
Aku sedang terbaring memejamkan mata di atas kerasnya bangku tunggu. Tak kuhiraukan hilir-mudik orang-orang dan para petugas sementara pelantang suara terus menggaungkan panggilan demi panggilan. Rasanya ngantuk dan capek banget, namun susah untuk tertidur lelap di tengah suasana riuh seperti itu.
Sudah lebih dari 24 jam aku tak mandi. Punggungku pun mendambakan empuknya kasur yang lapang sejak semalam.
Bukan, aku bukan sedang berada di bandara. Aku tak sedang menunggu jadwal penerbangan setelah semalaman bermalam di aula kedatangan. Malah, aku sedang berada di rumah sakit. Namun, siapa sangka momenku menjadi penunggu pasien di rumah sakit ternyata mampu membawa memori perjalanan-perjalananku di dalam bandara.
Menjadi Penunggu Pasien di Rumah Sakit
Bandara dan rumah sakit, keduanya sama-sama membuatku tak tidur nyenyak semalaman, tak mandi puluhan jam. Derak kursi roda dan ranjang-ranjang pasien serupa dengan derak roda koper yang bergulir diseret pemiliknya. Petugas yang memanggil pengunjung dan pasien berdasarkan nomor urutnya serupa dengan pengumuman penumpang yang menyuarakan nomor penerbangan dan gerbang yang digunakan, lengkap dengan bunyi, “Ting tung!”

Beberapa jam sebelumnya, aku menikmati pagiku dengan menyeruput secangkir kopi instan panas ditemani kudapan yang kubeli di convenience store yang berada di dalam rumah sakit. Persis seperti yang sering kulakukan di bandara! Ngopi-ngopi sembari menanti dengan rasa kantuk yang berat menggelayuti diri.
“Ngomong-ngomong, ngapain kamu tidur di bangku ruang tunggu rumah sakit, Nugs?”
Maret 2023, Ara diopname di RS Santo Yusup Bandung karena defisiensi zat besi yang terjadi di minggu ke-34 kehamilannya. Berbeda dengan rumah sakit sebelumnya di Yogyakarta di mana dia menjalani rawat inap di trimester pertama kehamilan, Santo Yusup rupanya cukup tegas urusan pembatasan penunggu pasien: hanya 1 orang. Ada satpam yang mengawasi, ada suster yang tak enggan menegur langsung.

Maka, ketika mama (mertua) datang berkunjung, aku tak boleh sama-sama berada di kamar rawat inap. Aku lalu berpindah-pindah di beberapa bagian rumah sakit untuk menemukan tempat di mana aku bisa beristirahat dengan membaringkan diri. Rencanaku untuk mandi sesampainya mengantarkan mama pun harus ditunda sampai jam besuk pada sore hari. Saat jam besuk itulah, aku bisa masuk kembali ke kamar rawat inap bersama mama.
Rumah Sakit sebagai Ajang Eksplorasi
Ada kesenangan yang aneh selama menjadi penunggu pasien di rumah sakit untuk Ara. Kedua rumah sakit sama-sama dilengkapi dengan kedai yang menjajakan kopi dan aneka makanan. Aku menikmati momen-momen ngopi dan bersantap di sana. Lelah, mengantuk, namun aku mengamati suasana yang berbeda di tempat yang tak biasa.
Agaknya aku ini menyukai tempat-tempat yang terintegrasi, di mana beragam bisnis dan kegiatan bersatu di bawah satu atap. Bandara, stasiun, dan rumah sakit adalah beberapa contoh di antaranya.


Selain itu, aku juga bisa mengamati desain interior, arsitektur, dan pemandangan rumah sakit. Beberapa rumah sakit menawarkan panorama yang memanjakan mata, seperti RS Panti Rapih di Yogyakarta yang menyuguhkan gagahnya Gunung Merapi tanpa terhalang gedung-gedung tinggi.
Serasa Staycation di Rumah Sakit
Baru kali ini aku mandi di rumah sakit saat menjadi penunggu pasien. Di rumah sakit sebelumnya nggak berani. Waktu itu di kamar kelas II (karena kelas I yang seharusnya sedang penuh). Ada 4 bed dengan 1 kamar mandi di dalam ruangan. Sementara kali ini ada 3 kamar mandi dengan shower air hangat untuk 3 bed di kamar kelas I. Yah, meskipun kamar mandinya berada di luar kamar inap sih.

Aku tuang shampoo ke atas kepala, membalurkan sabun cair ke sekujur badan, dan memulaskan sabun muka ke wajah. Aku puas-puasin mandi air hangat dengan pancuran, tak cemas mandiku terlalu lama. Setelah itu, badan dan pikiran rasanya segar, persis seperti momen usai mandi setelah baru saja check-in di hotel.
Dari pengalaman menjadi penunggu pasien untuk Ara, aku juga tahu bahwa makanan rumah sakit tak selalu buruk. Buatku, hampir semuanya tetap sedap disantap. Eh, kebetulan Ara sering nggak menghabiskan makanan atau ada menu yang kurang dia suka, akhirnya aku yang “bertanggung jawab” 😁

Kalau ada yang mengeluhkan betapa nggak enaknya makanan rumah sakit, kemungkinan karena ada bumbu-bumbu tertentu seperti garam yang dikurangi sehubungan dengan kondisi fisik sang pasien. Rumah sakit memang tidak melayani makanan sesuai selera kita.
Aku seperti sedang berada di “bandara” kehidupan, melakukan perpindahan “pesawat” (transfer) menuju “destinasi” yang baru, menunggu jadwal “penerbangan” berikutnya. Rumah sakit adalah titik perpindahanku dari suami menjadi seorang ayah. Di destinasi yang baru ini, aku akan bertemu dengan sosok-sosok baru yang kelak ikut menjalani perjalanan hidup bersamaku. Jadi, apakah kamu juga sedang berada di bandara kehidupan? Perpindahan apa yang sedang kamu jalankan?

Bahwasanya sebuah perjalanan adalah momen untuk mengukir pengalaman dan memetik pelajaran. Tidak berhenti berjalan, berarti tidak berhenti belajar. Let us keep learning by traveling~
Semangat ya Kak… Percaya Tuhan bersama Kak Nugie dan Ara… Perjalanan ini aman kok… #smile
Semoga Ara dimudahkan segala urusan menjelang kelahiran ini ya mas Nug. Kalian berdua sama2 hebat lah, saling support . Krn memang itu yang dibutuhkan dalam kondisi begini 👍.
Segala hal, mending diliat dari sisi positif ya mas. Kayak RS yang notabene membosankan, tapi kalo kita bisa bayangin sedang staycation, ya asik2 aja 😄. Itu juga yg aku lakuin kalo ada anakku yg opnam di RS.
Mas nugie juga jaga kesehatan, jangan sampe kalian berdua sama2 sakit ntr. Ga sabar aku pengen liat si baby twins
Amin amin, makasih banyak doanya mbak Fanny. Iya, syukurnya aku tetap menemukan hal yang bisa kunikmati selama menginap di RS hehe.
semoga Mbak Ara sehat selalu sampai debay lahir, ga sabar liatnya
kadang kalau kita menunggu sodara misalnya di rumah sakit, sampe ga sempet mikirin diri sendiri saking sibuknya, kadang wara wiri beli ini itu buat keperluan pasien. Yang penting sehat semua
Amin. Makasih, Ai.
[…] Baca juga: Bandara dan Rumah Sakit […]