
Siapa di sini yang punya alergi? Gue punya, yang mana adalah asma. Kita-kita yang punya alergi ini memang kadang jadi terkendala dan punya tantangannya sendiri saat jalan-jalan. Ada yang harus menghindari makanan tertentu, menghindari kondisi lingkungan tertentu (nggak boleh banyak debu, misalnya), nggak boleh kecapekan, dsb.
Yang menjengkelkan dari memiliki alergi adalah gejala yang timbul bila kita tak sengaja terpapar alergen yang menjadi sumber alergi kita. Dari sekadar gatal-gatal, hidung meler, bengkak di salah satu atau beberapa bagian tubuh, mata merah, sesak nafas, dan dampak serius lainnya. Wah, kalo udah gitu, ambyar deh rencana traveling. Yang tadinya mau eksplor kota, malah jadi terkapar tak berdaya. Pernah kejadian?
Asma gue pernah kambuh parah saat jalan-jalan di Phuket, Thailand, dan saat itu gue udah sendirian karena 2 rekan perjalanan gue udah pindah ke Krabi. Gue terseok-seok jalan kaki dari penginapan ke jalan raya, lalu naik angkutan ke kota. Pas pertama kali ketemu Ara di Palembang pun, asma gue kambuh dari sejak di Bandara Soekarno-Hatta dan lalu kambuh parah pada malam harinya di hotel. Selain nggak nyaman ngapa-ngapain (termasuk istirahat/tidur), alergi yang kambuh juga bikin frustasi sendiri karena merasa merepotkan orang lain.
Gue nggak nyangka, ternyata perkara alergi ini sangat berkaitan dengan serat.
Fakta ini gue dapatkan setelah mengikuti webinar Bicara Gizi pada hari Selasa lalu, 23 Agustus 2022. Mengangkat “Peran Serat terhadap Kesehatan Saluran Cerna dan Alergi pada Anak”, webinar ini menghadirkan dr. Endah Citraresmi, Sp.A(K) selaku dokter spesialis anak dan mbak Anastasia Satriyo, M.Psi., Psikolog selaku psikolog anak. Jadi nggak cuma kesehatan fisiknya aja yang diobrolin, tapi juga kesehatan mental yang nggak kalah pentingnya.

Mengapa Memerhatikan Alergi pada Anak?
Anak yang berada dalam usia golden period perlu sangat diperhatikan pertumbuhan, perkembangan, daya tahan, dan kesehatannya. Dalam tahun-tahun inilah, tak hanya sikap dan karakter yang dibentuk, namun juga ketahanan tubuhnya. Salah satu implementasi krusial yang bisa kita lakukan adalah menjaga saluran pencernaan anak. Dengan saluran pencernaan yang sehat, maka tubuh juga akan lebih kuat, kebal, terhindar dari beragam penyakit seperti alergi.
Sayangnya, masih banyak orangtua di Indonesia yang belum memahami pentingnya serat untuk anak. Padahal, kekurangan serat dapat meningkatkan risiko terjadinya alergi. Nah, si kecil perlu mengonsumsi serat sesuai angka kecukupan gizi (AKG) yang ditetapkan yaitu 19 gram/hari untuk usia 1-3 tahun. Namun, ternyata kecukupan serat anak Indonesia masih di bawah standar rekomendasi asupan serat harian.
- Ditemukan bahwa 9 dari 10 anak Indonesia kekurangan serat
- Rata-rata konsumsi serat anak usia 1-3 tahun hanya 4,7 gram per hari
- Sebanyak 95,5% penduduk Indonesia di atas 5 tahun masih kekurangan serat (Riskesdas, 2018).



Untuk itulah, Danone Specialized Nutrition Indonesia terus menggelar program-program edukasi seperti webinar series Bicara Gizi agar semakin banyak masyarakat Indonesia, khususnya para orangtua, yang teredukasi. “Sebagai perusahaan yang memiliki komitmen mendukung pemenuhan gizi seimbang pada anak, Danone tidak hanya menyediakan produk bergizi yang dibuat khusus untuk membantu menjawab tantangan kebutuhan gizi pada anak, termasuk rangkaian produk dengan nutrisi tepat tinggi serat, namun kami juga secara berkesinambungan memberikan edukasi mengenai gizi. Hal ini kami lakukan untuk memastikan bahwa kehadiran kami dapat memberikan dampak kesehatan ke sebanyak mungkin masyarakat dunia dan khususnya untuk Indonesia,” tutur Corporate Communication Director Danone Specialized Nutrition Indonesia, Arif Mujahidin, yang turut hadir dalam kegiatan webinar.
Probiotik dan Prebiotik Untuk Alergi
Alergi adalah reaksi menyimpang (yang tidak diinginkan) setelah mengonsumsi makanan tertentu atau terpapar zat tertentu. Alergi adalah sebuah mekanisme imun, berbeda dengan intoleransi. Intoleransi juga hanya terjadi pada sistem pencernaan. Gejala alergi yang dirasakan bisa bervariasi, dari instan (di bawah 2 jam) hingga 3 hari setelah paparan.


Dokter Endah bilang, makanan prebiotik baik untuk penderita alergi. Prebiotik adalah makanan tinggi serat yang tidak dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Jadi begitu tiba di usus besar, makanan itu akan difermentasi oleh bakteri usus sebagai makanan untuk mikroba usus. Contoh makanan prebiotik adalah sayur, buah, gandum utuh, kacang polong, dan kacang merah.
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang tahan pemrosesan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan, contohnya Lactobacillus (Firmicutes) dan Bifidobacterium (Actinobacteria).


Jika bakteri probiotik dan mikrobiota usus mendapatkan makanan prebiotik yang cukup, maka akan memperbaiki massa tinja dan pergerakan usus, imunomodulasi (memodifikasi respon imun terhadap antigen dari dalam atau luar tubuh), dan menurunkan peradangan. Lalu, asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid) yang dihasilkan akan membantu mengendalikan lemak dan gula darah, meningkatkan penyerapan kalsium, menurunkan pH, mengurangi patogen dan metabolit bakteri toksik, mengatur sistem imun & inflamasi, hingga mengurangi risiko kanker kolon.
Ngomong-ngomong, prevalensi asma dan penyakit alergi lainnya menunjukkan tren yang terus naik sejak 1960. Nggak bisa dipungkiri, gaya hidup modern di perkotaan memiliki peran besar dalam perubahan negatif ini. Konsumsi makanan yang tinggi lemak namun rendah serat, konsep tempat tinggal urban, dan penggunaan antibiotik menyebabkan terjadinya perubahan keragaman mikroba komensal sehingga meningkatkan alergi makanan.


Bakteri komensal sendiri adalah makhluk hidup bersel satu yang hidup bersama organisme lain, namun tidak bersifat merugikan. Sebagai contoh, ada bakteri komensal di dalam mulut yang juga mendapatkan makanannya dari sisa-sisa makanan kita di mulut. Bakteri komensal ini akan memperebutkan makanan dengan bakteri patogen yang bersifat merugikan sehingga mulut terlindung dari penyakit karena bakteri patogen, seperti radang tenggorokan.
Alergi dan Kesehatan Jiwa
Kalau di atas kita sudah menyinggung soal sebab dan akibat alergi dari segi kesehatan fisik, sekarang kita masuk lebih dalam ke kesehatan jiwa.
Mbak Anastasia memaparkan, anak dengan alergi lebih rentan mengalami kecemasan tinggi bahkan gangguan kecemasan (anxiety disorder). Lho, apa hubungannya? Begini. Memiliki alergi akan membuat anak cemas dengan apa yang akan dia makan, minum, atau lakukan. Contoh, “Aku boleh nggak ya makan itu? Nanti kalo dimarahi mama/papa gimana?” Yang kalau terjadi terus menerus dan tidak ada penanganan, maka akan menjadi gangguan kecemasan. Anak juga rentan minder dan dikucilkan karena keterbatasan yang ia miliki.

Nggak cuma anak, orangtua juga akan kena dampaknya. Orangtua bisa cemas ketika anak tidak dalam pengawasannya, suami dan istri bisa cekcok soal kecermatan satu sama lain, liburan bukannya healing tapi malah pusing karena meributkan itinerary dengan anak, akhirnya berujung ke burnout. Kesehatan mental orangtua ikut terganggu.
Sayangnya, masih banyak orangtua di Indonesia yang belum menghadapi hal ini dengan benar. Ketika anak tantrum karena alerginya kambuh, atau saat apa yang dia mau tak bisa terkabul sehubungan dengan alerginya, sebagian orangtua masih mengatasinya dengan kekesalan, frustasi, hingga hukuman. Hasilnya, anak yang tantrum bukannya malah tenang, tapi malah makin rewel karena takut, frustasi, kecewa, atau sedih dengan sikap orangtuanya?
Lalu bagaimana sebaiknya orangtua menghadapi anak yang tantrum (karena alergi)? Solusinya adalah co-regulation, di mana badai sang anak dipertemukan dengan ketenangan orangtua.


Pertama-tama, kita sebagai (calon, ehem) orangtua perlu belajar mengelola emosi dengan rileks dan latihan pernafasan. Kedua, bantu anak menamai emosi-emosi yang sedang ia rasakan. “Kamu sedih ya? Marah ya nggak bisa main?” dan sebagainya. Dengan begitu, anak akan memahami perasaannya sendiri, merasa perasaannya tervalidasi dan perlahan mampu menenangkan dirinya. Validasi emosi ini penting banget untuk anak (dan semua orang, sebetulnya). Ketika dia merasa dirinya dimengerti, dipahami, dan bukannya terus-terus menerus disalah-salahkan, dia akan merasa lebih baik. Namanya juga masih anak kecil, dia sendiri belum paham emosi apa yang sedang dia rasakan dan bagaimana menghadapinya.
“Relasi yang hangat dari orangtua dan lingkungan memberikan rasa aman pada anak sehingga membantunya memulihkan diri dari alergi. Soalnya, alergi rentan terpicu oleh stres emosi-psikologis,” begitu sambung mbak Anastasia.

Prinsipnya adalah, “Connection Before Correction.” Jadi sebelum kita meluncurkan nasihat bertubi-tubi pada anak, bangun hubungan dulu dengannya. Pahami dia, ketahui apa maunya, validasi perasaannya. Contohnya, “Bapak sayang banget sama kamu, Nak. Karena sayang itulah, mohon maaf banget bapak nggak bisa izinin.” Atau bisa juga, “Mama ngerti banget kamu pengen ikut main sama temen-temen kamu. Nah, biar mainnya lebih seru, lain kali aja ya kalo mainnya nggak sama [sumber alergi].”
Gue tahu, gue harus memerhatikan kecukupan serat anak dari dini, bahkan sejak saat ini ketika ia masih berada di dalam kandungan. Cukup serat membuat anak tak hanya sehat, namun juga terhindar dari (gejala) alergi.
Oh ya, konsumsi serat harus diimbangi juga dengan konsumsi air putih karena serap menyerap air dari tubuh. Kalau makan buah, makan juga kulitnya karena mengandung lebih banyak serat. Gue sendiri sudah lama makan jeruk dengan kulit bagian dalamnya. Selamat hidup sehat dengan serat, travelearners!
Anakku dulu pas bayi alergi susu mas. Apalagi mereka kan ga asi yaaa. Nah, jadinya hrs minum susu khusus alergi, pregestimil waktu itu. Dan tiap kali sakit, pasti dokter anaknya selalu KSH probiotik dan menyarankan serat juga. Krn supaya ususnya sehat dan nutrisi tubuh terserap sempurna.
Aku memang membiasakan anak2 makan sayur. Wajib malah. Mau suka atau ga, tapi harus makan sayur. Untungnya mereka nurut. Dan Krn dipaksa pas awal, jadi ada bbrp sayuran yg mereka jadi doyan. Bayam , kangkung, itu yg paling mereka suka. Lainnya terpaksa tapi ttp dimakan 😄. Biar pas gede ga susah makannya…