SUPERTRIP #1 – SIKUNANG Part 11
Perjalanan dari Butterworth menuju Georgetown, Pulau Penang, dengan menggunakan ferry hanya memerlukan ongkos 1.2 RM saja. Itu pun udah bolak-balik, jadi hanya perlu membayar saat berangkat dari Butterworth ke Georgetown, sementara perjalanan dari Georgetown menuju Butterworth-nya gratis. Pembayaran dilakukan dengan menyerahkan uang kepada petugas di loket, yang akan memberikan koin-koin senilai 1.2 RM untuk dimasukkan ke dalam mesin sehingga kita bisa masuk. Tentu ada kembaliannya kok kalau kamu memberi uang lebih.
Sementara Aska menempati satu spot kosong di salah satu bangku panjang yang disediakan bagi penumpang kapal, gue lebih memilih untuk menghampiri jendela dan berdiri di situ. Gue meletakkan keril dan tas selempang di atas lantai sehingga bisa lebih rileks menikmati sapaan angin laut, birunya langit yang terefleksi oleh air laut, dan pemandangan kota Georgetown dari jauh yang sudah memiliki banyak gedung-gedung tinggi. Gedung tertingginya adalah KOMTAR (Komplek Tun Abdul Razak).
Begitu kapal berlabuh di Pelabuhan Weld Quay, Georgetown, gue dan Aska memutuskan untuk mencapai hostel kami dengan bus Rapid Penang dari tepat depan pelabuhan. Busnya memiliki desain dan interior yang sama dengan Rapid KL — maklum, dari satu perusahaan — hanya saja ukurannya lebih kecil. Ongkos dimasukkan ke dalam sebuah kotak di samping sopir dengan dilandasi keikhlasan dan ketulusan, karena sopirnya nggak akan kasih uang kembalian #pfft. Jadi sebaiknya sedia uang receh, atau bisa juga pakai kartu.
Dua bangku panjang yang berhadapan dikhususkan untuk mereka yang membutuhkan (lansia, ibu hamil dan menyusui, orang kurang upaya alias orang cacat), sementara kursi-kursi yang berbaris di belakangnya yang boleh ditempati oleh semua jenis penumpang — cowok, cewek, cabe-cabean, terong dicabein, janda kembang, ABG tua, kuntilanak, Harry Potter, demigod, dsb.

Rapid Penang bus, source: mypublictransport.com
Yang gue jadikan patokan adalah Masjid Kapitan Keling. Karena saat gue cek dengan Google Maps (sebelum melakukan traveling), lokasi hostel kami ini berada cukup dekat dengan masjid kondang tersebut. Nggak lama setelah berjalan menyusuri Lebuh Chulia, bus pun melalui sebuah masjid besar yang gue curigai sebagai Masjid Kapitan Keling. Namun baru beberapa menit kemudian — yang berarti sudah berjarak sekian ratus meter ke depan #pffft — gue baru memutuskan untuk berhenti dan turun. Tinggal tekan tombol di dekat pintu keluar, maka sopir akan memberhentikan bus di bus stop terdekat.
Jangan kira bus stop Rapid Penang ini kayak shelter Transjakarta, karena ternyata jauuuhhh lebih simpel dari itu. Hanya sebuah tiang dengan papan lingkaran bergambarkan logo Rapid Penang, tanpa tempat duduk, apalagi petugas dan tempat bernaung. Hanya segelintir yang memiliki wujud seperti layaknya sebuah halte. Mungkin karena trotoarnya juga nggak terlalu lebar, jalan rayanya juga segitu-gitu aja, tapi kotanya udah penuh sesak, jadi udah susah diapa-apain lagi.
Gue dan Aska berjalan dalam diam di bawah matahari Penang yang super terik. Ternyata Georgetown nggak bersih-bersih amat kok. Sepanjang jalan, gue melalui saluran got dengan air yang kotor kekuningan karena limbah rumah makan. Kami berkali-kali bertanya kepada warga lokal untuk memastikan arah menuju Lebuh Gereja 84. Nggak usah diceritain ya gimana detil perjalanan dan campur aduknya perasaan gue sore hari itu, karena tulisan ini mau gue fokuskan untuk review hostel tempat kami menginap: Couzi Couji Venture.
Bangunan mungil berlantai 3 itu rupanya terletak di ujung Lebuh Gereja. Lebuh Gereja masih berada dalam kawasan Little India-nya Georgetown, berbatasan dengan Lebuh King dan Lebuh Queen. Jadi cari saja salah satu dari kedua jalan itu, maka kamu akan menemukan Couzi Couji Venture dengan mudah. Atau kalau mau lebih gampang lagi, coba tanya warga lokal di mana St. George’s Church berada, karena lokasinya berada di persimpangan Lebuh Gereja.
Couzi Couji Venture ini gue pesan melalui Booking.com dengan harga hanya di kisaran Rp 70.000,00 saja untuk kamar tipe dormitori, atau setara 23 RM. Tergolong murah ya, padahal ini hari Sabtu loh. Pemesanan juga dilakukan tanpa kartu kredit! Tinggal sekali klik, isi data-data yang dibutuhkan, maka kamu sudah mendapat jaminan tempat tinggal selama di Georgetown, Penang. Nggak ada sarapan sih, tapi ada dispenser (air panas dan dingin — beneran dingin). Fasilitas wifi juga tersedia dengan koneksi yang cukup baik, password-nya “partytime” 😉
Kami datang disambut oleh seorang pemuda bule dengan rambut pirang yang dikucir, duduk di balik meja resepsionis. Ruangan itu menjadi satu dengan bar dan ruang nonton TV. Beberapa penghuni hostel — semuanya bule Barat — juga sedang asyik bersantai dan ngobrol ngibril di ruangan itu. Gue nggak menyangka staf hostelnya orang asing kayak gini. Namun setelah gue menyampaikan maksud kedatangan gue, si bule sempat mengkonfirmasikan dulu kamar yang akan kami tempati pada seorang pria chinese yang sedang duduk santai. Mungkin, si pria chinese itu adalah pemilik hostel yang sebenernya, dan si bule hanya bantu-bantu doang, entah untuk waktu berapa lama.
Setelah meminta paspor kami untuk pengisian administrasi, si bule mengantarkan kami naik ke lantai 2 melalui sebuah tangga kayu. Seluruh jenis alas kaki dilepas di bawah tangga. Ada 3 dorm di lantai 2 itu, yaitu dorm Drink, Drank, dan Drunk. Gue dan Aska ditempatkan di dorm yang berbeda, Drink dan Drank. Dari nama-nama kamarnya, password wifi-nya, keberadaan bar di lantai bawah, gue udah bisa merumuskan hostel macam apa yang akan gue inapi ini.
Ranjang gue ada di atas, tepat berada di sebelah kanan pintu masuk. Jarak antar pijakan yang satu dengan pijakan yang lain terbilang renggang untuk ukuran orang Asia dengan tinggi badan biasa-biasa saja kayak gue ini. Gue selalu kerepotan saat harus naik atau turun ranjang. Bahkan tangan gue sempat tergores kayu penopang ranjang karena gue nggak sadar kalau jarak antara pijakan terakhir dengan lantai masih cukup jauh, gue harus menggunakan ranjang di bawah sebagai pijakan tambahan. Kecuali tinggi badan kamu di atas 175 cm, gue kurang merekomendasikan hostel ini.
Kasur dan bantal dilapisi dengan sprei berwarna putih susu yang memberi sedikit rasa sejuk. Nggak tahu di dorm ini ada AC atau enggak, tapi gue masih merasa sedikit kepanasan. Ada fasilitas lampu tidur, colokan standar Malaysia, dan handuk. Dua kamar mandi terletak di lantai 1, sementara 1 kamar mandi ada di lantai 2 ini, masing-masing dilengkapi dengan wastafel. Kamar mandi di lantai 1 agak jorok, ada tisu-tisu yang dibuang begitu saja di lantai dan kloset. Di lantai 2 juga ada lounge dan meja komputer, nggak usah turun ke lantai 1 untuk berbaur dengan kebisingan.
Meskipun murah, tapi hostel ini nggak terlalu cocok buat gue. Terlalu banyak pelancong Barat dengan tubuh tinggi besar dan kekarnya. Aku kan minder, kakak. Hihihi. Satu sama lain seperti sudah saling kenal, meski sebenarnya mereka juga baru bertemu di sini. Jadi, mau ikutan gabung juga agak rikuh, karena gue adalah tipe orang yang lebih suka bergabung dengan forum kecil yang tenang. Yang paling gue nggak suka, pada malam harinya para penghuni hostel itu mengadakan sebuah pesta super berisik dengan musik diskotik yang menghentak dan seruan-seruan gila yang membahana — sampai dini hari.
Sisi positifnya, Couzi Couji Venture ini murah dan lokasinya sangat strategis. Berada di kawasan Little India (which means, dekat dengan objek wisata dan pusat kuliner), St. George’s Church, Masjid Kapitan Keling, Pinang Peranakan Mansion, Armenian Street, dan Khoo Kongsi Temple and Complex. Cocok buat kamu yang doyan nongkrong di bar atau penggila pesta yang mudah bergaul. Sori nggak bisa banyak foto-foto karena: (1) nggak sempet, dan (2) malu banyak orang di bar, hihihi.
[…] KL. Hostel murah banyak terdapat di kawasan Little India, seperti gue yang saat itu menginap di Couzi Couji Venture dengan tarif hanya 23 RM […]
[…] Keempat, hostelnya nyaman banget. Bersih, sejuk, dan nggak berisik. This is not a party hostel like Couzi Couji Venture in Georgetown, […]