
Aku bangun pagi-pagi buta bahkan sebelum adzan subuh berkumandang, tepatnya pukul 03:30. Kemarin petang, tak sampai sehari sebelum jadwal yang seharusnya, penerbangan ID-6363 rute Yogyakarta-Jakarta dengan maskapai Batik Air yang sedianya dijadwalkan pukul 08:50 dimajukan menjadi jam… tujuh pagi tepat.
“HAAAAAA?” Reaksiku saat itu. “Jam 7 pagiii? Mau naik apaan ke sana subuh-subuh?!” cecarku kesal kepada diri sendiri.
Tak seperti Bandara Adisutjipto yang berada di kawasan metropolitan Jogja, Yogyakarta International Airport (YIA) terletak sekitar 40 km dari pusat kota Yogyakarta. Estimasi lama perjalanannya adalah 1 jam! Itu pun sudah dengan kondisi lalu lintas yang lancar. Rencana awalku adalah berangkat dengan kereta bandara YIA, transportasi umum andalanku, atau damri bandara. Tapi kalau kondisinya jadi seperti ini, mau tak mau aku harus mengubah rencana.
Masalahnya, SUBUH-SUBUH NGGAK ADA TRANSPORTASI UMUM KE BANDARA! Yang bisa diandalkan adalah kendaraan pribadi atau ojek/taksi online. Aku membuka aplikasi Gojek untuk memeriksa harganya, dan ternyata ada di kisaran Rp150 ribu. Saldo Gopay-ku langsung bergetar hebat. Karena tak ada pilihan lain, keluarga belum ada yang punya mobil, aku paksakan diri mengambil rencana itu.
Ah, namun Tuhan sangat baik.

Eh sebentar, aku mau menceritakan satu hal dulu. Apakah tebersit untuk mengganti penerbangan? Tentu. Namun aku sudah terlalu lelah dan malas dengan drama-drama penerbangan di masa pandemi. Aku sudah mengganti 2 penerbangan sebelumnya.
Begini. Jadi untuk mencapai Palembang dari Jogja, aku harus transit di Jakarta karena saat itu nggak ada penerbangan langsung. Sialnya, saat melakukan pemesanan untuk penerbangan Jakarta-Palembang, aku salah membeli tiket dengan keberangkatan dari Bandara Halim Perdanakusuma. Karena auto panik, aku segera menggantinya dengan penerbangan dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Untungnya sudah ada fitur reschedule di Traveloka dan praktis banget, jadi masalah ini tertangani.
Disclaimer, ini bukan tulisan berbayar. Gojek dan Traveloka, thank me later.
Dasar pandemi, jadwal penerbangan itu berubah-ubah terus. Kayak angkot aja udah, mana yang paling banyak penumpang, dia yang berangkat. Penumpang dari beberapa jadwal penerbangan yang lain digabungkan jadi satu. Nah, penerbangan Lion Air Jakarta-Palembang yang sudah kupesan ternyata dimundurkan dari sekitar jam 14:00 menjadi sekitar jam 18:00. Karena akan tiba di Palembang pada malam hari, dan kami harus motoran berdua melalui hutan menuju dusun tempat Ara tinggal, aku pun berniat mengganti jadwal penerbangan. Lagi.

Entah karena masalah di sistem Lion Air, atau masalah di sistem Traveloka, atau aku udah nggak bisa mengubah jadwal perjalanan lagi (hanya bisa 1 kali, mungkin), aku terus-terusan gagal mengganti penerbangan. Lamannya terus-terusan loading, tak memuat daftar penerbangan apa pun. Tapi saat aku search biasa dari beranda, nggak ada masalah. Ya sudah, akhirnya aku nekad membeli ulang penerbangan yang baru, lalu membatalkan penerbangan Lion Air itu dengan mengajukan refund. Untuk penerbangan pengganti, aku memilih maskapai Citilink dengan rute Jakarta-Palembang.
Puji Tuhan, setelah lebih dari 3 bulan, akhir bulan Juni 2021 lalu pengajuan refund-ku sudah disetujui pihak maskapai dan ditransfer ke rekeningku.
Aku, Aji, dan Tuhan
Sekitar pukul 4 pagi, aku sudah siap, karena memang telah berkemas dari malam dan hanya mencuci muka saat itu. Tadi malam, mbak (kakakku) memberitahu bahwa Aji, salah satu tetangga kami di RT itu, juga mau ke Bandara YIA, bahkan jadwal penerbangannya pun sama! Hm, jangan-jangan maskapai kita sama juga, batinku. Aku berpikir akan mengajaknya bareng naik GOCAR, lumayan buat share cost.
Melalui sambungan WhatsApp Call, pagi itu Aji menawari tumpangan kepada mbak untukku. Saat kutanya jam berapa dia mau berangkat, katanya mungkin jam 5. Karena aku merasa terlalu mepet, belum kalau dia telat berangkat, aku berniat untuk menolak tawarannya. Apalagi, bapak pun memiliki pemikiran yang sama.
Namun Tuhan selalu punya cara.

Nggak ada angin nggak ada hujan, aplikasi GOJEK-ku terus berputar-putar memuat laman pemesanan GOCAR, padahal aplikasi lainnya berjalan normal. Satu suara di dalam kepalaku berkata, “Nah kan. Udah, bareng Aji aja. Nggak akan telat kok, yakin.” Seolah menjawab pertanyaanku, Aji menghubungi lagi dan melaporkan bahwa kawannya sudah mulai berangkat. Dalam perkiraannya, dia akan tiba dalam waktu sekitar 15 menit.
Karena nggak bisa-bisa memesan taksi online, aku akhirnya menerima tawaran Aji, sambil terus berharap agar mereka tidak terlambat.
Benar saja. Beberapa menit kemudian, aku mendapati diriku sudah terduduk di dalam mobil yang melaju kencang melalui jalanan Daerah Istimewa Yogyakarta yang lengang pagi itu. Aku dan Aji duduk di bangku belakang, sementara dua temannya berada di depan. Aku akan sedikit bercerita tentang Aji dulu.
Aku pindah ke rumahku yang sekarang saat aku duduk di bangku 5 SD. Rumah kami sebelumnya berada di RT yang berbeda, namun masih dalam RW yang sama. Bedanya, rumah kami yang baru adalah rumah milik kami sendiri, dibangun di atas tanah kami sendiri, sementara rumah lama kami yang berdinding bambu itu berdiri di atas tanah sewaan.
Saat itu, rumah Aji berada tepat di depan rumah kami. Ia sepantaran denganku, namun secara akademis dia satu tahun di bawahku. Anehnya, meski kami bertetangga dekat, kami sama sekali nggak pernah main bareng. Bahkan, kami nggak pernah ngobrol atau “sekadar” saling bertegur sapa. Aku adalah anak laki-laki yang minder dan pemalu (atau sok jual mahal), sementara Aji saat itu juga bukan sosok yang beramah tamah someah. Aji justru lebih dekat dengan mas-mas yang usianya beberapa tahun di atas kami.

Aji kemudian pindah ke rumah lain yang letaknya beberapa rumah dari rumahku. Jadi, aku sudah tak tahu lagi bagaimana dia saat SMP dan SMA. Aji semakin jarang terlihat, bahkan sudah tak sering lagi bermain bersama mas-mas di kampung. Dalam obrolan pagi itu, aku sepertinya bisa menduga kenapa.
Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, aku dan Aji yang saat itu mengenakan topi terlibat dalam sebuah perbincangan nyata. Aji adalah seorang pemuda yang supel. Tiba-tiba saja kami sudah ngobrol seperti sepasang kawan lama yang sudah lama tak bersua. Dari obrolan pagi itu juga, aku baru tahu bahwa Aji sama-sama punya hobi dalam bidang seni rupa dan kesenian lainnya. Ia sudah beberapa kali bertandang ke berbagai kota di Indonesia untuk festival atau proyek-proyek lainnya. Sekarang ia menikmati hidupnya dengan mendirikan dan mengelola studio, tinggal di sebuah kamar kost di daerah selatan kabupaten Bantul meski orangtuanya masih bertetangga dengan kami.
Mungkin kalau kami sudah ngobrol dari dulu, aku akan berteman dengan Aji, bahkan terlibat dalam beberapa kegiatannya.
Syukurlah, saat itu aku sudah menjadi Nugi yang lebih percaya diri, jadi aku dengan mudah menyahut obrolan dari kawan Aji di kursi depan, atau balik melemparkan beberapa pertanyaan. Oh, ngomong-ngomong, sang driver nyaris tak pernah berbicara. Antara dia adalah orang single-tasking sepertiku, atau simply memang nggak suka banyak ngobrol.
Setelah sekitar setengah jam berkendara, mobil tiba di drop-off point Yogyakarta International Airport.

Ada sedikit kejadian kocak di sini.
Aku berniat memberikan sedikit tanda ucapan terima kasih buat temennya Aji. Karena sama-sama turun, aku memberikannya kepada mas-mas yang tadi duduk di depanku (aku duduk bersilangan dengan driver). Eh, ternyata dia juga ikutan terbang dooong, nggak cuma nganterin. Sementara itu, mobil tiba-tiba saja sudah melaju lagi dan meninggalkan kami tanpa banyak kata. Ya ampun aku malu bangeeettt! Akhirnya uangnya ya kutarik lagi hahahaha. Atau harusnya tetep kukasih ke dia dan Aji? Aneh nggak sih?
Yogyakarta International Airport
Ini memang pertama kalinya aku terbang dari bandara ini, namun aku sudah 2 kali menginjakkan kaki di lahan bandara ini sebelumnya. Pertama saat menjajal kereta bandara Yogyakarta (waktu itu YIA sudah beroperasi namun masih dalam tahap pembangunan, area drop-off belum dibuka), dan yang kedua saat mengantarkan Ara pada bulan Januari 2021 lalu.
Berbeda dengan saat aku dan Ara ke sana, cuaca saat itu cerah, tepat saat mentari menyembul dari cakrawala. Aku menyempatkan diri mengabadikan foto panorama itu sebelum melangkah memasuki gedung terminal.
Begitu berada di dalam gedung, proses pertama yang harus kami lakukan adalah validasi hasil tes antigen atau PCR. Begitu masuk, tinggal berbelok ke kanan dan bergabung dengan antrean. Saat itu sedang tidak banyak orang, pembatasan jarak masih diterapkan dengan ideal. Tak lama kemudian, kami lolos tes validasi dan menghambur ke departure hall.


Saat dalam proses check-in, aku sempat antre di konter Lion Air bersama Aji. Begitu sadar bahwa Batik Air punya konter sendiri, aku segera memisahkan diri dan sekalian berpamitan.
Departure Hall Yogyakarta International Airport di Kulonprogo ini jauh lebih luas dari Bandara Internasional Adi Sucipto, pencahayaannya lebih terang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Megah, modern, mengilap, sebagian dindingnya terbuat dari material kaca sehingga kita bisa melempar pandang ke luar. Desain pilar dan langit-langitnya khas, itu kupu-kupu atau kelopak bunga ya?
Dalam perjalanan menuju boarding room, aku diiringi dengan lukisan mural di dinding lorong yang menggambarkan budaya dan keseharian warga Jogja. Ada lampu-lampu jalanan khas Jogja juga dong, itu lho yang warna tiangnya hijau tua dan lampunya berada di dalam sangkar kaca. Bahkan ada becak juga. Boarding room lalu menyambutku dengan diorama tari tradisional, kalau nggak salah adalah Tari Bedhoyo. Cmiiw. Wah, ternyata bertebaran titik-titik instagenic di YIA.


Ruang tunggu Bandara Internasional Yogyakarta luas, tapi nggak se-gemporable Terminal 3 Soetta hahaha. Lantainya dilapisi karpet yang lembut, kursi-kursi penumpangnya menghadap ke arah landasan pacu yang pemandangannya bisa kami nikmati dengan dinding kaca.
Antara Jogja dan Palembang
Sayang sekali, sesuai peraturan penerbangan khusus pandemi, penumpang pesawat terbang dengan durasi perjalanan di bawah 2 jam tidak diperkenankan untuk makan dan minum di dalam kabin. Roti dan air mineral yang diberikan harus disimpan dan dinikmati kemudian setelah tiba di tempat tujuan.



Baru kali ini aku ke Jakarta naik pesawat, pemandangannya bagus banget! Dari hamparan laut di menit-menit awal, hingga bentang pegunungan bumi priangan beberapa saat sebelum mendarat. Aku sampai berkali-kali mengabadikannya dalam foto dan video, meski hasil tangkapan kameranya tak seindah yang terekam di dalam mata dan kepala sendiri.
Setelah tiba di Soekarno-Hatta International Airport, aku layover dulu selama seharian sebelum melanjutkan penerbangan ke Palembang pada petang harinya dengan maskapai Citilink yang, surprisingly, delayed.
Kabar baik, sekarang udah ada penerbangan langsung dari Yogyakarta ke Palembang dengan maskapai Batik Air! Durasinya sekitar 3 jam. Hari Sabtu lalu harusnya aku naik penerbangan itu untuk mempersiapkan lamaran/seserahan di Palembang. Sayangnya karena hasil tes swab PCR-ku masih positif (tes swab antigen 5 Juli 2021 sudah negatif), penerbangan harus dibatalkan dan rencana lamaran ditunda dahulu. Pertengahan bulan ini, aku akhirnya membulatkan tekad berangkat ke Palembang dengan jalur darat (+ laut), dan saat tulisan ini diterbitkan, aku sedang menikmati larut malam dari kamar kost di Palembang.

Pandemi memang bikin emosi, namun kita harus tetap menanti dengan tenang hati. Thank you for reading, keep learning by traveling.
Keren ya bang. Waktu ke sana masih dalam pembangunan. Interiornya masih rangka2 gitu. Liat pesawat parkir sambil liat buih2 air laut dari kejauhan serasa liburan 😅
Iyaaa sekarang udah keren bangeeettt!
Sebenarnya transportasi ke bandara ini jadi masalah serius loh hahahahha.
Sekarang katanya sudah ada kereta bandara, awal bula atau pertengahan agustus mulai jalan. Tapi kok belum terdengar info lanjutannya.
Iya betuuulll. Nggak sabar kereta bandara segera beroperasi full sampai YIA.
Kenapa masalah serius?
Karena penumpang dan calon penumpang membutuhkan transportasi umum yang bisa diandalkan. Kalau nggak didukung integrasi transportasi umum, nasibnya bisa kayak Bandara Kertajati.
Sekarang penerbangan Jogja-Palembang harus transit di Jakarta ya? Dulu ada beberapa penerbangan Jogja-Palembang yg langsung. Tahun 2018 aku pernah naik Lion Air yg malam dari Adisucipto, waktu siang ada juga NAM Air.
Iya bro, nggak ada yang langsung sekarang sejak pindah ke YIA. Bandung ke Palembang juga udah nggak ada sekarang.
Ya ampuuuuun bandara YIA ini aku belum rasain langsung. Secara kalo ke Jogja, ya udh pasti naik mobil :D. Pengeeen ih bisa berangkat atau mendarat di sana.
Aku kalo denger cerita temen2 yang pesawatnya banyak direschedule selama pandemi jni, jujur jadi makin males terbang mas. Makanya sampe skr aku blm nyentuh bandara buat kemanapun. Kebayang langsung repotnya, blm acara delay dan reschedule -_- . Jangan tanya kangennya Ama pesawat, tapi ya itulah, aku masih nahan diri Ampe skr.
Semoga acara nikahnya lancaaaar sampe hari H ya mas nug… Dimudahkan semuanya 🙂
Iya mbak. Menguras waktu dan energi banget memang drama-drama reschedule flight selama pandemi ini. Semoga kita bisa leluasa jalan-jalan lagiii.
Amin amin, makasih doanya mbak