Belum genap setengah hari di kantor, sekitar pukul 1 gue udah memutuskan buat cabut dan pulang ke kost. Gue udah nggak sabar buat segera packing dan berangkat menuju ke Wonosobo malam hari itu. Akhirnya, setelah kurang lebih tidur siang selama dua jam, gue mulai memasukkan perbekalan ke dalam keril 60 L yang gue sewa semalam dari sebuah toko alat-alat outdoor. Bersama dengan sebuah matras, sleeping bag, dan cover-bag, semuanya cukup dihargai dengan uang sebesar Rp 80.000,00 untuk satu kegiatan pendakian ini.
Gue sampai di Terminal Harjamukti Cirebon sekitar pukul tujuh malam. Turun di perempatan bypass, gue masih harus berjalan beberapa puluh meter untuk mencapai terminal. Cukup buat jadi pemanasan pertama! #pffft
Seorang pria paruh baya menyambut kedatangan gue yang selalu gagal menyembunyikan tampang polos ini. Dia menanyakan ke mana tujuan gue. Begitu mendapatkan jawaban, dia lantas menggiring gue masuk menuju sebuah loket di dalam terminal. Gue mengekor dengan patuh. Dia lantas memberikan selembar tiket bus patas Citra Adi Lancar dengan tujuan Purwokerto seharga Rp 90.000,00. Ketiadaan bus dengan jurusan Cirebon – Wonosobo membuat gue harus transit di Purwokerto terlebih dulu. Tahu gini, mending naik kereta ekonomi aja ke Purwokerto, bisa dapet kereta dengan harga di bawah Rp 50.000,00 dan sudah ber-AC. Salah banget gue nggak cari informasi akurat dulu.
Perjalanan menuju Purwokerto memakan waktu kurang lebih lima jam. Gue sampai di Terminal Purwokerto sekitar jam 00.30. Di luar dugaan, ternyata Terminal Purwokerto luas dan jauh lebih hidup dibanding terminal Tegal atau bahkan Cirebon. Kekhawatiran gue akan keamanan di Terminal Purwokerto pun hilang melihat masih banyaknya calon penumpang yang hilir mudik dan menempati sudut-sudut terminal — nggak jelas apakah lagi nunggu bus, nunggu jemputan, atau nunggu dilamar #eh
Gue masuk ke dalam bus Purwokerto – Semarang yang teronggok diam di salah satu sisi terminal. Nggak ada penumpang lain di dalam. Gue harus menunggu selama dua jam lebih hingga akhirnya bus berjalan dengan setiap kursi yang ditempati para penumpangnya. Selama menit-menit awal perjalanan, gue mencoba untuk tidur-tidur ayam, sekedar memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuh. Pasalnya, gue sama sekali nggak bisa tidur dari tadi. Ngantuk udah pake banget, mata udah makin pedes, tapi gue tetep nggak bisa tidur yang bener-bener tidur 😦
Perjalanan dari Purwokerto menuju Wonosobo ini melalui sebuah kota kecil bernama Banjarnegara, sebuah kota dataran tinggi yang bersih dan rapi, di mana trotoar yang lebar setia mengapit jalan-jalan kotanya yang mulus. Nggak banyak bangunan tua dengan arsitektur neo-klasik, tapi gue cukup tertarik dengan alun-alun kotanya. Kapan-kapan gue eksplor kota ini deh! 😀
Memasuki wilayah Kabupaten Wonosobo, mata dimanjakan dengan hamparan sawah yang hijau dan barisan pegunungan yang membayangi dari kejauhan. Cuaca pagi itu memang agak mendung, seiring dengan sensasi dingin yang perlahan meresap menembus kulit, namun gue tetap terpesona dengan keindahan panorama yang disajikan. Rasa kantuk itu buyar untuk sejenak. Gue baru sadar, gue sangat rindu dengan alam pegunungan.
Seperti layaknya kota-kota pegunungan yang lain, kota Wonosobo memiliki jalanan yang sempit dan labil — naik turun, berkelok-kelok, meliuk di antara tebing dan jurang. Hotel-hotel dan berbagai jenis penginapan berjajar agak berdesakan di sepanjang jalanan kota. Sebuah taman publik ditempatkan di pusat kota, tampak cukup ramai dengan warga kota yang duduk-duduk santai menikmati sejuknya udara pagi. Beberapa lainnya, para generasi muda, lebih memilih untuk berlari pagi menggunakan trotoar kota yang mulus sebagai jogging track-nya. Menarik juga buat dieksplor 😀
Jam setengah 6 pagi gue sampai di Terminal Wonosobo, terlambat setengah jam dari jadwal meeting point. Untungnya rombongan Jakarta juga belum pada dateng sih, baru ada bang Tigor yang berangkat dari Sidoarjo. Oh iya, perkenalkan — kami adalah Backstrip (Backpacker Stripping), sebuah komunitas one-day traveling yang gue bentuk melalui forum Backpacker Indonesia. Yang suka traveling namun sering terkendala masalah waktu, boleh banget lho gabung sama kita-kita. Bisa join di grup Facebook kita, tapi kita lebih cerewet di Whatsapp sebenernya 😀
Sambil menunggu kedatangan rombongan Jakarta, gue sempatkan diri dulu buat sarapan dan… ehem, boker. Hahaha. Thanks God Terminal Wonosobo memiliki fasilitas WC / kamar mandi yang bersih. Airnya seger banget! Aslinya sih gue mau mandi, tapi peralatan mandi gue ada di posisi paling bawah di dalam keril, males ngambilnya.
Rombongan datang sekitar satu jam kemudian. Baru pukul 8 pagi, setelah seluruh peserta sarapan, besih-bersih, dan memesan tiket balik ke Jakarta, kami mulai trip kami untuk dua hari ini.
Agenda pertama adalah mengunjungi Telaga Warna. Kami menuju objek wisata tersebut menggunakan sebuah bus sejenis metro mini yang kami carter dengan tarif Rp 1.000.000,00. Itu berarti satu orang membayar iuran sebesar Rp 35.000,00. Sekedar informasi untuk kalian, angkutan ke Dieng tidak ada di terminal Wonosobo. Kalau kamu mau ke Dieng dengan angkutan umum, naiklah dari wilayah kota di dekat stasiun. Kalau turun di Terminal Wonosobo, ya harus mau membayar ojek atau carter bus kayak kami ini.
Gue yang sebenarnya berniat untuk tidur (lagi) di dalam bus, akhirnya memutuskan untuk membuka mata saat mesin bus terdengar meraung-raung kepayahan, berjuang melawan kondisi jalanan yang menantang. Panorama yang tersaji dari balik jendela kembali melenyapkan rasa kantuk gue. Petak-petak lahan persawahan terbentang luas memenuhi lembah dan kaki pegunungan. Bus merayap berkelok-kelok di antara kungkungan pegunungan yang perkasa, mengingatkan gue dengan perjalanan di Tawangmangu, Solo.
Menjelang gerbang masuk Telaga Warna, para penjual masker menawarkan komoditi dagangannya kepada setiap pengunjung yang hendak masuk ke dalam. Harga untuk tiket terusan Dieng adalah Rp 20.000,00. Kami hanya masuk ke dalam Telaga Warna, cukup membayar Rp 2.000,00 per orang. Tempat parkir nyaris penuh, pengunjung cukup berjubel di dalam.
Itu dia Telaga Warna, memukau pengunjung dengan airnya yang berwarna kehijauan, serasi dengan pegunungan dan pepohonan yang berkerumun mengelilinginya. Gue pertama kali tahu tempat ini dari blog-nya bang Hendri. Saat itu gue sangat terpesona dan lantas menjadikan Telaga Warna (dan juga Sikunir) sebagai salah satu dari seabrek wishlist gue. Sekarang, setelah gue akhirnya berhasil mewujudkan salah satu daftar impian itu, gue cuma bisa terkagum dalam diam. Airnya hijau mempesona, memanjakan mata setiap pengunjung yang terpaku menatapnya. Pegunungan yang hijau seakan menjadi benteng alami yang melindungi dan mempercantik panorama telaga ini.
Rombongan terbagi menjadi beberapa kelompok kecil. Gue dan temen-temen berjalan mengelilingi telaga, sambil sesekali berhenti untuk mengabadikan momen kebersamaan dan keindahan telaga sekaligus. Kami sempat melalui jalanan yang sangat basah, membuat alas-alas kaki kami basah dan berlapis lumpur. Akhirnya saat tengah hari, kami mengakhiri kunjungan kami di Telaga Warna ini dan bergerak menuju basecamp untuk repacking dan memulai pendakian kami ke puncak Gunung Prau. Agenda ke Kawah Sikidang dan Candi Arjuna terpaksa ditunda hingga esok hari seusai pendakian.
Bersambung.
Angkutan umum ke Dieng itu nyegatnya ya di deket alun-alun atau nggak di Pasar Garung (Jl. raya Dieng km 17). Selamat berkunjung ke Dieng. Semoga nggak hujan, nggak banyak kabut, dan nggak terlalu dingin, hahaha.
Nggak hujan sama sekali kok. Syukur bgt Sabtu-Senin kemarin cerah, cuma sempet mendung. Kabut iya tebel.
mantap bro
akhirnya kesampaian juga kesana
Yoi, bang! 😀
Mantap jd pengen kesana
Gw suka miris kalo liat lereng2 bukit dijadikan perkebunan ketang di dieng ini. Takut nya longsor dan ngak ada daerah resapan 😦
“Ketang” tuh apa ya, mas? 😐
[…] jalanan sempit yang berliku dengan panorama alam pegunungan di sisi kanan, mengingatkanku dengan rute menuju Dieng atau Tawangmangu di Jawa […]