
Suasana Jalan Dhoho, Kediri, di Sabtu pagi
Stasiun Kediri menjadi perhentian kereta api Kahuripan yang bertolak dari Stasiun Kiaracondong, Bandung, malam sebelumnya pada pukul 18:10. Sebagai seorang pejalan PJKA―Pergi Jumat Kembali Ahad―jadwal ini adalah jadwal yang ideal! Meski sebenernya yang gue inginkan adalah tiket kereta api bisnis untuk perjalanan yang lebih nyaman bagi seorang mas-mas di penghujung usia 20-an, tapi karena nggak ada pilihan lain, mau nggak mau gue maklumi juga pilihan ini. Untuk sedikit menambah kenyamanan, gue memilih kursi di bagian dua baris.
Mengabaikan tawaran dari bapak-bapak sopir becak dan mas-mas tukang ojek di area kedatangan stasiun, gue terus berjalan menjauh sambil sesekali memeriksa lokasi di Google Maps. Jalan Dhoho, yang jaraknya sangat dekat dengan Stasiun Kediri, menjadi tujuan pertama gue dalam perjalanan ini. Gue mau sarapan pecel yang kabarnya banyak di jalan itu, a great way to start my adventure in Kediri, right?
Spot 1: Makan Pecel Tumpang di Jalan Dhoho
Sampai di pertigaan Jalan Dhoho, gue berhenti. Bingung. Gue pelajari situasi sekitar dengan Google Maps, mencari-cari tempat makan apa saja yang terdeteksi di peta. Kebetulan, saat itu gue berdiri di dekat sebuah warung pecel pinggir jalan yang sedang sibuk melayani beberapa pelanggannya di kursi-kursi sederhana yang ditata mengisi bahu jalan. Seorang mas-mas datang menghampiri gue, dan bertanya, “Mau ke mana, mas?”
“Kalo pecel yang enak di sini di mana ya, mas?” gue bertanya menyahut sapaannya.
“Di sini paling enak, mas,” jawabnya.

Pecel Tumpang khas Kediri di Jalan Dhoho
Entah memang bener paling enak atau cuma bisa-bisaan si mas untuk membantu yang empunya warung, tapi gue akhirnya manut dengan perkataannya. Gue memesan seporsi pecel tumpang dengan 2 tusuk sate. Kadang memang lauk pauk pendamping di warung-warung pecel atau soto itu lebih menggoda dari makanan utamanya, hehe. Untuk minuman, gue memesan segelas kopi hitam panas yang diracik dari sebungkus kopi instan. Gapapa, gue udah seneng banget bisa mengawali pagi dengan kenikmatan seperti ini.
Setau gue, yang membedakan pecel tumpang dengan pecel biasa adalah sambalnya. Sambal Tumpang dibuat dari campuran tempe bosok dan tempe biasa, disajikan dengan rempeyek yang gurih dan renyah. Pecel tumpang memang kuliner khas Kediri, meski juga bisa ditemukan di kabupaten-kabupaten tetangganya. Tanpa diduga, ternyata ada sedikit sensasi rasa manis di dalamnya, enaaakkk! Seporsi pecel tumpang polos harganya cuma Rp8.000,00. Muraaahhh! Perut kenyang, gue lalu seruput kopi hitam yang sudah tersaji sambil mengamati aktivitas yang terjadi di sekeliling. Ada rombongan dari Jawa Barat (ketauan dari bahasanya) sejumlah puluhan orang yang berkerumun di dekat warung pecel, menunggu dijemput kendaraan sewaan mereka.
Spot 2: Klenteng Tjoe Hwie Kiong
Selesai membayar dan perut sudah nyaman untuk diajak kembali melangkah, gue berjalan menyusuri Jalan Dhoho menuju klenteng Tjoe Hwie Kiong yang letaknya nggak jauh dari situ. Dalam perjalanan pagi itulah, gue menemukan warung-warung pecel lain yang membuka usahanya di Jalan Dhoho. Masing-masing warung biasanya juga melayani rawon, nasi kuning, nasi rames. Senang sekali berjalan kaki pagi itu. Hawa sejuk masih mengendap di daratan, cahaya matahari juga masih terasa hangat yang nyaman. Jalan Dhoho tak terlalu ramai, khas jalan-jalan di sebuah kota kecil Pulau Jawa.

Gereja Kristus Tuhan di samping klenteng Tjoe Hwie Kiong

Jalan Yos Sudarso Kediri yang berhias seni grafitti
Sepertinya memang belum banyak wisatawan yang mampir ke klenteng yang beralamat di Jl. Yos Sudarso no. 148 Kediri ini. Tamu harus mengisi daftar hadir di pos satpam dan memberikan sumbangan seikhlasnya yang kita berikan saat mengakhiri kunjungan. Sebagai jaminan, KTP kita akan ditahan di pos satpam. Selain gue, ada 2 remaja cowok yang saat itu juga sedang berkunjung ke klenteng.
Klenteng Tjoe Hwie Kiong yang asli rupanya dibangun oleh pendatang dari Fujian, Tiongkok, pada tahun 1895. That was so long time ago! Seperti banyak klenteng pada umumnya, bangunan utama klenteng Tjoe Hwie Kiong memiliki hiolo (tempat menancapkan hio), sepasang kan chuang (jendela berbentuk bundar), huo zhu (ornamen dekoratif berbentuk seperti bola api di atap), dan xing long (ornamen berbentuk naga berjalan). Bangunan utama itu diapit kim lo di setiap sisi, tempat pembakaran kertas sembahyang. Karena dihimbau untuk tidak mengganggu jemaat, gue nggak masuk ke dalam bangunan utama karena saat itu mengambil foto dengan kamera DSLR, jadi hanya mengambil foto dari luar.

Bangunan utama klenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri

Bangunan di sisi klenteng yang sepertinya difungsikan untuk kegiatan administratif
Di sisi bangunan utama ada gedung bertingkat yang sepertinya difungsikan untuk kegiatan pengurus dan jemaat. Gue sempet masuk ke dalam toiletnya yang gelap dan seperti terbengkalai, tapi airnya masih berfungsi. Bagian paling menarik adalah patung Sang Dewi Welas Asih, Guan Yin atau Avalokitesvara, di seberang bangunan utama. Sang Dewi dibangun tidak terlalu tinggi dan masih terlihat baru. Wajahnya yang tenang menghadap ke arah Sungai Brantas.
Sayang sekali, lahan yang menghubungkan area klenteng dan sungai nggak dirapikan, malah dipisahkan oleh pagar masif yang cukup tinggi. Lahan bantaran sungai itu kotor, berantakan, dan terbengkalai, seperti layaknya bantaran sungai yang menjadi pintu belakang rumah-rumah penduduk. Mungkin karena masalah kepemilikan lahan kali ya. Padahal seandainya nggak ada pagar pembatas, lalu lahan bantaran sungai itu disulap jadi taman atau minimal dilapisi paving block, pasti bakal bagus banget.

Patung Dewi Guan Yin di klenteng Kediri

Panorama klenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri
Karena nggak banyak yang bisa dilakukan, gue akhirnya menyerah pada waktu. Di pintu gerbang komplek klenteng, gue menunggu jemputan babang GOJEK yang untungnya sudah hadir di Kediri. Oh ya, di dekat klenteng ada sebuah gereja kecil namun bergaya klasik bernama Gereja Kristus Tuhan. Lalu sudut belokan Jalan Yos Sudarso juga dihias dengan karya seni graffiti. Dalam perjalanan menuju hotel yang udah dipesan dari bulan sebelumnya, gue baru sadar kalo ternyata Jalan Yos Sudarso adalah salah satu pusat belanja oleh-oleh di Kediri.
Baca Juga: Kesengsem Lasem #1, Klenteng Poo An Bio dan Rumah Oma Opa
Check-In di Viva Hotel Kediri
Setelah semalaman melakukan perjalanan, kasur dan akomodasi yang nyaman menjadi dambaan! Saat itu memang baru sekitar jam 10 pagi, namun sebagai blogger tamu, puji Tuhan gue diperbolehkan untuk early check-in di Viva Hotel Kediri. Rasanya seneng bangeeettt bisa ganti baju dan rebahan di kasur! Salut sama keramahan dan kehangatan staf hotel yang bertugas saat itu. Desain kamarnya memang sederhana, tapi yang penting rapi, bersih, dan segala sesuatunya berfungsi dengan baik.

Disambut keramahan Viva Hotel Kediri
- Menu sarapan di Viva Hotel Kediri
- Suasana sarapan di Viva Hotel Kediri
- Bersantai di lobi Viva Hotel Kediri

Fasilitas kamar Viva Hotel Kediri
Yang gue suka dari fasilitas kamar di Viva Hotel Kediri ada shower air panas yang semburan dan derajat panasnya pas, lalu nggak nyangka bahwa WC-nya sudah menggunakan water gun yang langsung menyembur ke area pantat tanpa harus kita arahin sendiri. Fasilitas hotel selain lobi yang cukup luas adalah in-site bar, room service dengan menu beragam dan harga sesuai budget backpacker, dan tentunya sarapan. Walaupun nggak terlalu banyak, tapi menu sarapannya sudah memenuhi seluruh elemen seperti main course, menu pendamping (bubur kacang ijo), roti tawar, desert (buah dan puding), kopi, dan teh. Kebetulan pas gue nginep di situ, temanya adalah nasi kuning. Ulasan selengkapnya Viva Hotel Kediri akan di-post terpisah.
Spot 3: Taman Brantas, Jembatan Brawijaya, dan Jembatan Dahanapura
Saat gue berkunjung ke sebuah kota, gue selalu suka buat mampir ke pusat-pusat keramaian publiknya. Dan jika kondisinya adalah gue sedang berada di sebuah kota “Jawa” kayak Kediri ini, maka pusat keramaian publik yang pertama kali terlintas di benak gue adalah: alun-alun kota. Selain menjadi pusat keramaian publik di mana gue bisa mengamati keseharian warganya, sebuah alun-alun juga biasanya menjadi konsentrasi bangunan-bangunan utama seperti masjid raya, gereja, Bank Indonesia, dan kantor pos. Maka gue browsing-lah Alun-Alun Kota Kediri di Google Maps.
- Taman Brantas, area publik kekinian di Kediri
- Jalur pedestrian di Taman Brantas Kediri

Salah satu area duduk di Taman Brantas Kediri
Melalui Google Maps, gue lalu mengamati ada apa saja di sekitar alun-alun. Wah, ternyata lokasinya dekat dengan sungai besar! Gue semakin tertarik lagi. Gue lalu menyusuri kawasan sekitar sungai, dan ternyata ada sebuah tempat publik lain bernama Taman Brantas. Setelah meminta saran kepada front officer hotel, akhirnya gue putuskan untuk pergi ke Taman Brantas keesokan harinya, saat siang jelang sore. Jadi, dari setelah check-in sampai keesokan harinya, gue ngendon di hotel aja dan nggak ke mana-mana, hahaha. Kerjaannya tidur, mandi, makan, dan foto-foto.
Dari jalan raya aja, mata gue udah berbinar-binar melihat Taman Brantas! Tamannya nampak luas, dikelilingi oleh jalur trotoar yang rapi, bersih, dan lebar. Nggak salah kasih masukan nih mbaknya. Obyek foto pertama gue saat itu adalah sebuah pelataran dengan ornamen huruf-huruf bertuliskan “TAMAN BRANTAS”. Di sudut pelataran, ada sebuah kandang burung yang juga bagus menjadi obyek foto.

Berfoto di Taman Brantas Kediri

Trotoar lebar, rapi, dan bersih di Taman Brantas Kediri
- Burung-burung di bawah bangku taman
- Kandang burung di Taman Brantas Kediri

Panorama bagian depan Taman Brantas Kediri
Gue lalu berjalan menuruni undakan untuk menjelajah lebih dalam. Taman Brantas rupanya diisi dengan jalur pejalan kaki dan bangku-bangku santai yang berjajar rapi di tepi jalur pedestrian. Tempat sampah dan toilet pun tersedia.
Tapi yang membuat gue suka banget sama Taman Brantas ini, adalah lokasinya yang berada persis di sisi megahnya Sungai Brantas dan Jembatan Brawijaya! Ada jalur pedestrian yang menjulur sejajar dengan sungai, menjadikannya tempat yang menyenangkan untuk berjalan-jalan santai di sore hari. Sungainya juga bersih, jadi semakin sedap dipandang. Dari Taman Brantas, kita bisa menikmati gagahnya konstruksi Jembatan Brawijaya.

Jajaran bangku di Taman Brantas Kediri

Toilet dan tempat sampah di Taman Brantas Kediri

Panorama taman menghadap Sungai Brantas Kediri
- BMX Arena di Taman Brantas Kediri
- Jembatan Brawijaya dari Taman Brantas Kediri

Ah, aku jatuh cinta dengan Taman Brantas Kediri
Ternyata, Jembatan Brawijaya ini masih baru banget, baru diresmikan akhir tahun 2018 lalu setelah pembangunannya sempat tertunda beberapa lama. Ia menjadi pembatas imajiner antara Taman Brantas dengan BMX Arena, bahkan sebagian arena berada di bawah kolong Jembatan Brawijaya. Arus kendaraan yang melalui jembatan ternyata juga nggak terlalu banyak, gue jadi bisa menyeberang wara-wiri dengan mudah untuk mengambil foto.

Panorama Taman Brantas dan Jembatan Brawijaya Kediri

Jembatan Brawijaya melintas di atas Sungai Brantas Kediri
- Jembatan Brawijaya Kediri
- Jembatan Brawijaya dilihat dari Jembatan Lama Kediri

Dua jembatan, yang lama dan yang baru, dalam satu bingkai
Puas dengan jembatan baru, gue beralih kepada jembatan lain yang lebih bersahaja di sisinya: Jembatan Lama Dahanapura. Sebelum Jembatan Brawijaya ada, Jembatan Lama inilah yang menjadi andalan warga untuk menyeberangi sungai. Jembatan Lama Kota Kediri mulai beroperasi sejak 18 Maret 1869 setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Kini, jembatan ini hanya digunakan untuk kendaraan roda dua dan kendaraan tak bermotor.

Jembatan Lama Dahanapura Kota Kediri
- BMX Arena dan Jembatan Lama Kediri
- Jembatan Lama Kota Kediri yang sudah berusia lebih dari seabad

Panorama Jembatan Lama Kediri dari Jembatan Brawijaya
Seiring dengan matahari yang bergulir perlahan ke ufuk barat, gue lalu berpikir, “Kayaknya harusnya gue ke Simpang Gumul dulu baru ke sini. Lokasinya cocok buat sunset-an, euy!”
Spot 4: Simpang Lima Gumul Kediri
Tempat wisata terakhir di Kediri yang gue kunjungi ini bener-bener cuma buat mampir foto doang. Dari Taman Brantas, gue jalan kaki mencari tempat makan yang murah tapi nyaman yang sayangnya nggak ketemu, ujung-ujungnya gue makan di… Kediri Town Square, nyahahaha. Dari sana, gue naik GOJEK ke Simpang Lima Gumul Kediri. Lokasinya memang jauh dari pusat kota, dan nggak ada apa-apa di sekelilingnya yang bisa dieksplor. Jadi memang harus pinter-pinter atur itinerari.

Foto panorama Monumen Simpang Lima Gumul Kediri

Sah ke Kediri? SAAAHHH!
Entah apa maksudnya, namun Monumen Simpang Lima Gumul Kediri ini dibangun dengan arsitektur yang menyerupai Arc de Triomphe di Paris dan Patuxai Monument di Vientiane, Laos. Monumen yang selesai dibangun tahun 2006 ini memiliki luas 804 m²dan tinggi 25 meter sebagai pengingat hari jadi kota Kediri pada 25 Maret 804. Wakgelaseh, ternyata Kediri udah tua bangeeettt. Lokasi monumen berada di tengah sebuah simpang lima yang mengarah ke Kediri, Pare, Plosoklaten, Pesantren, dan Menang.
Lokasi terbaik untuk mengambil foto bangunan adalah dari seberang jalan. Tapi mas-mas Gojek keburu menurunkan gue di tengah monumen dan susah banget buat nyeberang. Jadi ya sudahlah, foto-foto sebisanya aja. Suasana rame banget di hari Minggu sore itu. Karena keterbatasan waktu, gue bener-bener cuma foto-foto doang, bener-bener nggak ada waktu buat eksplor. Jadi gue nggak tau apakah monumennya bisa dimasuki atau dinaiki. Kayak kamu aja sukanya dinaiki #eh

Stasiun Kediri jelang kepulangan ke Bandung malam itu
Saking bentarnya gue di situ, driver GOJEK yang jemput gue adalah driver yang sama dengan order sebelumnya, haha. Diiringi hembusan angin sejuk Kediri di sore hari, kami berkendara menuju Viva Hotel. Simpang Lima Gumul ternyata lebih deket sama Viva Hotel daripada dengan Kediri Town Square. Setelah sampai di hotel, gue beristirahat sebentar, mandi sore, lalu packing. Bersyukur banget gue boleh late check-out karena kereta Malabar yang akan gue naiki baru berangkat jam 18:50. Akhirnya baliknya bisa naik kereta api bisnis, hihi.
Tuntas sudah cerita perjalanan singkat gue di Kediri tanggal 21-22 September 2019 lalu. Gue berangkat dari Bandung hari Jumat jam 18:10, sampai di Kediri hari Sabtu jam 7:19, kembali ke Bandung hari Minggu jam 18:50, lalu tiba di Bandung hari Senin pagi jam 7:48. Dari Stasiun Bandung, gue naik GOJEK ke kost hanya buat meletakkan beberapa barang, lalu segera berangkat ke kantor dengan sepeda motor. Gue mandi di kantor, sarapan, lalu dimulailah rutinitas kerja itu seperti biasanya. Trip yang bener-bener singkat dan hanya mengandalkan weekend tanpa cuti! Oh please, nggak usah kasihan sama gue, perjalanan selama 2 hari itu gue jalani dengan sukacita tanpa merasa sayang uang, sayang tenaga, atau sayang-sayang lainnya. Gue bahagia kok…
mantap memang mas nugi..jalan2 terus pokoknya..
Haha siap
wagelaseh kak Nugi udah menjelajah Kediri, aku yang orang Jatim aja belum pernah….pecel tumpangnya bikin ngileeeer. Btw tone fotonya keren deh, warm2 gimana gitu
Haha, seringkali natives suatu daerah malah belum banyak eksplor daerahnya. Kayak aku yang ke Tangkuban Perahu Bandung aja belum pernah 😀
Awww makasih kak, coba cek feed IG aku #promosi 😀
Aku tertarik sama tamannya, luas dan kayake bersih banget. Buat duduk bersantai pun enak
Aku suka banget tamannya!
makasih mas, ini bisa jadi rekomendasi saya kalo jalan2 ke kediri
Senang bisa berbagi, mas
mantap mas, bisa jadi referensi saya, dimana harus menginap.
Jadi kangen sama Kediri.
Bener nih, Jl. Dhoho…duh beneran kaya di bawah ke kenangan pas kesana,
Widih, sekarang tinggal di mana gitu kak?
Kediri memang seru. Kulinernya enak. Jadi nostalgi dulu pernah nyanyi bareng band di klentengnya
Wah, penyanyi nih rupanya
[…] tulisan sebelumnya, gue udah membahas tentang tempat wisata di Kediri yang gue kunjungi selama 2 hari. Maka di tulisan kali ini, gue akan membahas hotel tempat gue […]
Iya… Kediri terkenal dengan pecel tumpang. Percayalah, sembarang penjual pinggir jalan, enak kok. Saya ke Kediri malah cuma pernah lewat buat kondangan. Hahaha…
[…] Baca juga: Jalan-Jalan di Kediri | Klenteng, Taman Brantas, dan Simpang Lima Gumul […]
hahaha kalimat-kalimat penutupnya oks juga, kadang aku juga gitu”tanpa merasa sayang uang, sayang tenaga” sesekali saja yang penting enjoyy
Aahhh Kediri, trakhir kesana 2013. Tapi aku cuma singgah, utk foto doang di menara simpang lima KW arc de Triomphe :p. Trus lgs lanjut ke malang kalo ga salah.
Jd ga terlalu tau banyak kotanya, bahkan taman Brantas ga sempet kami datangi.
Eh aku juga penasaran mas kenapa itu menara harus dibuat mirip Ama arc de Triomphe yaaa. Dan berarti ada 4 yg menara seperti ini, yg di Paris aslinya, yg dikediri, di Laos, dan 1 lagi di korut.
Berarti yg belum aku datangin yg di Paris :D. KW nya udah semua hahahaha
Next time eksplor Kediri, mbak! 😀
Lho, di Korut ada juga ya. Kalo di Korut buat apa dibangun mbak?
[…] dalam status TERCEMAR BERAT! Selain Sungai Ciliwung dan Sungai Citarum yang kita udah banyak tahu, Sungai Brantas di Jawa Timur dan Sungai Musi di Sumatera Selatan juga masuk hitungan lho. Padahal gue pengen […]
Terima kasih ya sudah menulis tentang Kediri. Benar-benar membantu mengobati rasa rindu.
Sudah lamaa sekali tidak pulang kampung dan sedang kangen-kangennya, lalu googling foto-foto Kediri, dan selanjutnya oleh Google dibawa ke blog ini. Saya senang sekali ada travel blogger yang berkunjung ke kota kelahiran saya.
Malah saking lamanya tidak pulang, saya jadi tahu tempat-tempat baru di Kediri. Taman Brantas, Simpang Lima Gumul. Wah.
Dan, YA, sego pecel tumpangnya itu (menurut saya) makanan terlezat di dunia. Ehehe.
Halo, kak Nurilla. Senang sekali tulisan saya bisa membawa nostalgi akan kota Kediri 🙂
Wah, kayaknya udah lama merantau ya mbak. Semoga ada kesempatan segera untuk pulang kampung ke Kediri.
Saya suka pecel tumpang. Nikmat banget!