Dering alarm ponsel membuyarkan keteduhan tidur gue pada hari Sabtu itu. Baru pukul 2 pagi, tapi gue sudah harus bangun dan bersiap-siap. Mas Adi, rekan dari Jakarta yang menginap sejak semalam, pun harus gue bangunin dulu. Melawan rasa kantuk yang masih membayang di pelupuk mata, gue menyeret tubuh menuju kamar mandi dan mengguyur air dingin membasahi muka. Sebentar kemudian, kami berdua sudah berjalan kaki di tengah pagi buta yang sunyi menuju jalan raya yang letaknya nggak jauh dari kost.
Di depan Hotel Vio tersebut, kami betemu dengan Jabbar, rekan kami yang lain yang sedang berada di Bandung untuk urusan pekerjaan. Yak! Sang trio sudah kembali dipertemukan. Kami kemudian menyetop sebuah taksi yang melintas.
“Ke Taman Hutan Raya, Pak. Tebing Keraton,” kata gue memberitahukan destinasi. Sejenak pak sopir tampak agak kebingungan. Barulah saat kami katakan Dago Pakar, dia akhirnya paham. Rupanya istilah “Taman Hutan Raya Juanda” justru tidak populer di kalangan warga lokal, padahal itu adalah nama resminya.
Taksi pun menderu, melaju melalui Jalanan Pasteur yang masih sayu subuh itu. Naik ke atas Jembatan Layang Pasupati, taksi kemudian berbelok ke kiri, turun ke Jalan Tamansari yang sepi. Kami melaju tanpa hambatan. Padahal saat jam-jam sibuk, perjalanan Pasteur – Tamansari saja akan menghabiskan waktu setengah jam bahkan lebih!
Selama perjalanan, gue terus membaca artikel yang berisi panduan arah menuju Tebing Keraton dari blog PergiDulu. “Cik Susan, makasyiiihhh. Blog kamu sangat membantu!!!”
Sampai di Simpang Dago, kami berbelok ke kiri. Jalan teruuuuuusss sampai mencapai Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda (Dago Pakar). Ada di Maps kok. Kami lalu berhenti di Jalan Bukit Pakar Utara.
Portal masih ditutup, kendaraan tidak diperbolehkan masuk dan naik ke atas sebelum pukul 05.00. Tapi karena kami mau jalan kaki, jadi ya kami boleh-boleh aja naik ke atas. Berbekal petunjuk arah dari akang penjaga pos dan sinar seadanya dari senter, kami melangkah dengan penuh percaya diri menuju Tebing Keraton.
Kami bertiga berjalan menembus kegelapan dan keheningan melalui jalan sempit yang diapit oleh rumah-rumah besar dan villa-villa mewah. Momen paling menjengkelkan adalah saat kami melewati sekumpulan villa-villa besar yang masing-masing dikawal oleh anjing-anjing penjaga. Gonggongan mereka semua langsung merusak suasana fajar yang tenang. Beberapa bahkan tampak siap mengoyak pintu gerbangnya dengan deretan taring tajamnya untuk memburu kami! Syukurlah nggak ada satu anjing pun yang berhasil lepas dari kungkungan rumahnya. Kami melanjutkan perjalanan dengan damai.
Jalur berjalan kaki menuju Tebing Keraton rupanya cukup berat. Kami berjalan kepayahan melalui jalanan yang menanjak tajam ditemani gugusan pohon-pohon hutan raya di sisi kedua sisi. Nafas gue mulai sesak, tapi gue paksakan untuk terus berjalan sambil mengatur nafas dan mengencerkan dahak.
Setelah melalui deretan villa mewah dan hutan raya, kami melewati Warung Bandrek yang biasa dijadikan patokan oleh mereka yang ingin menuju Tebing Keraton. Dari Warung Bandrek yang lengang, kami masih terus berjalan terengah-engah hingga bertemu dengan sebuah perkampungan kecil.
“Kok masuk kampung? Kita nggak nyasar, ‘kan?” batin gue ragu. Dari blog-blog yang gue baca, nggak ada yang menyebutkan adanya perkampungan kecil ini.
Tapi rupanya kami memang berada di jalan yang benar. Di salah satu sudut jalan kampung, berdiri sebuah papan kayu miring bertuliskan, “Tebing Keraton” yang — syukurnya — tetap dapat kami baca dalam suasana remang-remang saat itu. Kami berbelok ke kiri sesuai petunjuk papan. Beberapa saat kemudian, kami pun tiba di pos masuk objek wisata Tebing Keraton.
Horeee, sudah sampai!!! Perjalanan sekitar 7-8 kilometer ini kami tempuh dalam waktu satu setengah jam. Jadi kami tiba di Tebing Keraton pukul setengah lima pagi. Eh, kami udah jalan cepat lho yaaa. Nggak pake selfie di tengah jalan, nggak pake nyasar atau muter-muter, juga nggak pake mampir ngombe di Warung Bandrek.
Sebelum masuk, Jabbar dan mas Adi minta izin untuk menunaikan ibadah sholat subuh dulu di musholla kecil di samping loket. “Airnya dingin bangeeettt,” cerita Jabbar saat udah selesai.
Kami adalah pengunjung pertama Tebing Keraton pagi itu. Barulah saat Jabbar dan mas Adi sholat, grup kedua datang berisi sekelompok muda-mudi ibukota yang datang ke Bandung untuk berlibur. Tiket masuk Tebing Keraton sendiri adalah Rp 11.000,00.
Menuju titik inti objek wisata Tebing Keraton, kami bertiga berjalan melalui jalan setapak yang sudah dirapikan. Langit masih gelap kala itu, belum ada tanda-tanda terbitnya matahari. Gue akhirnya meringkuk kedinginan di atas salah satu batu besar yang ada di situ. Bukan hanya hawa Tebing Keraton yang memang dingin, tapi juga berangin!
Perlahan, langit subuh mulai merekah. Berkas-berkas cahaya fajar mengusir kegelapan sedikit demi sedikit. Ketika goresan-goresan jingga itu mulai tampak samar dan grup-grup lain mulai berdatangan, kami mencoba mencari titik yang lebih baik untuk mendapatkan momen matahari terbit di Tebing Keraton. Rupanya, Tebing Keraton ini nggak menghadap arah timur, tapi… barat laut. Jadi mungkin lebih pas untuk momen senja. Untuk sunrise, kayaknya Bukit Bintang adalah titik terbaik di kota Bandung.
Sayang, panorama fajar di titik yang kami tuju terhalang oleh perbukitan, padahal sudah mengarah ke arah timur. Jadi kami kembali ke arena utama Tebing Keraton, berbaur dengan puluhan pengunjung lain. Berdesak-desakan di bibir tebing yang sempit. Berebut tempat untuk memfoto dan berfoto. Sirna sudah ketenangan itu.
Langit fajar yang semula jernih tanpa sejumput awan sekali pun, pelan-pelan berubah muram saat kapas-kapas kelabu itu menyelimuti wajahnya satu per satu. Pendar kemerahan itu tak mampu tersebar dengan sempurna. Di situ kadang saya merasa sedih…
Namun, panorama yang disajikan tetap menawan. Seenggaknya, jauh lebih baik daripada dengan kunjungan gue ke Bukit Moko beberapa minggu sebelumnya saat langit sepenuhnya tertutup awan tebal.
Tebing Keraton tidak menawarkan pemandangan kota Bandung dari ketinggian seperti di Bukit Moko atau Puncak Ciumbeuleuit. Di bawah sana, terbentang hamparan lembah hijau yang dikungkung dengan gunung dan perbukitan. Kabut putih merayap dengan hati-hati, menyeruak dari pepohonan lalu menguap begitu saja ke udara.
Jadi, gue tetap menikmati kunjungan gue ke Tebing Keraton ini.
Menjelang pukul 07.00 pagi saat keramaian sudah tak tertahankan, kami bergerak turun setelah sebelumnya sarapan seadanya di salah satu warung yang berjajar di samping pos pintu masuk. Tapi jujur, mungkin kami yang salah pilih warung, mie goreng pesenan gue belum dimasak dengan cukup matang, padahal harganya udah cukup mahal. Sepiring mie instan goreng, segelas kopi, dan 2 biji gorengan ditebus dengan harga belasan ribu rupiah.
Sebetulnya, kami udah siap untuk berjalan kaki penuh hingga kembali sampai di pos Dago Pakar. Namun, puji Tuhan, belum sampai setengah jalan, kami ditawari tumpangan oleh seorang pengunjung. Seorang pemuda keturunan Tiongkok, mengendarai mobil bersama pacar dan kedua temannya yang lain.
“Oh, cowok berjaket oranye yang tadi,” kata gue dalam hati, mengingatnya dengan pasti karena kami sempat beberapa kali berpapasan dengannya saat di berada di tebing. Bahkan dia ada dalam salah satu foto. Gara-garanya, saat gue mau mengambil foto pemandangan, tiba-tiba dia nongol di situ dan ikut-ikut ambil foto. Ya udah, daripada harus nunggu-nunggu sepi lagi, mending gue foto dia aja sekalian.
Tapi dia bener-bener baik, sampai rela berhenti di pinggir jalan menunggu kami tiba di tempatnya. Entah siapa di antara mereka yang paling dulu berinisiatif untuk memberikan kami tumpangan.
Sepanjang perjalanan turun, kami sedikit berkenalan satu sama lain. Nggak banyak, dan nggak menyentuh hal-hal personal. Sekedar tahu dari mana asalnya, ada keperluan apa di Bandung, menginap di mana, atau habis ini mau ngapain. Nama aja nggak saling kasih tahu, hihihi. Dalam perjalanan turun juga, kami berpapasan dengan para peserta sebuah kegiatan bersepeda yang diadakan hari itu.
Tiba di Terminal Dago, kami berpisah karena mereka akan kembali ke penginapan di dekat terminal. Gue, Jabbar, dan mas Adi sedikit melanjutkan petualangan kecil kami di Bandung.
Terima kasih ya, mas!
Baca juga: Sudah Sah ke Bukit Moko dan Patahan Lembang
Dateng di hari kerja kayaknya lebih sepi ya?
Iya kayaknya, mas.
sama aja :p aku datang ke tebing keraton ini pas hari kerja, mau foto tetep ngantri juga euy~ Banyak yang pacaran disini hahah 😀 saking populernya sih.
Wih ada mas Fahmi!
halo nugie! 😀
Lama nggak main, mas 😀
Breathtaking panorama. Meskipun yah, ramai… tapi namanya tempat wisata ya harus biasa dengan ramai, sih :hehe.
Ini lokasinya dekat dengan Sesar Lembang itu ya, Bro?
Wah, makasih udah dibilang “breath-taking”.
Errr, iya bisa tembus juga dari Sesar Lembang. Lokasinya ada di Dago, Bandung Utara.
itu jalan 7-8 kilo tuh semuanya jalan yg udah kayak tangga2 yg di foto apa jalannya tanah nug?
Ada jalan beraspal, ada juga yg masih berbatu-batu, kak. Kalau jalan tangga cuma ada pas udah sampai di Tebing Keraton.
Yang indah dari perjalanan itu, selain destinasi adalah bertemu orang2 baik ya Mas..Tumben kayaknya Taman Juanda sepi…
Betul sekali, mbak. Bertemu dengan orang-orang baru 😀
Waktu itu nggak masuk ke Taman Ir. H. Juanda, tapi lagi ada acara sepedaan.
Oh itu toh tebing keraton, dari kemarin2 adik saya kepengen banget kesana hihii.. kalau lagi free kesana aaah 🙂
Yok yok ke sana. Tinggal di Bandung?
Bukan, di Bekasi hihihi .. bulan lalu baru ke bandung … nanti deh kalau ke bandung lagi mampir ke tebing keraton. thx infonya ya 🙂
Bekasi deket, bisa atur ke Bandung kapan pun km mau.
Sama-sama 🙂
heheheh 😀 Iyaaakk
jadi pengen ke sana 😀
Hayuk!
tanggal 21 rencana ke sana ma anak2 kantor. hehe. btw, ga foto di ujung batu, memandangi lembah, trus difoto dari belakang kayak yg sering nongol di instagram itu? 😀
Nggak, mas. Itu sudah terlalu mainstream.
*alibi* *padahal karena nggak kebagian terus* *maklum suka nggak enakan sama orang*
udah lama banget pengen kesini tapi masih belum nemu partner in crime yg mau brkt gelap2an hunting sunrise 😀
Yah, kemarin ke Bandung nggak ke sini, kak? Aku bisa loh jadi partner in crime. Udah berpengalaman kalo soal gelap-gelapan *ambigu*
x)))))))
iya maunya kesini tp apa daya gak ada yg mau, plus badan juga masih rontok abis berhura2 di konser malam sebelumnya. Lain kali deh ke Bandung lagi 😀
Hihihi. Ditunggu yap! :))
*nyimak pernyataan di atas. Foto di tebing keraton dari belakang, pandangan ke arah lembah, update di instagram 😀 (ngakak)
Hahaha. Iya itu gaya mainstream di sana 😀
Berarti udah tau banget kan jalan ke sini. Nanti beneran aku dianter ke sini ya klo pas ke Bandung buat trip 🙂
Udah, mas. Ehehe siap ditunggu!
[…] Sumber : Nekad Tracking ke Tebing Keraton, Bandung […]
Wah ok nih buat referensi. Thanks
Sama-sama 🙂
Aku blm sampai kesini ihik ihik ihik. Btw kalian 3some di tebing keraton yaaa hahaha
Wah, mas. Traveler kondang kayak lo harus banget ke sini. Jangan lupa foto pake kancut di atas batunya 🙂
secara rute dan tekstur jalan, lebih gampang ke Bukit Moko atau Tebing Keraton mas ?
Dua-duanya hampir sama, sebelas dua belas. Sama-sama jalan nanjak tapi udah diaspal.
Mas, boleh minta patokannya ga ya utk ke tebing keraton, saya arah dari jakarta, bingung nih maklum ga hapal jalan di bandung
Dalam artikel udah saya berikan patokannya nih. Patokan bagian mananya yang belum jelas, kak?
Seru nih, rencana minggu besok mau ke sana, mau nyobain jalan juga. Aman gak sih jalan pagi2 buta gitu?
Aman banget kok, medannya nggak gimana-gimana, cuma nanjak aja. Paling cuma digonggongin anjing penjaga villa.
kang… klo mobil bisa nake sampe mana-nya? rencana weekend ini mau kesana.. mohon infonya yah kang.. hatur nuhun…
Waktu aku ke sana, masih bisa naik sampai deket pintu masuk Tebing Keraton. Tapi info terakhir, ada yg bilang cuma sampai pintu gerbang Bukit Pakar aja, terus harus lanjut ngojek atau jalan.
Coba pastikan aja, bro. Terus nanti kabari gue, hahaha.
mmmm… ekonomic matter nih sepertinya… buka lapangan pekerjaan buat warga lokal dengan tidak memperbolehkan kendaraan roda 4 masuk.. ini juga terjadi di bromo.. kita harus nyewa jeep warga sekitar…. sip kang atas infonya…
Nah, iya. Bener banget! Sip, bro. Makasih 🙂
mas, kalo dari gerbang bukit pakar ke tebing kratonnya, berapa lama kalo jalan kaki?
Dari gerbang bukit pakar, seperti yg saya paparkan di atas, 1.5 jam jalan kaki.
Terimakasih banyak infonyaaa…..InsyaAllah mau mencoba jalan kaki juga ke Tebing Keraton minggu ini…btw mau nanyaa, jalannya masih ada yang tanah licin gitu ga ya? Terimakasih
Halo. Senang dapat berbagi info. Udah nggak ada bagian jalan yang licin kok. Udah aman 🙂
Mau nanya lagii…kira-kira estimasinya butuh waktu berapa lama ya untuk naik dan turunnya dari tebing? Trims
Kalau dari tempat parkir Warung Bandrek, sekitar 30-45 menit kayaknya.
mas kira kira kalo dari bawah naik motor sampai tempat parkir motor, medannya berat ga si yaa ?
Nggak terlalu berat. Sebagian besar sudah diaspal, tinggal sedikit yang masih berbatu-batu. Siap-siap nanjak aja, kak.
Dari parkiran jauh gk si akang???
Lumayan, kak. Apalagi sekarang parkir harus di bawah. Bisa setengah jam jalan kaki.
[…] Baca juga: Nekad Trekking ke Tebing Keraton […]
[…] di Bandung hari Sabtu pagi. Kalo lo sampai di Bandung subuh-subuh, lo bisa langsung ngacir ke Tebing Keraton di Dago atau Bukit Moko (Bukit Bintang) buat berburu sunrise atau menikmati pemandangan kabut menelusup di […]