Selama beberapa saat, gue agak kebingungan di depan kompleks keraton itu, nggak jelas gue harus masuk lewat mana. Beberapa pedagang menggelar lapaknya di area depan keraton, di antara keraton dan alun-alun. Alun-alunnya nggak terlalu besar dan cenderung agak kotor dengan sampah yang terserak. Barulah gue akhirnya menemukan sebuah papan kecil bertuliskan “Loket” yang menunjuk ke arah sebuah bangunan kecil di sampingnya.
Harga tiket masuk keraton Kasepuhan ini adalah Rp 8.000,00, lebih mahal daripada harga tiket masuk Keraton Yogyakarta. Rupanya dengan harga segitu, sudah termasuk jasa seorang pemandu wisata yang akan menggiring observasi pengunjung di dalam keraton. Para pemandu wisata itu mengenakan pakaian tradisional ala petugas kerajaan, dengan atasan yang menyerupai beskap atau sorjan dan bawahan yang menyerupai jarik. Pemandu wisata gue adalah seorang bapak-bapak paruh baya yang tinggi badannya terpaut cukup jauh dari gue. Gue yang sebenernya juga nggak tinggi, tiba-tiba jadi merasa tinggi dan keren saat berdiri di belakangnya hahaha.
Bapak-yang-gue-nggak-tahu-namanya-itu lantas membimbing gue masuk ke dalam kompleks keraton. Gue mengekor dengan patuh, mengikuti ke mana arah langkahnya. Yang pertama kami sambangi adalah sebuah bagian dengan beberapa pendopo yang dinamakan Siti Inggil, artinya tanah tinggi, tempat Sultan menyaksikan pertunjukkan di alun-alun. Di situ jugalah terdapat sebuah tugu batu kecil bernama Linggayoni, yang melambangkan kesuburan pria dan wanita. Yang masih di bawah umur pasti bakal bingung pas lihat gambarnya.
Melalui sebuah pendopo bernama Pengada yang nggak dibahas terlalu detail oleh si bapak, kami masuk ke dalam sebuah bangunan putih bernama Museum Kereta. Di dalamnya, tentu saja ada sebuah kereta kencana yang digunakan oleh Sultan. Kereta kencana bernama Singa Barong itu memiliki wujud perpaduan beberapa binatang. Errr, gue agak lupa binatang apa aja. Pokoknya, itu adalah simbolisasi hubungan baik Kesultanan Cirebon dengan kerajaan dan bangsa-bangsa lain, menunjukkan betapa Cirebon adalah sebuah masyarakat yang tolerir. Misalnya saja, kepalanya yang diambil dari kepala gajah sebagai simbol hubungan baik Kesultanan Cirebon dengan Kerajaan Kalingga atau Gujarat di India.
Sebelum memasuki ke ruangan lain di belakang, kami melalui sebuah lorong kecil di mana terdapat silsilah Syekh Arief Hidayatullah alias Sunan Gunung Djati di sini. Ternyata, beliau ini adalah seorang berdarah campuran Mesir (darah Mesir diturunkan dari sang ibu). Adiknya, Syekh Arief Nurullah, didaulat menjadi Sultan Mesir.

at-ba ki-ka: lukisan Prabu Siliwangi, kereta Garuda Mina, menuju Bangsal Kencana, taman Kutagara Wasadan
Kami lalu beringsut ke sebuah lukisan seorang pria gagah yang ternyata adalah Prabu Siliwangi. Lukisan yang konon memiliki daya magis ini dibuat oleh seorang pemuda-Cirebon-yang-gue-lupa-siapa-namanya pada tahun 2004. Gue kira lukisan kuno. Kenapa dikatakan magis, karena mata sang Prabu dalam lukisan tersebut akan dapat tetap tertuju kepada kita, meski kita melihatnya dari depan atau samping. Sang guide menambahkan, pernah ada kejadian pengunjung yang kerasukan Prabu seusai berfoto di sampingnya. Katanya, sang pelukis sendiri sebelumnya memimpikan Prabu Siliwangi dalam tidurnya, yang kemudian dituangkan dalam bentuk lukisan. Yah, percaya nggak percaya sih, tapi kalau kata gue, mata lukisan yang seolah-olah terus melihat kita itu bisa dibuat dengan teknik tertentu. Bukan gue nggak percaya dengan hal-hal mejik, tapi selama itu masih bisa dijawab dengan logika, gue masih akan berpegang dengan logika lebih dulu. Any suggestions?
Ruangan kedua diisi dengan kursi untuk pangeran yang ditandu oleh 8 orang (sama dengan kursi permaisuri di depan), replika kereta kencana Singa Barong, dan sebuah kereta lain bernama bla bla bla.
Selesai dengan museum kereta, kami beranjak keluar dan menghampiri sebuah taman berbentuk melingkar yang bernama Kutagara Wasadan (God! Gue inget namanya dong!). Sama seperti kereta Singa Barong, taman ini pun sarat dengan unsur multietnis, misalnya patung lembu di bagian depan (sisi kanan kalau di foto) yang diambil dari budaya India.
Selesai dengan taman, kami lantas memasuki Bangsal Kencana, tempat sang sultan tinggal. Bagian yang seperti teras di bagian depan, digunakan untuk menunggu keputusan Sultan. Pintu masuk dibuat agak miring, mengikuti anjuran dalam Feng Shui Cina yang menganjurkan agar pintu depan dan pintu belakang tidak terletak dalam 1 garis lurus. Katanya sih, itu berarti rejeki mudah masuk tapi juga akan mudah keluar. Sementara jika keduanya tidak dalam 1 garis lurus, berarti rejeki akan cepat masuk namun sulit keluar. Tentu aja kami nggak boleh masuk ke dalam. Dari tempat kami di luar pintu masuk, gue hanya bisa mengintip kursi singgasana sang sultan dan perangkat-perangkat lain yang entah apa namanya, berkilauan dan penuh warna.
Tur singkat ini belum berakhir, kami masih melanjutkan dengan sebuah bangunan lain yang di dalamnya menyimpan berbagai peninggalan kerajaan. Sebutlah gamelan, senjata-senjata, alat-alat rumah tangga, perabot dari Perancis, baju zirah rampasan dari Portugal, meriam dari Cina India dan Portugal, pakaian pangeran dan putri kerajaan, dll.
Seiring dengan kelopak mata gue yang kian lama kian berat, kami berjalan keluar menuju rute yang tadi kami lalui. Gue meminta bantuan bapak guide untuk mengambil foto gue di depan taman. Beliau lalu menyarankan gue untuk berfoto di depan gapura Siti Inggil yang gue turuti tanpa bantahan 😀
Batu bata pada gapura dan pagar pembatas di keraton ini direkatkan dengan gula aren, masih sangat alami tapi toh ampuh! Kalau kamu berkunjung ke Cirebon, gapura seperti ini akan dapat dengan mudah dijumpai.
Tur singkat ini gue akhiri dengan berbalas-balasan ucapan terima kasih dengan bapak guide. Gue bergegas pergi meninggalkan kompleks keraton, berniat untuk pulang dan melanjutkan eksplorasi minggu depan. Coba aja handphone gue nggak low bat, gue bakal lanjut ke Keraton Kanoman dan Kacirebonan yang masih berada dalam satu kawasan. Gue melangkah membelah Pasar Kanoman yang ramai dan agak kumuh, sampai gue keluar dari kawasan perdagangan Cirebon itu dan berada di jalur angkot GS yang akan mengantar gue kembali ke tempat tinggal.
Jadi semakin penasaran pingin lihat langsung…arggg >.<
Ayo sini, mas. Nanti kita meet up, hehehe. Ada 4 keraton loh hehehe.
Serius ada empat keraon? Oh my… okayy cari tanggal yang pas buat melipir ke Cirebon hehe
Yup. Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan. Tunggu ulasan gue dulu juga gpp hehehe.
[…] tuntas menjelajah Keraton Kasepuhan, kawasan kota tua (gue sebut begini karena banyak bangunan tuanya), Pelabuhan Cirebon, hingga […]
[…] Baca juga: Keraton Kasepuhan, Akhir Heritage Trail […]
[…] cocok buat kamu yang suka wisata sejarah dan kuliner. Keratonnya aja ada 4 lho! Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan. Belum lagi Tamansari Gua Sunyaragi yang unik! Buat […]