Kuala Lumpur terasa begitu terik pada satu siang di pertengahan bulan Agustus 2016 itu. Aku berdiri tertegun di depan pintu masuk Masjid Jamek, menghadapi realita bahwa salah satu masjid tertua di bumi Selangor itu sedang tak dapat menerima kunjungan. Megaproyek River of Life yang dicanangkan pemerintah Kuala Lumpur, Selangor, dan Malaysia memaksa masjid harus ditutup sementara.
Sungai kecil yang membelah sang bandar itu sedang bersolek. Puluhan tahun sudah ia, yang menjadi tonggak sejarah berdirinya kota Kuala Lumpur, terabaikan dan terbengkalai. Namun akhirnya, kini Klang mulai diperhatikan peradaban yang bermukim di sekelilingnya.
Tepat di titik pertemuan antara Sungai Klang dan Sungai Gombak itulah, Kuala Lumpur berdiri berabad silam. Adalah Raja Abdullah, salah satu anggota Kerajaan Selangor, yang pertama membuka Lembah Klang untuk para pencari timah pada 1857. Kesempatan itu lantas disambut oleh 87 penambang dari Tiongkok. Di titik pertemuan kedua sungai itulah, mereka mendirikan pemukimannya, sembari mencari peruntungan dari tambang timah di kawasan Ampang, hulu Sungai Klang. Titik peradaban mula-mula itu lantas disebut kuala lumpur, yang berarti “(titik) pertemuan yang berlumpur”.
Konon, nama “Klang” diambil dari kosakata “kalang” dalam bahasa Melayu, yang berarti timah.

Masjid Jamek berdiri di pertemuan Sungai Klang dan Gombak, titik di mana peradaban Kuala Lumpur bermula
Nahas, malaria dan penyakit tropis lainnya merenggut nyawa para pemukim mula-mula itu dan hanya menyisakan 17 orang. Namun, Kuala Lumpur berhasil menarik minat para penambang dari seantero jagad, termasuk Britania Raya yang akhirnya nanti menguasai seisi negeri. Timah sangat diminati pada masa itu. Eropa dan Amerika membutuhkan bahan logam yang ringan, namun tahan lama, sebagai bahan bakar pada masa Revolusi Industri. Sungai Klang tumbuh menjadi urat nadi kehidupan, rumah-rumah didirikan di sepanjang bantaran, laju arusnya dimanfaatkan sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil tambang.
Titik pertemuan dua sungai itu lalu dipadati kaum penambang Tiongkok yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok kecil, mafia-mafia, tanpa adanya pemerintah atau peraturan sebagai pedoman menjalani peradaban. Melihat kondisi yang tak terkendali, kolonial Inggris memilih Yap Ah Loy (1868-1885) sebagai Kapitan untuk memimpin seisi bandar.

Dataran Merdeka, Kuala Lumpur, saksi kemerdekaan Malaya dari kolonial Inggris
Loy menjalankan tugasnya dengan tanpa ampun. Konon, hanya dengan enam orang polisi, Loy mampu menjaga kedamaian dan menertibkan para penambang. Atas kerja baiknya, Yap Ah Loy kemudian dianugerahi gelar sebagai bapak pendiri Kuala Lumpur.
Namun, kinerja baiknya terguncang ketika Perang Sipil Malaya berkobar pada 1881. Para sultan dan putra mahkota berperang memperebutkan Perak dan harta karun timah yang tersimpan di dalamnya. Seisi Kuala Lumpur habis terbakar, seluruh pemukimannya rata dengan tanah.
Inggris kembali bertindak. Gubernur baru, Andrew Clarke, ditunjuk untuk mengatasi permasalahan. Clarke lantas mengundang para sultan dan putra mahkota untuk mengikutinya menyeberang ke Pulau Pangkor. Di sana, para sultan berhasil diyakinkan untuk menandatangani Persetujuan Pangkor (Pangkor Agreement) dan menyudahi perang sipil. Perang pun berakhir, Negeri Perak memiliki Sultan yang baru, dan Kuala Lumpur bangkit dari kehancuran.

Jalan raya dan bangunan-bangunan tua di kawasan Sungai Klang, Kuala Lumpur
Resident of Selangor, Sir Frank Swettenham, membangun peradaban yang baru di Kuala Lumpur dengan struktur bata yang lebih kokoh dan tahan lama. Dalam kepemimpinannya, pusat pemerintahan federasi pun dipindahkan ke Kuala Lumpur. Jalur kereta api dibangun untuk menghubungkan Kuala Lumpur dengan Pelabuhan Klang pada 1886. Tahun 1896, Kuala Lumpur resmi menjadi ibukota Federasi Serikat Malaya.
Pasca kemerdekaan Malaysia pada 1957, Kuala Lumpur tumbuh menjadi pusat ekonomi di Semenanjung Malaya. Gedung-gedung beton, pencakar-pencakar langit, dan jaringan jalan raya dibangun memenuhi bandar. Sungai tak lagi menjadi tumpuan kehidupan. Keberadaannya semakin pudar dengan hadirnya jalur kereta api dan reservoir di Ampang. Pada beberapa kilometer, ia bahkan lenyap dan tersembunyi, mengalir dalam bisu di bawah bayang-bayang jalan layang Kuala Lumpur – Ampang. Buat apa berperahu melalui sungai kalau ada jalan beraspal mulus dan jalur kereta api?

Stasiun Kuala Lumpur lama, jalur rel itu menghubungkan antara Kuala Lumpur dengan Klang

Ampang Line, dulu bernama Star LRT sebelum diakuisisi RapidKL, merupakan rapid transit pertama di Kuala Lumpur
Sungai Klang yang semula bersih berubah menjadi tempat pembuangan sampah warga kota. Airnya yang jernih berubah coklat pekat. Di hulu, keadaannya masih lebih baik, ikan-ikan masih sanggup hidup di dalam aliran airnya. Namun, semakin dekat dengan pusat bandar, seluruh kehidupan di dalamnya lenyap, digantikan dengan sampah-sampah rumah tangga beraneka rupa yang terapung di permukaan. Seolah ingin membalas dendam, sungai meluap hebat pada 1971, merendam kota selama lima hari!
Lebih parah, dinding-dinding alaminya lantas diganti dengan struktur beton yang masif dan kaku. Semakin ke pusat kota, semakin lebar dan tinggi dinding beton itu. Sungai Klang tak mampu bernafas dengan bebas. Seolah belum cukup deritanya menerjang sampah yang menghambat lajunya, alirannya masih harus dibatasi dengan dinding-dinding beton di kedua sisi tubuhnya. Tak ada lagi Sungai Klang yang gemilang, yang ada hanyalah sebuah selokan besar berair keruh tempat membuang sampah.
Andai sungai mampu berbicara, aku yakin ia akan mengeluarkan amarah dan sumpah serapah dalam ratapan kepada peradaban. Syukurlah, seruannya mampu didengar lebih jelas oleh pemerintah masa kini. Seperti namanya, proyek River of Life digagas untuk membawa kembali kejayaan Sungai Klang dan Gombak sebagai urat nadi kehidupan. Tak tanggung-tanggung, dana sebesar 4,4 trilyun Ringgit Malaysia pun digelontorkan, setara dengan biaya pembangunan Kuala Lumpur International Airport 2.

Tenggelam di balik gedung-gedung beton dan jalan-jalan yang mengangkasa, Sungai Klang seperti terhilang
Megaproyek River of Life mulai dicetuskan sejak 2012, namun sebetulnya usaha untuk memperbaiki sungai sudah lahir dari bertahun-tahun lalu dengan hasil yang sangat kecil, jika tak dapat dibilang nihil. Melalui inisiatif ini, pemerintah akan membangun taman-taman, jalur pejalan kaki, jalur bersepeda, hingga fungsi-fungsi komersil (toko, hotel, rumah makan, dan hunian) di sepanjang aliran Sungai Klang. Apalagi, kawasan Lembah Klang yang mencakup seluruh Kuala Lumpur, Selangor, sebagian Negeri Sembilan, dan sekelumit Negeri Perak ini merupakan cekungan terbesar ke-4 di Malaysia.
River of Life merupakan bagian dari Entry Point Project untuk menuju Greater Kuala Lumpur / Klang Valley National Key Economic Area (NKEA). Sepanjang 10,7 kilometer dari aliran Sungai Klang di pusat metropolitan Lembah Klang akan direvitalisasi dalam 3 tahap: pembersihan sungai, mempercantik, dan pengelolaan lahan. Sampai saat ini, sekitar 50% dari keseluruhan proyek sudah dijalankan.

Petronas Twin Towers, simbol kemajuan Kuala Lumpur dan Malaysia
Department of Irrigation and Drainage mengambil andil besar dalam fase pembersihan sungai, dibantu oleh 20 agensi lintas bagian di dalam 4 kementerian Malaysia dan 2 perangkat lokal Selangor. Sungai Klang yang saat ini berada pada kelas III / IV (tidak layak untuk kontak fisik) ditargetkan menjadi kelas IIB (layak untuk kontak fisik) pada 2020, tahun yang sama dengan keinginan pemerintah pusat menjadikan Malaysia sebagai sebuah negara maju (developed country)
Langkahku sudah tiba di sisi Bangunan Sultan Abdul Samad, pada jalan raya yang melayang mengatasi Sungai Klang. Aku melepas pandang ke arah Masjid Jamek dan pengerjaan proyek yang berlangsung di sekelilingnya. Dirancang oleh A.B. Hubback dan selesai dibangun pada 1909 di atas lahan pemakaman muslim, Masjid Jamek menjadi pusat warisan sejarah kota Kuala Lumpur. Di sekelilingnya, berdiri bangunan-bangunan lain yang menjadi ikon-ikon tenar kota Kuala Lumpur di mata para pelancong. Sebutlah Bangunan Sultan Abdul Samad, Muzium Tekstil, Muzium Sejarah Nasional, hingga Dataran Merdeka yang menjadi saksi diturunkannya sang Union Jack dari bumi Malaya.

Desain interior prayer hall Masjid Jamek, Kuala Lumpur
Mungkin, dalam kunjunganku kembali ke tempat ini nanti, Masjid Jamek sudah berubah menjadi titik keramaian massa populer di Kuala Lumpur. Pejalan kaki melenggang santai di sepanjang sungai, keluarga-keluarga asyik berperahu dengan damai, dan jajaran café yang menjamur dikunjungi khalayak ramai. Aku membayangkan sang masjid tersenyum simpul pada sungai yang terbaring di sisinya. Dalam kesetiaannya menemani selama satu abad lebih, akhirnya ia bisa melihat sukacita kembali mengisi wajah Sungai Klang yang dulu gemilang.
Bersabarlah, Klang. Tinggal sedikit lagi, seluruh perhatian itu akan kembali tertuju padamu. Kau akan kembali hidup, mengembalikan setiap manfaat yang dulu pernah kau bagikan pada seisi kota.
Baca Juga:
6 Tempat di Kuala Lumpur yang Mungkin Kamu Belum Tahu
Sumber:
Buku Klang Valley 4 Locals (get it free on KL City Gallery), published by Lyndon Yap / Bluedale
www.thestar.com.my, www.expatgo.com, www.timeout.com, www.lonelyplanet.com, www.geographia.com, www.visitkl.gov.my
Gaya bahasanya sedikit berbeda nug, haha
But i like it 😆
Aku memang punya 2 gaya bahasa, mas. Hm, tergantung tulisan apa yang dibuat. Maklum, bipolar 😀
tumben, serius amat tulisannya, kirain salah buka blog ^_^
Hehehe. Sesekali mengeluarkan sisi serius 😀
Nice article Gi. Agak serius dan beda dari biasanya, tapi oke. Aku suka karena bisa baca lebih soal sejarah Kuala Lumpur yang sebelumnya cuma aku tau sebagai tempat penambangan timah di masa lalu. Wah aku jadi penasaran, kalau proyek ini nantinya beres pasti wajah KL akan semakin cantik, meskipun tetap geraaaah 😀
Sebetulnya memang bukan buat blog sih, tapi daripada terbuang, ya sudah publish aja di sini hehe.
Yup, nggak tahan nunggu proyek ini kelar. Soalnya selama proyek banyak obyek wisata di Dataran Merdeka jadi terganggu, hehehe.
Oo memang awalnya mau dipublish dimana Gi?
Ke satu majalah gitulah. Tapi editornya maunya aku fokus ke sejarah dan deskripsi bangunan-bangunan tua di situ, bukan soal proyek River of Life. Jadi kan harus dirombak besar-besaran, atau ganti obyek baru sekalian. Hehe..
Terus akhirnya, gak dilanjut? Majalah apa Gi, namanya?
Lanjut revisi, hehehe.
kemarin pas lewat sungai ini juga dibilang sama temen di KL soal reklamasi Sungai Klang ini. Salut euy sama upaya pemerintah Malaysia mengembalikan fungsi sungai dan DAS di sana
Yup. Patut dicontoh!
Ternyata ga hanya aku yg berpikiran gaya nulisnya beda hehe. Tujuannya buat majalah sih ya sblmnya 🙂
Anyway, artikelnya oke nih. Jd tau sejarah KL 🙂
Sisi lain Nugi, hehe. Harusnya gue edit dulu ya gaya bahasanya 😀
Ternyata punya masalah sungai yang sama ya, sampah. Bagus ya mereka lakukan program pembersihan dengan libatkan lintas sektor.
Betul, mas. Tapi, kotornya sungai mereka nggak sekotor sungai di Jawa sih, hehe. Semoga Indonesia juga segera!
Masalah sungai selalu jadi masalah utama di kota-kota negara berkembang.
Makasih tulisannya mas, lumayan jadi tau sejarah negara tetangga hihi
Sama-sama, bro. Senang bisa berbagi 😀
Dari pihak pemerintah udah ada usaha bikin river of life, dari partikelir juga udah banyak mengonversi bangunan2 tua jadi galeri dan museum di sekitar Dataran Merdeka. Semoga makin kinclong nantinya.
Minus bau pesing juga semoga.
Amin. Nanti Sungai Klang bisa jadi kayak Cheonggyeochon Stream hehehe
Jadi sedikit tahu sejarah tentang Kuala Lumpur, dan jadi penasaran seperti apa jadinya jika project ini selesai nantinya
Mari kita nantikan bersama 😀
Bahasannya keren!
kalau gak baca blog ini saya gak bakal tahu tuh soal riwayat sungai Klang.
*tho thumbs Up!
Thank you, mbak Endah. Makasih sudah mampir ya, senang bisa berbagi 🙂
detail banget artikelnya kak 😍😍
tapi itu lama juga proyeknya
Makasih sudah mampir, mas Dandy. Mungkin karena banyak yang harus diubah dan ditambahkan, hehe
Suka ceritanya Nug, karena saya ga pernah sungguh-sungguh mendalami ke KL. Bawaannya esmosi melulu hahaha… Jadi mendingan minggir deh. One day harus pelan-pelan bawa si sabar kesana….:D 😀 😀
Haha. Kenapa bawaannya emosi terus, mbak? 😀
iya tuh ga tau kenapa, selalu aja kejadian dengan saya haha, emang ga cocok kali wkwkwkwk
Orang-orangnya, mbak?
lha iyaaa deh… hihihi…
Wahaha. Ternyata bener, sebuah destinasi punya “jodohnya” sendiri dengan traveler tertentu. Aku di Malaysia selalu ketemu orang-orang ramah 😀
Negeri tetangga ini bagai jadi rumah kedua buatku pribadi lho mas 🙂
Mungkin karena keseringan bolak balik show disana kali ye :p
byy the wayyy, artikel kamu yang ini asliii lengkap beuuut.
jadi pengen mulai seriuuuus nulis detail macem sampeaaan begini mas. Ajari aku mas, ajariiiii..
Eh sama, Raisa! Malaysia ini juga jadi rumah kedua, ada aja kesempatan main ke sini. Dari sekadar transit, open trip, sampai rejeki lainnya.
Yo ayooo kita belajar bareng 🙂
A well-written post on the history of Sungai Klang! Glad to know you share the shame appreciation and enthusiasm on rivers like I do 🙂
Thank you for dropping by, Dan. Yes, I love rivers on cities 😀
sudah seharusnya jika sungai itu dijadikan halaman rumah kita bukan sebaliknya jadi perlakuannya menjadi lebih baik
Betul, mas. Tidak sebaiknya sungai menjadi halaman belakang tempat membuang semua residu. Ia harus menjadi garda depan yang menyambut dengan keindahan.
Slm kenal
Mhn info nya donk kak rencana mw ke malaca trus plgnya singgah ke putrajaya liat jembatan penuh lampu di mlm hari, kira2 naik apa ke putrajaya trus kenderaan trakhir dr PJ ke KL sentral trakhir jm brp ya operasi nya
Ke Putrajaya naik KLIA Transit, kak. Kendaraan terakhir kalo nggak salah tengah malam. Amannya sih jam 21:00 atau 22:00 udah balik KL.
wah aku belum sempat nih lihat sungainya, cuma mampir ke Mesjid Jamek dan jalan ke kl city center yang ada I love KL nya itu
-M.
Yang ada I ❤ KL namanya bukan KL City Center, kak. Tapi KL City Gallery. Kalau KLCC itu yang ada Menara Petronas 🙂
Next time main ke sungai ya kalau udah direnov 😀
mendalam banget cerita muasalnya. kudu baca kitab sejarah ini. hehe. mantap mas perjalananmu. mudah2an berkesempatan melancong ke sini. merasakan setiap sudut Sungai Klang
Waaa blogger seleb mampir! Matur suwun ya, kesempatanmu akan segera tiba.
[…] Baca Juga: Mengembalikan Gemilang Sungai Klang yang Hilang […]
[…] focus dan terlalu percaya diri tanpa cek peta lebih dulu. Stasiun yang paling membingungkan adalah Masjid Jamek. Menurut gue, petunjuk arah untuk berpindah jalurnya kurang […]
[…] berjalan menyusuri Jalan Sultan Hishamuddin, melalui Sungai Klang dengan tepiannya yang dipoles street art. Gue pun tiba di bangunan tua yang tadi menarik perhatian. […]
[…] berada nggak jauh dari situ. Sayang banget, keterbatasan waktu membuat gue gagal juga berkunjung ke Masjid Jamek. Kalau kamu punya banyak waktu, kamu bisa tambahkan masjid yang cantik itu dalam kunjungan kamu ke […]
[…] to get there: LRT, turun di Stesen Pasar Seni atau Stesen Masjid Jamek, atau dengan KTM Komuter di Stasiun Kuala Lumpur, lalu jalan kaki menuju arah Masjid Negara. Taman […]
[…] digunakan untuk mencapai KL Sentral, Petronas Twin Towers (turun di Stasiun KLCC), Pasar Seni, dan Masjid Jamek. Stasiun Pasar Seni dapat kamu gunakan untuk menuju Central Market, Chinatown (Petaling Street), […]
[…] KL ini terkonsentrasi di satu kawasan dan juga nggak terlalu banyak. Kawasan Dataran Merdeka dan Masjid Jamek cocok jadi titik awal kamu. Jangan lupa masuk ke dalam KL City Gallery, dijamin nggak […]