnya. Gue yakin akan selalu ada berkat untuk “orang-orang spesial” seperti bapak.
Setelah mengambil foto Wisma Kastam Penang yang cantik itu, kami lalu bergerak menuju Lebuh Aceh dan Lebuh Armenia. Ada dua objek wisata utama di situ, yakni Masjid Jamek Lebuh Aceh dan Khoo Kongsi.
Masjid Melayu Lebuh Acheh, atau Masjid Jamek Lebuh Acheh, merupakan salah satu masjid tertua di kota Georgetown yang sudah berdiri sejak 1801. Nyonya Meneer kalah telak! Bukan kebetulan juga kalau masjid ini terletak di Lebuh Aceh, karena memang masjid ini didirikan oleh seorang Aceh bernama Tengku Syeriff Syed Hussain Al-Aidid. Minaret masjid memang dibuat dengan gaya Arabik, namun atap masjid didesain dengan gaya Aceh.
Khoo Kongsi rupanya seperti sebuah kompleks, di dalamnya bukan hanya ada kuil Leong San Tong, namun juga Eight Houses dan Sixteen Houses. Sebuah clan house, yaitu tempat tinggal bersama orang-orang dalam satu klan (atau marga, kalau kata orang Batak), dengan kuil indah yang kaya akan detil ukiran dan arsitektur yang rumit.
Kami sendiri hanya bisa masuk sampai di area kuil. Saat berusaha masuk lebih dalam, gue dihentikan oleh seorang penjaga yang mengatakan bahwa gue harus membayar 5 RM untuk masuk ke dalam. Ya sudah, kami lalu keluar kompleks dan naik bus dari jalan raya terdekat menuju Padang Kota Lama.
Nah, Padang Kota Lama adalah pusatnya Georgetown Heritage Site. Ada banyak bangunan-bangunan tua di sini, seperti Queen Victoria Memorial Clock Tower, City Hall, Town Hall, dan Fort Cornwallis. Menara jam tersebut diprakarsai oleh seorang jutawan Penang bernama Cheah Chen Eok pada tahun 1897 sebagai penghormatan terhadap Ratu Victoria. Tingginya mencapai 60 kaki dengan bagian bawah yang berbentuk oktagon atau segi delapan.
Padang Kota Lama ini memiliki fungsi sejenis seperti alun-alun, sebuah tanah lapang yang luas tempat warga kota berkumpul. Selain memiliki sebuah lahan berumput yang luas, ada juga sebuah taman dengan beberapa wahana bermain sederhana, tempat yang cocok buat piknik keluarga atau sekedar duduk-duduk di bawah rimbunnya pepohonan — seperti yang dilakukan Aska. Yang paling gue suka, Padang Kota Lama ini ternyata berbatasan langsung dengan promenade — sebuah ruang terbuka luas di mana kita bisa menikmati laut lepas sambil berjalan santai di sepanjang trotoar lebar yang bersih atau duduk ngelamun seharian. Sayangnya saat itu siang hari, matahari bersinar tepat di atas kepala dan menghabiskan waktu dengan berpanas-panasan di tepi promenade bukanlah ide yang bagus. Kulit gue sudah terlalu eksotik.
Gue lantas membeli setangkup es puter seharga 2 RM, lumayan buat pengganjal perut karena gue belum sarapan dari sejak meninggalkan hostel pagi ini. Gue kemudian menikmatinya sambil menyaksikan remaja-remaja lokal yang sedang menikmati hari Minggunya dengan bermain bola Basket. Secara logika, kalori yang sudah gue keluarkan untuk perjalanan beberapa kilometer di bawah terik matahari ini tidak sebanding dengan kalori yang gue dapatkan kembali dari setangkup kecil es puter. Tapi sepertinya perut gue sudah mati rasa, mau diajak kompromi dengan dompet, jadi setangkup kecil es puter ini pun terasa cukup-cukup aja buat gue.
Puas menghabiskan es puter, gue masuk ke dalam Fort Cornwallis yang meminta tebusan seharga 2 RM untuk setiap orang dewasa. Buat gue isinya nggak terlalu menarik. Mengabaikan patung Francis Light yang menyambut kedatangan setiap pengunjung, gue menghampiri sebuah chapel atau gereja kecil yang teronggok kesepian di sudut benteng. Rasa penasaran gue berakhir sia-sia karena tidak ada apa-apa di dalam kapel itu.
Gue lalu masuk ke dalam ruang-ruang melengkung yang berderet di sepanjang benteng. Di dalamnya terdapat uraian perjalanan hidup Francis Light dan sejarah Fort Cornwallis ini sendiri. Gue lalu berjalan menghampiri menara, namun ternyata menara itu tidak bisa dimasuki. Gue pun bertolak ke tepi benteng, di tempat meriam-meriam diletakkan berjajar di sepanjang dinding benteng yang diarahkan ke laut lepas. Ingin rasanya mengarahkan meriam itu kepadamu, hingga aku bisa menembakkan rudal cintaku tepat ke hatimu #abaikan.
Masih dengan semangat untuk menjelajah Georgetown, gue berjalan menghampiri City Hall melalui trotoar di sekeliling Padang Kota Lama yang begitu lega, bersih, dan teduh. Beberapa bangunan lain yang ada di sekitar Padang Kota Lama ini adalah gedung Hong Leong Bank dan Chinese Chamber of Commerce. Rupanya saat itu sedang dilangsungkan sebuah acara lokal. Gue nggak terlalu paham acara apa, namun yang jelas banyak warga lokal dengan kaos seragam yang memenuhi kawasan City Hall dan Town Hall, dengan beberapa stand tempat berteduh dan seorang MC yang terus berkoar-koar di tengah siang yang membara ini.
Setelah sedikit beristirahat dengan duduk-duduk di sebuah bangku di tepi trotoar, gue menghampiri Aska dengan langkah gontai untuk melanjutkan agenda menuju Kek Lok Si Temple. Dia segera bangkit berdiri begitu melihat kedatangan gue. Gue kemudian menanyakan petunjuk arah kepada sepasang Polis Diraja Malaysia wanita yang sedang berdiri bercakap-cakap di tepi trotoar Padang Kota Lama. Sempat terjadi kesalahpahaman di antara kami bertiga, karena kedua polisi itu malah memberikan penjelasan panjang lebar untuk berjalan kaki menuju Khoo Kongsi. Gue lalu mengatakan bahwa tujuan gue adalah Kek Lok Si, yang disambut dengan sebuah seruan serentak, “KEK LOK SI?! ASTAGAAA…” Keduanya lalu memberitahu gue untuk mengambil bus Rapid Penang dengan jurusan Air Itam.
asyik gk kesana? belum pernah kesana
Sebenernya asik, banyak bangunan tua, banyak objek wisata. Tapi panas bingiiittt! Hahaha.
kalau di Indonesia ada yg mirip ama George Town gk?
Menurut aku ya, Jogja 😀
beuhg hahahha ok noted 🙂
Kenapa emang?
aku penasaran soalnya top kan ya itu wisata
itu bangunan tuanya memanggil-manggil banget ih. pengen ke Goergetown belom kesampean 😀
Wah suka bangunan tua juga ya? Sama dong, ehehe. Di sana banyak bangunan tua yang terawat, kak. Surga deh buat para pengagum arsitektur.
Iyaa saya seneng banget mengamati bangunan (walaupun bukan arsitek). Makanya seneg juga jalan-jalan dalem kota alias city tour. Hehehe
pantes temen gw saranin mulu ke penang, aaak keren ternyata
Ayo ayo ke Penang. Tunggu cerita perjalanan berikutnya, masih bahas Penang 😀
kotanya tjantik ya…
Yes! Tapi panas banget!
cantik-cantik, tapi klihatan panas bingit yaahh..
widih udah part 13 aja nih ceritanyaa..
Kelihatan kan panasnya? Direkomendasikan pake topi atau payung deh.
Haha maklum aku kalo nulis detil dari proses sampai apa yg terjadi atau dirasakan.
perasaan pada travelmatenya mana?
#eh
#dilemparpancing
Hah? Kakak salah ketik ya?
Paranakan Mansion itu keren banget dalamnyaaa. Sampe aku tulis jadi cerita tersendiri di buku DestinASEAN 🙂 udah naik ya jadi RM 20? Tahun lalu masih RM 15.
Iya, kak. Aku baca DestinASEAN 🙂
Ooops >.< barti udah tau yaaa. Hahaha
Iya hahaha. Tapi gue lupa kalo bayar >,,<
[…] karena takut nggak bisa menepati janji. Mudah-mudahan sih, gue bisa menyelesaikan rangkaian city tour dan Kek Lok Si Temple pada sore hari, sekitar pukul 3 atau 4, sehingga masih sempat ke Batu […]
[…] Kami berjalan kaki sekitar 2 kilometer menuju Menara Kembar Petronas atau Petronas Twin Tower, destinasi wajib yang nggak boleh diabaikan saat bepergian ke Kuala Lumpur. Badan udah lengket karena keringat, belum mandi sejak kemarin pagi, dan diperparah dengan udara Kuala Lumpur yang lembab meskipun tidak seterik Georgetown, Penang. […]
[…] megahnya Menara Kembar Petronas, atau menyusuri Sungai Singapura yang romantis, hingga berkeliling kota Georgetown yang cantik. Aku disadarkan akan satu hal, bahwa perkara jalan-jalan itu bukan perkara uang, namun […]
[…] Caves bisa dikunjungi tanpa dimintai tiket masuk. Nggak kayak di Penang, masuk peninggalan benteng Fort Cornwallis aja bayar 2 RM, padahal bentengnya juga cuma gitu […]
[…] bangunan kuno yang indah, seperti di Chinatown Singapura yang membuat gue kagum tiada henti dan Georgetown Heritage Site yang bangunan-bangunan lamanya masih sangat terawat. Karena itulah, menyusuri Lilau Square hingga […]
[…] Kuala Lumpur, gue juga jalan-jalan di Georgetown (Penang) dalam rangkaian perjalanan selama satu minggu itu. Tapi karena gue di sana nggak sampai 2 […]
dalam waktu dekat, aku mau balik lagi ke Penang menyelesaikan satu misi di Fort Cornwallis 😉
Wuihhh, misi apa nih kak? 😀
misi … misi … hehe
Hahaha. Mangga, teh 😀
Salam aja lah ya buat Penang. Belum puas aku kemarin ke sana.
[…] ada mural atau street art pada satu sisi dinding di dekat pintu masuk dari Jl. Cibadak. Kayak di Penang atau Ipoh, Malaysia! Oke banget buat […]
[…] Awali dengan kota lama Georgetown, atau Georgetown UNESCO Heritage Site di kawasan Lebuh Chulia, Lebuh King, Armenian Street, Beach Street, dan Penang Street. Ada Masjid Kapitan Keling, St. George’s Anglican Church, Khoo Kongsi Temple, Pinang Peranakan Mansion, dan banyak lagi. Jangan lupa foto-foto di mural-muralnya yang ikonik, seperti mural anak laki-laki di sepeda dan anak perempuan di ayunan. Baca ceritanya di sini. […]