Tepat pukul 04.00 subuh itu, alarm berdering nyaring membuyarkan keteduhan fajar. Gue bergegas bangun mengalahkan rasa kantuk yang masih dengan kuat menggelayut di kelopak mata. Tidak berapa lama setelah membasuh muka dan menggosok gigi, gue dan Sony — salah satu teman yang juga masih bertahan di Bandung di tengah long weekend ini — berangkat menuju salah satu destinasi wisata alternatif di kota Bandung: Bukit Moko.
Kami melesat menerabas dinginnya udara kota Bandung yang masih lengang pagi itu. Sebentar kemudian setelah melalui Jembatan Layang Pasupati, kami tiba di Jalan Surapati yang menghubungkan pusat kota Bandung dengan kawasan Bandung Timur. Pada sebuah persimpangan sebelum Terminal Cicaheum, kami berbelok ke kiri, masuk ke Jalan Padasuka.
Perjalanan kami lanjutkan dengan terus berkendara mengikuti arah jalan yang semakin lama semakin menanjak tajam. Sony mulai sesekali menggunakan gigi satu agar motor tetap tangguh menghadapi medan. Entah berapa lama kami bergumul dengan jalanan yang naik turun dan berkelok-kelok itu, mungkin sekitar setengah jam. Pengunjung yang datang menggunakan mobil harus ekstra berhati-hati agar tidak jatuh terperosok ke dalam jurang yang menganga di satu sisi jalan.
Sambil terus berkendara, kami menikmati panorama indah kota Bandung dari ketinggian yang masih diselimuti kegelapan. Sampai satu titik, saat kami sudah tidak tahan lagi, kami memutuskan untuk berhenti dan mengambil foto. Tergoda dengan indahnya kerlip lampu-lampu kota.
Kami masih terus berkendara hingga melewati Caringin Tilu dan deretan warung-warung makan. Beberapa saat kemudian kami sampai di sebuah warung dengan beberapa sepeda motor dan sebuah mobil yang terparkir di depannya. Mungkin ini ya tempatnya, pikir kami. Untuk memastikan, kami bertanya pada seorang remaja laki-laki yang bertugas menjaga parkir. Dia mengiyakan. Kami lalu memparkirkan sepeda motor karena kendaraan pribadi belum diperbolehkan naik ke tempat parkir atas yang lebih dekat dengan puncak. Portalnya masih ditutup. Jadi, untuk menuju puncak bukit, kami berjalan kaki melalui jalanan berbatu yang menanjak tajam sejauh 300an meter. Lumayan banget buat pemanasan naik gunung!
Mengabaikan Warung Daweung dan bangku-bangku kayu yang dtempatkan menghadap panorama kota, kami terus melangkah hingga akhirnya tiba di Puncak Bintang melalui jalan pintas. Alih-alih melalui pintu masuk resmi yang dijaga oleh sebuah pos, kami berjalan melalui ladang warga. Sony lalu merelakan telapak tangannya sebagai tempat kaki gue berpijak sehingga gue bisa naik ke Puncak Bintang. Gue ganti mengulurkan tangan dan membantunya naik.
Lho, jadi namanya Bukit Moko atau Bukit Bintang ya? Nggak tahu deh. Mungkin nama aslinya adalah Bukit Moko, lalu dikenal dengan nama Bukit Bintang untuk menarik minat wisatawan. Bisa jadi, ‘kan? Bisa jadi!
Saat itu, bukit sedang digunakan oleh mahasiswa-mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung). Sementara Sony berkeliling untuk mengasah hobi fotografi makro-nya dengan smartphone andalan, gue hanya duduk kalem sok kegantengan pada salah satu bangku kayu yang disediakan. Mengamati gumpalan kabut yang merayap mundur kembali ke pegunungan. Menunggu momen fajar merekah dengan goresan warna-warna jingga atau magenta yang memoles langit.
Sayang, harapan gue nggak terkabul. Sang surya muncul dengan sembunyi-sembunyi di balik bayang-bayang masa lalu awan mendung. Gue cuma bisa mendesah dengan tabah.
Entah kenapa gue selalu gagal mendapatkan momen matahari terbit. Nggak di Gunung Prau, nggak di Gunung Padang, di Bukit Moko ini pun gue gagal. Padahal gue selalu dapet momen sunset lho. Jadi apakah gue tidak layak untuk menjadi seorang pemburu fajar? Atau apakah takdir gue untuk menjadi seorang pemburu senja? #EdisiSilet
Sekitar pukul tujuh pagi, kami memutuskan untuk kembali ke peradaban. Kali ini melalui jalan yang seharusnya, bukan melalui jalan pintas. Sampai di depan pos pintu masuk, kami bertemu dengan seorang ibu-ibu berhijab yang tampak sedang agak kebingungan. Sebuah kamera mirrorless tergantung di lehernya.
“Mau ke Patahan Lembang nggak? Saya te mau ke sana tapi takut kalau sendirian,” kata ibu itu.
Sony meminta pendapatku, gue pun mengiyakan tawaran itu. Gue pikir bukan ide yang buruk, dan kami juga masih memiliki banyak waktu.
“Ini peserta camping atau pengunjung?” celetuk bapak penjaga pos pintu masuk.
“Pengunjung,” jawab kami polos.
“Bayar dulu Rp 8.000,00,” sahut bapak itu dengan kejam, tak peduli dengan wajah-wajah lugu kami.
Puji Tuhan, ibu-ibu yang mengajak kami itu lalu berbaik hati untuk membayarkan ongkos kami. Travelers luck. Rejeki anak soleh.
Jadi, saudara-saudara, kalau nggak rela bayar tiket masuk seharga Rp 8.000,00, lebih baik kalian masuk lewat jalan pintas saja seperti kami. Atau, cukupkan langkah kalian sampai di depan Warung Daweung. Di situ juga kita sudah bisa menikmati keindahan panorama kota Bandung 180 derajat dari ketinggian.
Ibu itu memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Uut. Hobi fotografi, asli Bandung, tinggal di Jakarta, dan sudah pensiun. Kami bertiga lalu berjalan melalui jalan setapak yang berlumpur, kadang berbatu-batu, di tengah hutan pohon pinus yang tumbuh dengan rapatnya. Daun-daun pohon pinus yang berguguran dan menumpuk menutupi tanah sedikit membantu kami untuk tetap melangkah dengan stabil. Sesekali kami berhenti untuk beristirahat atau saat bu Uut menemukan objek menarik untuk difoto — sisa-sisa embun pagi di atas dedaunan, laba-laba yang membuat sarangnya di antara dedaunan, atau pemandangan indah dari ketinggian yang menggetarkan rasa kagum.
Kami berjalan selama kurang lebih 45 menit. Celana piyama gue yang tadinya bersih mulai ternoda oleh cipratan lumpur. Pun dengan alas sandal gunung yang tertutup oleh lumpur tebal dan dedaunan yang menempel. Bu Uut sempat terpeleset beberapa kali. Puji Tuhan, gue nyaris terpeleset pun enggak. Padahal, bagian belakang sandal kiri gue udah jebol. Lalu di tengah perjalanan, bagian samping sandal kanan gue ikut jebol. Kompak jebol dua-duanya! Maklum, sandal gunung abal-abal yang dibeli dari pasar di Jakarta. Namun Dia tidak membiarkanku terjatuh, menguatkan kedua kaki ini untuk menapak dengan teguh.
Terus mengikuti petunjuk yang diberikan papan jalan, kami tiba di tempat tujuan. Patahan Lembang-nya sendiri nggak terlalu menarik buat gue — sebuah tebing dengan dinding berbatu-batu besar. Namun dari tempat kami berdiri, kami dapat menikmati panorama indah yang memadukan petak-petak sawah, rumah-rumah warga desa, dan bentangan gunung-gunung berselimut kabut yang berdiri dengan gagah.
Gue menemukan sebuah batu besar di tepi tebing, menjadi spot sempurna untuk berfoto-foto sok ganteng, atau untuk duduk sok galau–galauan sambil menikmati pemandangan yang terbentang luas.
Setelah puas berfoto-foto, kami buru-buru berbalik turun karena masing-masing masih memiliki keperluan yang harus diselesaikan. Dalam perjalanan, kami bertemu dengan dua orang pemuda yang rupanya juga sedang dalam perjalanan pulang menuju Warung Bandrek. Ya, ternyata kawasan Bukit Moko ini pun terhubung dengan Tebing Keraton. Jika mau, kamu bisa trekking sejauh sekitar 7 kilometer untuk sampai ke objek wisata yang sedang fenomenal itu.
Sampai di bawah, gue dan Sony memilih untuk sarapan lebih dulu di sebuah warung ala kadarnya, dengan menu ala kadarnya. Sepiring mie instant goreng telor dan secangkir kopi itu dihargai dengan Rp 12.000,00. Setelah selesai dan sejenak beristirahat, kami lalu berkendara pulang setelah lebih dulu membayar biaya parkir sebesar Rp 5.000,00.
Yah, hari ini gue memang gagal untuk mendapatkan momen sunrise. Boro-boro sunrise penuh, sekedar guratan-guratan samar keemasan aja nggak ada. Tapi, gue tetep menikmati petualangan hari ini. Bisa berkunjung ke tempat-tempat baru, bisa mendapat seorang kawan baru.
“It’s not a matter of destination, it’s a matter of learning.
Let’s learning by traveling…”
W-wow, Sesar Lembang. Tebing yang setiap tahunnya bergerak sekitar 5mm.
Suka dengan fotonya. Soalnya yang diambil itu sepertinya benar-benar sisi “patah”-nya. Ternyata bentuknya seperti itu :hehe.
Terima kasih, masbrooo. Semoga terhibur ya…
Aku masih penasaran sama patahan Lembang. Itu bentuknya seperti tebing batu tinggi gitu atau gimana?
Iya, kayak tebing batu gitu. Aku nggak bisa ambil foto secara keseluruhan karena medannya sempit bgt.
Belum pernah kesini
Ke situ dong 🙂
aku kok kangen ya jalan2 mendaki2 bukit kaya gini…
Asik lho, mas. Bisa bikin betis dan bokong kenceng 😀
saya suka barisan pohon-pohon cemaranya…
Eh itu pohon cemara ya? Aku nggak terlalu paham jenis pepohonan sih 😀
itu bukit bintang masuknya darimana? deket sama moko? btw itu saya gapernah cerita yang mapala ui bang, salah orang kali bang hahaha
Bukit Bintang itu di Moko, bro. Dari Warung Daweung naik dikit lagi.
Eh masak sih? Yg acaranya di Taman Nasional gitu. Tapi bisa aja gue salah orang sih, saking banyaknya blogger haha.
Eh iyaaa. Setelah gue cek ternyata emang salah orang 😀
Duh malu gue.
aku belum ke bukit moko jadi blm SAH mengaulimu ??? #Jawabdek
Nggak bisa, mas. Nggak bisa. Harus naik ke Moko dulu baru sah!
Bukit Moko, Caringin Tilu checked
Patahan Lembang, belum.
Bandung ngga pernah bosan bikin kita jatuh cinta
Haha jadi blogwalking gini xD
Hahaha. Bandung sama Jogja ada satu kesamaan menurut gue: selalu ada yg baru. Habis ini ngetren, nanti ada lagi.
Makasih sudah blogwalking 😀
Kalau menurut gue pribadi sih terlepas dari destinasi dan attraction apapun yang ngetren, gue tetep suka apa adanya dua kota itu, yang indah dengan sederhana. Sah!!! xD
Agreed!
[…] Baca juga: Sudah Sah ke Bukit Moko dan Patahan Lembang […]
bagi gue, Indah kalanya berada di bukit moko itu malam hari.. menutup senja menyambut citylight. rasanya lepas beban, rasanya lepas lelah. keren abis city light nya..
Bener. Momen sunset itu pas banget untuk berkontemplasi 🙂
jatuh cinta sama tebing keratonnya, semoga bisa ke bukit mokonya sama curug malelanya 🙂
nice share kang^^
Amin. Sama2 🙂
nice trip, joyful adventure.. teruskan karena akan banyak lagi pengalaman yang bakal ditemukan, semoga nanti kita bisa berkolaborasi keluar masuk hutan, naik turun perbukitan, menyusuri sungai dan pantai…
jangan lupa teruslah menulis agar bisa berbagi apa yang telah terjadi
Makasih sudah mampir, kang. Hahaha, berangkaaattt!!! Jelajah Indonesia dan dunia 😀
Klo dateng dari arah Jakarta. Enakan nya ke Bukit Moko baru Tebing Karaton abis itu Curug Malela apa gmana ya bro? 😀😀😀 trs lewat tol apa ya. Pasteur apa Kopo?
rencana mau ksana niy akhir bulan ini…
Kalau dari Jakarta, enaknya ke Curug Malela dulu, kak. Letaknya ada di Padalarang, di antara Bandung dan Jakarta. Atau bisa juga dialihkan sebagai destinasi terakhir sekalian balik ke Jakarta.
Ke Bukit Moko dulu aja, mbak. Keluar tol Cileunyi. Terus sambung ke Bukit Keraton.
menurut gw ke curug malela itu bisa seharian krn perjalanannya lumayan jauh.. belum lagi kita harus jalan kaki ke curug nya dari penitipan sepeda berjarak 3 km .. dan jalannya ngga mulus brur..
Iya memang jauh, bisa seharian. Berangkat pagi, pulang malem. Tapi kan bukan itu yg ditanyakan 🙂
wah saya mau tanya nih. jadi dari warung daweung ke bukit moko itu harus naik lagi lewat hutan pinus atau begimana ya?
Enggak, kak. Cuma naik dikit. Katakanlah, Warung Daweung di lantai 1, bukitnya di lantai 2.
nitip pesen, kalo mau moto2 selfie @keraton ato @moko, tolong jangan nyampah.. T__T
puntung rokok & plastik lolipop itu sampah..
Terima kasih atas pesannya, kang 🙂
Selalu sih harusnya dimana pun ga boleh buang sampah. Be responsible traveler.
ihiiyyy ke bukit moko juga ya. Aku belum ke patahannya itu..
Eaaa komentarnya masuk spam lagi 😀
Iya, bang. Meski nggak dapet sunrise kece.
Bukit mokonya keren, tapi hati-hati jangan terjebak oleh tukang parkir yang memeras anda. Jika dia meminta uang parkir mobil 20 ribu atau lebih, tolak saja dan bilang harga tsb tidak masuk akal. 10 ribu juga udah kemahalan
abang, eneng mau dong di temenin ke sana :v
Ayok, neng. Ikut abang :))
cius ini abang, udah pingin ngetrip -_- ,
Lah ayok. Abang juga udah siap.
abang, maaf aku mau tanya lagi, ini rencana kan aku mau kesana tanggal 14 oct besok sama temen-temen. kalau mau kesana mampir ke dusun bambu ga cukup ya waktunya, aku mau coba ke floating market dl baru ke moko. menurut anda bagaimana ? oya satu lagi, aku mau nail elf kapasitas 15 seater apakah bisa naik moko, harus naik ojek apa ngga ke atasnya? 😀
Thanks abang ijo
Halo.
Bukit Moko pas dinikmati dari subuh sampai sunrise atau dari sunset sampai malam. Pagi jelang siang sampai jelang sore bisa ke Dusun Bambu sama Floating Market dulu.
Mm, elf cukup, tapi hati2 ya. Jalannya sempit.
bang, naiknya harus pake ojek ya ??? atau bisa naik mobil sampe atas bang ??? mohon info ya, makasih
Naik mobil sampai parkiran, terus tinggal jalan dikit ke puncak.
nice pic, tapi itu pohon pinus kang makanya yang diambil juga bukan getah karet tapi getah pinus :p
Ah, iyaaaaaa hahaha. Maklum, nggak ahli soal perpohonan 😀
Kang mau tanya disini kita bisa diri in tenda apa ngga? Kalo bisa kena biaya brp yaa
Bisa, bro. Aku belum cerita ya di situ lagi ada mahasiswa kampus yg lagi pada camping? Kemungkinan Rp 8.000,00 buat biaya masuk.
[…] pagi. Kalo lo sampai di Bandung subuh-subuh, lo bisa langsung ngacir ke Tebing Keraton di Dago atau Bukit Moko (Bukit Bintang) buat berburu sunrise atau menikmati pemandangan kabut menelusup di antara […]
[…] menikmati pemandangan dari ketinggian, baik tempat alami maupun buatan. Contohnya adalah kawasan Bukit Moko / Bukit Bintang, Dago Atas, dan Ciumbuleuit. Untuk bangunan tingginya, contohnya adalah rooftop […]