
Ada yang berbeda di Stasiun Kereta Api Bandung. Stasiun yang dulu kuolok sebagai salah satu stasiun besar paling minim perkembangan, kini menunjukkan wajah barunya. Dari depan, inovasinya memang belum terlihat, namun begitu masuk ke dalam peron kau akan terpikat.
Aku mengerahkan tenaga otot biseps saat mengangkat ransel hitam seberat, kira-kira 11-12 kilogram, yang didudukkan abang ojol dengan susah payah setelah menibakan aku dengan selamat di depan stasiun. Gilak, ini mungkin saat terberat aku memanggul backpack sejak pertama kali menggunakannya di 2014. Isinya “hanya” didominasi oleh baju-baju, tapi hampir seisi lemari aku bawa hahaha. Saat kuisi penuh seperti untuk perjalanan ke Hong Kong dan Macau, bobot ranselku berada di kisaran 9-10 kg. Kali ini terasa lebih berat, jadi kuduga bobotnya sekarang di angka 11 atau 12 kg.
Aku tak langsung melangkah masuk, karena mataku tertarik pada sebuah kedai kopi di sisi pintu masuk area stasiun.


Oh, ternyata pernyataanku di atas tak sepenuhnya benar, karena ada satu hal dari wajah baru Stasiun Bandung yang bisa segera terlihat dari jalan raya: Loko Coffee Shop. Tak hanya kehadiran bangunannya sendiri, namun trotoar di hadapannya dirapikan, ditata, dan dibuat terhubung dengan kedai kopi. Seingatku, dulunya ada semacam dinding atau pagar di situ. Jadi, pagar atau apa pun itu sudah dijebol, dan jadilah seperti ini.
Tadi pagi sebelumnya, aku mampir ke Stasiun Bandung untuk melakukan tes dengan Genose-19. Sengaja datang pagi-pagi biar nggak buru-buru, dan kalau amit-amit hasilnya positif, aku nggak auto panik dan ada waktu untuk melakukan Rapid Test Antigen. Puji Tuhan, suasana stasiun pagi itu sepiii banget. Nggak ada antrean, aku dengan lancar mendaftarkan diri dan melakukan tes.

Begini langkah-langkahnya melakukan tes Genose-19 di Bandung:
- Daftarkan diri ke meja konter dengan menunjukkan bukti pemesanan untuk perjalanan hari itu, harus di hari yang sama
- Lakukan pembayaran di bilik pertama sebesar Rp30 ribu, murah cuy! Petugas akan memberikan seperangkat alat
sholattes - Berpindah ke bilik berikutnya dan lakukan tes Genose-19 secara swadaya alias mandiri, kalau masih bingung petugas di bilik itu akan membantu mengarahkan, memang itu pekerjaannya
- Buka katup penutup, hembuskan nafas 2 kali dari mulut ke dalam lubang yang tersedia tanpa melepas masker, lalu tutup kantungnya kembali
- Berikan testing pack kepada petugas untuk diperiksa di mesin
- Tunggu sekejap, dan hasil tes Genose-19 akan keluar beberapa saat kemudian.
Kembali ke saat kedatanganku di stasiun pada malam hari.
Aku menunjukkan kartu identitas, boarding pass, dan hasil tes negatif COVID-19 kepada petugas. All good to go. Kereta Mutiara Selatan sudah siap di peron 6.
Niat hati mau beli kopi panas dan nasi kotak dari Yomart, ternyata tutup. Ya sudah, karena masih ada banyak waktu, aku duduk sebentar meletakkan ransel sambil berswafoto. Kelihatan kayak capek banget dan belum mandi ya? Padahal udah mandi lho tadi sore.


Aku berjalan menuju peron melalui jembatan pejalan kaki yang sudah tersedia. Ini dia hal baru itu yang ingin aku ceritakan.
Pedestrian Skybridge, Stasiun Kereta Api Bandung
Area tunggu dan jembatan itu terhubung dengan nyaman oleh sebuah travelator yang berderak dengan kecepatan sedang. Iya, travelator, karena tidak ada undakan tangganya. Ada titik untuk berfoto tepat di bawah travelator. Sayang saat itu aku seorang diri, tak seperti saat bulan Desember 2020 lalu.


Saat itu, aku dan Ara naik kereta api Malabar bersama menuju Yogyakarta, sebagai rangkaian dari rencana besar kami di 2021. Sayangnya karena saat itu sedang agak terburu-buru, kami nggak sempat foto-foto. Aku hanya selfie dan merekam video singkat beberapa detik untuk diunggah di IG Story. Semuanya kami lakukan sambil tetap berjalan haha.
Sepanjang travelator hingga tiba di lorong pedestrian skybridge Stasiun Bandung, segala sesuatunya bersih dan mengkilap! Sungguh modern, rasanya seperti sedang berada di bandara. Buat yang bepergian dengan koper, no more ribet-ribet lagi nih angkat-turunin koper saat menyeberang peron. Tinggal letakkan di travelator, lalu geret seamlessly melalui lorong jembatan hingga tiba di peron tujuan. Dengan dinding kacanya, kita juga bisa mengambil foto jalur rel Stasiun Bandung dari atas saat hari cerah.


Sebagai stasiun utama di salah satu kota besar di Indonesia, sudah lama aku berharap Stasiun Bandung memiliki fasilitas seperti ini. Atau inovasi apa pun deh, karena stasiun yang satu ini sebelumnya tergolong relatif stagnan. Stasiun Jogja aja ada perubahan dari tahun ke tahun. Stasiun Solo Balapan malah udah punya skybridge yang nggak cuma menghubungkan antar peron, namun juga ke Terminal Tirtonadi. Baca ceritanya di sini.
Karena sudah ada pedestrian skybridge di Stasiun Bandung, maka akses lama untuk penumpang dari peron menuju departure/arrival hall pun ditutup. Aku sangat mengapresiasi langkah ini untuk mencegah orang-orang malas yang terlalu malas untuk sedikit berjalan kaki menuju travelator. Kehadiran skybridge ini difungsikan untuk kenyamanan dan keamanan penumpang sendiri, agar tidak tersandung rel, atau naik-turun masuk ke dalam kereta lain untuk menuju peronnya, atau bahkan terserempet kereta api yang tengah melintas. Desainnya pun telah disesuaikan. Itulah mengapa yang dibuat adalah travelator, bukan eskalator, agar yang membawa koper, stroller, atau kursi roda bisa melaluinya dengan tetap nyaman.

Semoga kelak akses jalan untuk Pintu Selatan Stasiun Bandung juga diperbaiki karena udah nggak layak banget, tak terhitung sudah lubang dan bopeng-bopengnya.
Menanti Keberangkatan ke Yogyakarta dengan Sang Mutiara Selatan
Karena agak parno dengan apa yang terjadi dalam perjalananku ke Jogja bersama Ara bulan Desember 2020 lalu, kali ini aku memesan kursi di kereta Eksekutif dengan harapan agar penumpangnya tak sepadat di kereta Ekonomi.
Puji Tuhan, harapanku terkabul.
Tak hanya lebih sepi, namun juga diberlakukan pembatasan jarak, di mana hanya ada satu penumpang di tiap baris. Jadi dalam 1 baris per lajur kan ada 2 kursi, nah di antara 2 kursi itu hanya bisa diisi 1 orang. Hal ini berbanding terbalik dengan perjalanan naik kereta Ekonomi Malabar bulan Desember 2020 lalu. Semua kursi terisi penuh, tak ada yang disisakan untuk pembatasan jarak, dan sialnya penumpang di depan serta di samping kami bersin-bersin dan batuk sepanjang jalan. Bersinnya sampai yang buang-buang ingus gitu dan buka masker, padahal dia adalah ibu hamil yang rentan sakit.


Namun kali ini tak ada lagi pemberian face shield seperti yang aku dan Ara dapatkan bulan Desember lalu. Train attendant hanya membagikan masker dan kain lap kecil. Untungnya desain maskernya bagus, bukan desain umum seperti masker-masker biru itu.
Karena masih ada banyak waktu dan kereta masih sepi, aku jadi punya waktu untuk berfoto. Aku bahkan sempat berswafoto menggunakan timer dan kamera depan dengan meletakkan handphone di kursi seberang yang masih tak berpenghuni.
Wah, masih ada waktu lagi. Ya sudah, foto-foto dulu deh di luar…



Hope you enjoyed my pictures.
Kau tahu hal apa yang paling kunikmati dalam setiap perjalanan kereta api di Indonesia? Menikmati segelas kopi hitam panas seiring pemandangan berlalu. Enjoying a cup of hot coffee as the world goes by…
Yah, meskipun kopinya sekarang hanya sachet kecil Kapal Api seharga Rp500,00 yang lalu dijual dengan harga… Rp10 ribu, kalau tidak salah, ya sudahlah yaaa hahaha. Setidaknya ada hal lain yang kulakukan di dalam kereta selain bermain dengan gawai. Tidak, tidak, aku bukan golongan nempel molor. Suatu keajaiban kalau aku bisa tertidur pulas di dalam kendaraan, atau tempat umum lainnya. Aku nggak bangga dengan hal ini, karena ini adalah hal yang cukup merepotkan bagi seorang pejalan.

Ada yang berbeda dalam perjalanan malam itu. Pihak PT Kereta Api Indonesia tak lagi menggaungkan passenger announcement pada pukul 22:00 – 05:00 WIB dengan tujuan agar tidak mengganggu penumpang yang beristirahat. Tak hanya itu, lampu juga diredupkan. Jadi dalam rentang waktu itu, kondektur akan membangunkan penumpangnya untuk segera turun.
Aku sangat suka dengan inovasi lampu yang diredupkan. Soal passenger announcement, menurutku tetap perlu, tapiiii ya jangan semua stasiun diumumkan. Contoh, berangkat dari Stasiun Bandung, maka dari Stasiun Kiaracondong sampai Garut nggak usahlah ada pengumuman. Siapa juga yang mau naik kereta api antarkota dengan jarak sedekat itu hahaha, harganya sama coy! Utamakan stasiun-stasiun besar yang sudah mendekati stasiun akhir, seperti Stasiun Yogyakarta, Tasikmalaya, Maos, dan Kutoarjo. Lalu, perbaiki lagi sound system-nya. Dengan pelantang sekeras itu, siapa yang nggak kaget dan kesal?

Aku tiba di Stasiun Yogyakarta saat menjelang waktu sahur. Dalam dinginnya udara pagi Jogja, aku menunggu Fian, keponakan cowokku, datang menjemput di pintu selatan. Sampai jumpa kembali, Bandung. Aku puas-puasin dulu di Jogja ya, meski sebenarnya aku belum tuntas menumpas rindu denganmu.
Kok jadi seperti Solo Balapan ya kak..ada beginian..hehehr…
Mau ke Bandung lagi, bebeb…naik kereta lagi…Tapi mau pagi-pagi biar puas poto-poto dulu
Iya, nanti kita ambil kereta pagi ya lain kali
berubah banyak yaaa .. terakhir naik turun di stasiun ini Mei 2018 lalu
Hayuk ka Bandung kak 🙂
Belum pernah turun di Stasiun Bandung, biasanya cuma sampai Kiaracondong terus menghilang gowes. Menarik kapan-kapan ke sini
Stasiun Bandung asik buat lanjut gowes lho, mas. Ehehe
setelah naik skybridge, itu turunnya apakah ada beberapa travelator lagi sesuai dengan jalur rel kereta apinya mas? aku sedang membayangkan nih..
Iya betul koh. Sama sekali belum pernah liat skybridge atau underpass di stasiun ya? Kuy ke Stasiun Bandung 😁
Pernah sih.. tapi kan kbykan di MRT.. nah kalo MRT kan jalurnya 1-2 palingan.. sy bayanginnya kalo KA jalurnya berjejer.. tangga turunnya ke jalur ada brp ya? Itu yg belum kebayang😁
Oh, kalo di MRT kita kayaknya nggak ada skybridge atau tunnel koh. Skybridge ada di LRT Jakarta. Kalo underpass contohnya ada di Stasiun Manggarai.
Jadi jembatannya satu, tapi ada banyak travelator menuju masing-masing peron. Dalam foto di atas keliatan travelator peron 5-6 hehe.
Wah beneran mas sepanjang perjalanan nggak tidur sama sekali? Kalo saya naik kereta sendirian pasti gampang sekali tertidur, hahaha.. apalagi perjalanan Bandung-Malang bisa 14 jam lebih.
Nyaris nggak, mas. Cuma tidur-tidur ayam, susah sih 😦
Skybridgenya elegan ya, tapi jadi nggk bisa nyebrang rel lagi 🙂
Dulu zaman kecil, kalau mau naik Mutiara Selatan di jalur 1 harus nyebrangin lewatin gerbong KA Parahyangan atau Argo Gede yang udah parkir duluan di jalur 5 atau 6.
Haha. Aku jadi menemukan satu sisi kesedihan dari inovasi ini. Kalau di banyak negara yang lebih berkembang, peron memang udah biasa dituju dengan skybridge atau underpass. Meski ada juga yang perlu diseberangi dengan di darat.
Samaaa kita. Aku pun tipe yg ga bisa tidur di kendaraan. Palingan cuma tidur ayam, yg lgs kebangun2 tiap ada gerakan dikit. Makanya aku ga terlalu suka bepergian pas malam sampe pagi, Krn bakal ngantuk sampe ditujuan :p. Beda Ama suami yg pelor banget
Isshhh liat kamu dan Ara naik kereta berdua, jadi pengen liburan yg naik kereta juga bareng suami. Trakhir aku naik kereta berdua aja, pas dari Bangkok ke siamrep. Itu doang. Sisanya pasti bareng anak, JD ga bisa disebut berduaan 😀 seru memang …
Huffttt…. Ga keitung lagi kangennya pengen traveling mas -_-
Aku pun sekarang sebisa mungkin menghindari perjalanan malam, mbak. Nah, Ara juga pelor tuh hahaha.
Kangen banget traveling memang 😦
Semoga pandemi segera berakhir
wah, ada yang baru ya stasiun Bandung, kafe loko dan travelator. dulu kalau geret-geret kopi kadang nyangkut di rel. tapi untuk ruang tunggu utara masih belum berubah ya.
Haha iya, jalur pedestrian yang melintang pada rel memang nggak ramah
kemajuan juga ya lampu diredupkan dan tidak ada pengumuman setelah jam 10 malam. waktu naik kereta dari melbourne ke sydney 3 tahun lalu juga seperti itu, tapi lampunya dipadamkan, jam 5 baru dinyalakan lagi. mungkin kalau di Indonesia masih mempertimbangkan keamanan sehingga hanya diredupkan saja.
Aku prefer diredupkan sih daripada dimatikan sama sekali haha. Kalau masih sibuk sendiri akan sangat mencolok perhatian 😁
Anyway, pengalaman seru ya di Sydney. Semoga saya segera kesampaian juga.
[…] Residence adalah hunian apartemen di pusat kota Bandung! Ya ampun, tinggal sepelemparan batu dari Stasiun Bandung, di antara Jalan Pasir Kaliki dan Jalan Pajajaran. Ini artinya, Landmark Residence juga merupakan […]
loh ada lagi to mas kondektur membangunkan penumpang? saya pernah tau sekitar 5-6 tahun lalu kalau tidak salah. setelahnya kayanya nggak pernah liat.
kemarin saya naik MutSel pas sampai Yogya juga nggak ada kondektur muter, tapi suara pengumuman itu terdengar kembali. artikelnya masih dalam proses untuk bisa publish ehehehe.
skybridge nya mengagetkan sih, 2019 lalu saya masih nyeberang rel, bahkan melompati kereta lain. hahaha.
Berarti sekitar 2015-2016 silam ya, mas.
Iya skybridge-nya membagongkan, perubahan yang signifikan banget!