Pintu gerbang itu berdiri beberapa meter di hadapanku. Aku sempat ragu, itukah pintu masuk menuju Pura Mangkunegaran? Beberapa sepeda motor terparkir di depannya, lalu seorang wanita paruh baya berjalan memasuki gerbang.
Aku memantapkan diri, berjalan melalui pintu gerbang yang hanya setengah terbuka pada satu sisi itu. Tak ada yang menghalangi langkahku.
Tiba di dalam kompleks, aku menemukan diriku berada di tengah tanah lapang berumput yang lengang. Seorang bapak tampak berjalan menyeberang lapangan. Aku lalu menghampirinya untuk bertanya.
“Benar ini Pura Mangkunegaran, Pak?” tanyaku.
“Iya, tapi seharusnya mas masuk dari sebelah sana,” jawab bapak itu, mengarahkan tangannya ke arah kiri. “Tapi coba mas masuk saja ke gedung itu lalu sampaikan maksud mas,” dia melanjutkan, menunjuk ke arah sebuah bangunan tertutup di belakang pendopo besar.
Mengikuti saran yang diberikan, aku berjalan menghampiri bangunan itu dengan mantap. Sepatuku berjalan menapak anak-anak tangga berlapis marmer menuju pintu masuk bangunan.
Lalu, seruan penuh amarah itu menghentikan langkahku.
Aku menoleh ke belakang, mencari sumber suara. Seorang bapak lain datang berlari tergopoh-gopoh dari kejauhan. Dia terus meneriakkan kata-kata yang tak dapat kutangkap, salah satu tangannya terus melambai-lambai dengan cepat.
Aku paham apa maksudnya.
Kakiku berjalan cepat turun dari teras bangunan, kembali ke tanah lapang yang memisahkan bangunan dengan pendopo.
Bapak itu langsung menghujaniku dengan amarah. Bahwa seharusnya aku tak boleh masuk kemari, apalagi dengan memakai sepatu. Aku harus mendaftar lebih dulu ke depan, lalu masuk ke dalam kompleks dengan didampingi oleh seorang pemandu.
Ingin rasanya aku membela diri, mengatakan bahwa aku hanya mengikuti saran seorang bapak yang lain. Namun aku tahan argumenku, menggantinya dengan ungkapan, “Maaf, Pak. Saya tidak tahu, saya tadi salah masuk,” dan nada suara sesantai mungkin. Perlahan, amarah bapak itu reda.
Rupanya ada meja resepsionis di depan kompleks. Aku mendaftarkan diriku, menuliskan data diri secara lengkap pada sebuah buku tamu.
“Biaya masuknya Rp 10.000,00, mas. Belum termasuk tip untuk pemandu.”
(((Belum termasuk biaya tip)))
Seorang bapak berkacamata yang sudah siap di belakang meja, segera beranjak keluar dan mendampingiku. Bersama, kami berdua meniti biduk rumah tangga berjalan masuk ke dalam kompleks. Bapak ini terkesan ramah dengan suara medok Jawanya yang kental. Selama menit-menit pertama, kami berbincang ringan tentang asal usulku dan apa saja yang kulakukan sebelum tiba di sini.
Kami tiba di sebuah pendopo besar yang dinamakan Pendopo Ageng atau Bangsal Ageng / Agung. Disangga dengan ke-4 tiang saka guru, Pendopo ini digunakan untuk pertunjukkan atau latihan gamelan dan tari tradisional yang ada pada jam-jam tertentu. Kesan mewah terpancar dari material marmer yang digunakan untuk melapisi lantainya, konon langsung didatangkan dari Italia! Patung-patung Eropa berdiri berjajar mengelilingi Pendopo, sementara emblem Pura Mangkunegaran bertengger tepat di titik depan-tengah-atas Pendopo.
Pura Mangkunegaran sendiri dibangun pada tahun 1757 oleh Raden Mas Said, atau yang juga dikenal dengan nama Pangeran Samber Nyawa. Beliaulah yang kemudian menjadi Mangkubumi I dan bertahta di istana ini. Istana dibalut dengan warna hijau toska pastel, yang memang menjadi warna Mangkunegaran. Warna senada dengan warna biru yang menjadi warna Keraton Kasunanan Surakarta.
Saat ini, Istana Mangkunegaran tetap berfungsi sebagai tempat tinggal Mangkunegara dan keluarganya. Jadi, akan ada saat-saat insidental di mana istana ditutup karena sang penghuninya sedang menyelenggarakan hajat.
Lepas dari Pendopo Agung, kami berjalan memasuki bangunan yang tadi nyaris kumasuki. Mulai dari sini, semua alas kaki pengunjung harus dilepas. Sang Pemandu menyediakan sepasang kantung plastik hitam untuk menyimpan alas kaki kami berdua. Di dalam bangunan itu jugalah, fotografi tidak diperkenankan — apalagi rekam merekam. Jadi, jangan coba-coba melanggar peraturan, kecuali jika matamu sudah terintegrasi dengan alat perekam yang tertanam di dalam kepala. Hih!
Di teras bangunan, potret Mangkubumi VII yang saat ini memerintah dipajang dalam wujud foto dan lukisan beserta isterinya.
Aku terpukau dengan berbagai koleksi benda-benda kerajaan yang tersimpan di dalam museum. Dari koleksi mata uang berbagai negara, hingga kostum-kostum raja, senjata-senjata kerajaan, dan barang pecah belah bersalutkan logam mulia. Sungguh, inilah pertama kalinya bayangan kehidupan bangsawan yang mewah tergambar nyata di benakku!
Yang paling menarik adalah sebuah benda berbentuk tabung yang digunakan oleh raja untuk “mengamankan” alat vitalnya saat pergi berperang. Menghindari terjadinya persetubuhan dengan wanita lain 😀
Lepas dari museum, kami mengenakan kembali alas kaki kami. Kali ini kami berjalan menelusuri selasar dan memasuki ruang demi ruang.
Ada beberapa koleksi yang juga dipamerkan di sepanjang selasar. Dari patung-patung, perkakas kerajaan zaman dahulu, koleksi foto, dan guci-guci tembikar raksasa yang berjajar di taman.
Aku suka dengan ruang pertemuannya. Di sinilah seluruh keluarga, baik lelaki dan perempuan, dapat bertemu (mereka tinggal di bangsal yang terpisah). Duduk di atas deretan kursi-kursi berwarna keemasan, di bawah naungan chandelier yang menjuntai dari rangka atap ekspos.
Ruang makan lebih sederhana daripada ruang pertemuan, namun tetap tampil mewah. Kursi-kursi dan meja kayu ditata dalam beberapa set. Ornamen dekoratif diberikan melalui keberadaan chandelier, lampu-lampu yang menempel pada dinding, dan cermin yang dibingkai dengan seni ukiran yang rumit.
Sejenak fantasiku melambung. Membayangkan sebuah keluarga kerajaan yang tengah menikmati santap malamnya di bawah pendar keemasan dari chandelier dan lilin-lilin yang tertanam pada dinding. Masing-masing mengenakan pakaian keagungannya — satu setel jas dengan kemeja bergelambir seperti bangsawan Eropa untuk para pria, dan paduan kebaya dengan jarik untuk para wanita. Sendok-sendok emasnya berdenting anggun memecah kesunyian, menjadi satu-satunya sumber suara karena tak ada yang berani banyak berbicara selama bersantap.
Menjelang akhir tur singkat ini, sang bapak pemandu menunjukkan pengendali listrik jaman dahulu yang saat ini sudah tidak digunakan.
“Terima kasih atas kunjungannya, mas. Semoga apa yang saya sampaikan tadi bermanfaat ya,” kata bapak pemandu sebelum kembali memasuki ruang resepsionis.
Ingat dengan petuah tip yang disampaikan di awal-awal kedatanganku, aku buru-buru merogoh tasku dan mencari beberapa lembar uang yang layak diberikan. Namun sebelum aku menemukan uang yang dicari dan menyerahkannya kepadanya, bapak pemandu bergegas masuk ke ruang resepsionis dan menempati “singgasana”-nya di balik meja depan.
Pada akhirnya, lembar-lembar uang itu tetap bertahan di dalam genggaman tanganku. Aku merasa agak malu memberikan uang tip di hadapan orang-orang lain. Jadi, aku mengambil kesimpulan bahwa bapak ini tidak ingin menerima tip dariku. Entahlah, aku tak tahu. Namun, menurutku lebih baik bila uang tip diatur dengan regulasi yang jelas, karena bisa jadi ada pengunjung yang sulit mengukur seberapa besar uang tip yang “layak” diberikan kepada pemandu.
Aku berjalan melalui meja depan, mengangguk sopan kepada bapak pemandu yang sudah kembali sibuk dengan pekerjaan administrasinya.
Lawatan ke Pura Mangkunegaran ini rupanya lebih menarik dan berkesan daripada yang kuduga. Malah, dari semua istana yang pernah kukunjungi — Keraton Kasultanan Yogyakarta, Pura Pakualaman, Keraton Kasepuhan Cirebon, Keraton Kanoman Cirebon, dan Keraton Kasunanan Surakarta — Pura Mangkunegaran-lah yang paling berkesan! Memang tidak ada koleksi kereta-kereta kencana, namun.. aku suka dengan keterbukaannya.
Pura Mangkunegaran adalah destinasi yang tak boleh kamu lewatkan saat bertandang ke Solo.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Blog Competition #TravelNBlog 3“ yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID
Baca juga:
Eh, jadi Pura Mangkunegaran ini kayak keraton yang ada di yogyakarta kan? Enggak ada informasinya gitu kok bisa sampe salah masuk 😐
Kayak Pura Pakualaman gitu, mas. Aku jalan kaki dari arah Pasar Gede. Nah, ketemu kompleksnya terus ada tulisan Pura Mangkunegaran. Jadi aku masuk aja deh 😀
Haduh, suka bingung aku sama nama – namanya. Di solo kan ya? Aku belum banyak jelajah solo euy~ masukin list deh 😀
Iya di Solo. Haha, susah dihafalin ya namanya.
oh beda ya sama keraton solonya, berarti banyak keraton2 gitu yak di Solo, pengen kesana jadinya 😀
Eh, ya cuma dua ini, bro. Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Sama kayak Jogja juga ada 2, Kasultanan dan Pakualaman.
bagus puranya
Yes.
Aku punya teman kuliah berasal dari Mangkunegaran sini, tapi sekarang bermukim di Kanada.
Dia, puterinya. Tapi nggak mau jadi Kanjeng Ratu.
Ngerasain lah, berteman sama puteri yang rajin perawatan kulit itu gimana. Tapi, pinter banget juga, sih.
O my God, itu pengalaman banget, kak Ind!!! :O
Jadi bener2 ngerasain ya bahwa royal life itu memang ada. Waktu itu kuliah di mana, kak Ind?
Si puteri ini kuliah Teknik Industri di UI. Tata lakunya santun banget.. Lha, memang royal life iya ada, kok. Selama dunia kerajaan2 masih hidup, itu ada.
Iya, mbak. Maksudnya, kalau kenal langsung sama orangnya, jadi bener2 ngerasain kitanya. Nggak sekedar lihat di media 😀
Wah, emang behave as a princess ya.
Bagian yang paling kusuka dari Mangkunegaran ini perpustakaanya Gi. Letaknya di bagian sayap timur. Koleksi buku-bukunya luar biasa, sebagian besar pegawainya sudah sepuh
Perpustakaan? Hm… aku mampir ke sana nggak ya kemarin. Kayaknya nggak diajak bapak pemandu.
Atau mungkin cuma sepintas lewat 😐
Ruang pertemuannya megah banget yaaa. Btw kenapa yang paling menarik justru tabung pelindung itu? :p
Hahaha. Maklum, hal2 berbau itu selalu menarik perhatian X))
Kayaknya pelaku pariwisata bisa lebih hidup justru dari tip, kecuali kalo orangnya uda kabur 😛
Wkwkwk. Aku pun jadi bingung mau ngasih apa enggak 😀
Buat aku aja mz, tipnya.
Boleh, mas. Masuk kamar dulu yuk, nanti baru aku kasih tipnya.
Sekarang balik badan mz.
merasa berdosa sering lewat sini tapi gak mampir 🙂
Haha. Biasanya memang gitu, mas. Warga lokalnya sendiri malah belum pernah ke objek wisata di kotanya 😀
begitulah #selfkeplak
Wow, kemegahannya terasa agung sekali, Mas. Marmer Italia yang mengilap, ornamen-ornamen bertatahkan emas, kandelar-kandelar berat yang asli… memang destinasi yang sangat kaya, sayang jika dilewatkan.
Good luck buat lombanya, Mas. Semoga berhasil!
Betul.
Terima kasih dukungannya, sayang gak menang 😀
Masih ada putaran lain, kesempatan lain, dan turnamen lain, Masbro. Semangat :hehe.
Sama-sama :)).
Semacam keraton yahh pemandangan didalamnya 🙂
Iya. Ini memang keraton, kak 🙂
maksudnya Keraton di Yogya hehehee
setuju kak, mengenai pemberian tip. mungkin lebih baik htm sudah termasuk dlm untuk tip.
Yep. Jadi nggak perlu galau mau kasih tip berapa.
Kak .. nanya ngak ke pemandu nya ??? knp mereka takut bersuara saat makan ??? hehehe
Wah, enggak mas. Emang kenapa?
[…] (Source: The TraveLearn) […]
[…] dari kota-kota sebelumnya. Mulai dari wisata budaya, seperti Keraton dan Masjid Agung Surakarta, Pura Mangkunegaran, Pasar Gede Hardjonagoro, hingga Candi Cetho di ketinggian yang menyajikan suasana bak Pulau Dewata […]