“Lo nggak capek, Ji?” tanya gue penuh keheranan melihat cowok tanggung satu itu.
Aji berlari-lari gesit sepanjang jalur pendakian, lalu berhenti untuk mengambil foto, lalu berlari-lari kecil lagi, dan begitu seterusnya.
“Saking antusiasnya, Mat!” jawabnya sembari tetap memicingkan mata di balik viewfinder.
Padahal gue, Hanny, dan 3 orang temannya yang entah siapa namanya — gue lupa — sudah menggeh-menggeh kelelahan. Jalan kaki dikit beberapa meter, istirahat, jalan lagi sepelemparan batu, lalu senderan pada dinding tanah, dan begitu seterusnya. Rasa letih mulai menggelayuti kaki. Bahu yang semula bugar, mulai kelelahan memanggul ransel 60 L yang gelendotan manja di balik punggung.
Aji yang kuliah sambil kerja, ditambah pekerjaan sampingan pada Sabtu Minggu, memang nggak punya banyak waktu buat jalan-jalan. Lalu, ngakunya sih, ini kali pertama dia naik gunung. Tapi karena dia rutin berenang, jadi pendakian pertama ini sama sekali nggak jadi masalah buat dia. Beda sama gue, yang emang nggak pernah olahraga selain jalan kaki satu jam setiap hari waktu berangkat dan pulang kantor.
Entah pada puluh menit keberapa, kami berlima akhirnya bertemu dengan sebagian dari rombongan yang berangkat lebih awal. Mereka sedang beristirahat: mas Adi sang sweeper sekaligus pemimpin pendakian, mas Pandu, Fanny, dan 3 orang kawan lainnya di luar Backstrip — mbak Rini, mas Ihsan, dan mas Amri.
Sementara Aji, Hanny, dan dua rekannya itu melanjutkan pendakian, gue tertinggal di belakang bersama rombongan baru itu. Nah, kalau sebelumnya gue megap-megap ngikutin langkah cepat Aji yang antusias, kali ini gue malah jadi nggak sabaran. Gue yang tadinya berada di belakang, sekarang memimpin rombongan yang berjalan klemar-klemer. Yah, ini adalah salah satu pelajaran yang ada dalam setiap pendakian: mau menyingkirkan rasa egois dan lebih peduli pada orang lain.
Kami pun menjadi pendaki oportunis. Tidak menyia-nyiakan setiap bongkahan batu atau batang-batang mati yang melintang di tengah jalan. Berhenti, lalu duduk-duduk santai, nggak peduli meski sebenarnya juga baru aja istirahat.
Kami tiba di Pos 2 saat hari sudah gelap. Untunglah kami semua sudah membawa headlamp, sehingga tetap dapat melihat jalur pendakian dengan baik dan bukan malah nyungsep ke jurang hatimu. Rombongan awal sudah tiba jauh sebelum kami datang, sudah mendirikan tenda-tenda dan bahkan mengatur alat-alat masak. Ratusan pendaki lain berada di sekelilig kami, memenuhi tanah lapang di Pos 2 dengan tenda-tenda yang berwarna-warni, menyulapnya menjadi sebuah kampung dadakan.
Di bawah langit malam yang berawan, di antara semak dan pepohonan lebat, di atas bumi Merbabu, kami tenggelam dalam bincang dan canda. Rasa dingin pudar saat kami semua berkumpul di tengah tenda-tenda kami, bersama-sama meracik makan malam berbekalkan kompor, nesting, dan bahan makanan instan. Hasilnya jauh dari makanan cafe yang biasa kami santap setiap malam minggu — 3 tangkup nasi yang lebih mirip dengan inthip atau rengginang, sayur kacang panjang yang dibumbui ala kadarnya, 2 ikan tanpa 5 roti, dan entah printhilan-printhilan apa lagi yang ada dalam makanan kami malam hari itu. Semua lantas dilebur jadi satu di atas lembaran-lembaran plastik dan kertas minyak. Sekejap kemudian, kami semua lahap memasukkan suapan demi suapan, berjejal membentuk elips tak beraturan, mengabaikan etika table manner atau anjuran higienis dari brand sabun mandi. Yang penting makan!
Setelah makan malam, kebersamaan kami masih berlanjut dengan obrolan-obrolan ringan di sekeliling nesting sambil menyeduh kopi atau teh. Ini adalah momen sederhana yang penuh kehangatan. Kami yang biasanya cuma bisa ngobrol melalui aplikasi Whatsapp, sekarang mampu bertemu muka dan bertukar cerita secara langsung. Ya, inilah motivasi utama gue dalam pendakian ini: jalan bareng. Gue nggak peduli kalau nanti nggak bisa mencapai puncak, atau berhasil tiba di puncak dalam kondisi langit berawan, yang penting gue bisa jalan bareng mereka. Puncak adalah BONUS!
Saat udara dingin nggak mampu lagi ditahan-tahan, gue akhirnya beringsut masuk ke dalam tenda bareng rombongan dari Jawa Timur: mas Tigor, Doni alias Inod, dan Ikhsan. Mas Tigor, si Jawa tulen yang selalu dikira keturunan Batak itu, sudah tidur nyenyak di posisi terdekat dengan pintu masuk. Gue mengambil tempat di ujung tenda, sementara Ikhsan ada di antara kami dan Doni masih betah berlama-lama di luar.
Dini hari, hujan mengguyur lahan perkemahan kami. Gue kedinginan. Sleeping bag sewaan ini nggak kuat menahan udara beku yang merangsek masuk melalui celah-celah sempit. Balutan jaket bipolar, kupluk, kaos kaki, dan sarung tangan juga nggak cukup kuat memberi kehangatan. Tidur gue nggak bisa dibilang nyenyak malam itu.
Sabtu, 2 Mei 2015
Syukurlah gue masih bisa bangun dengan sehat beberapa jam kemudian. Gue bahkan kuat keluar tenda tanpa perlindungan jaket dan celana panjang, cuma dengan sehelai kaos V-neck tipis warna hitam dan celana pendek sepaha. Cuaca sudah cukup cerah, udara pagi Merbabu kali ini nggak jauh beda dengan udara pagi Bandung yang sudah biasa gue rasakan setiap pagi.
Namun, gerimis kemudian datang beramai-ramai setelah kami sarapan. Coba datang sendiri-sendiri, nggak bakal jadi masalah deh. Kami akhirnya berkemas dan bongkar tenda di bawah rintik hujan yang semakin lama semakin deras. Sekitar pukul 8 atau 9 pagi, kami melanjutkan pendakian menuju Puncak Kentheng Songo Merbabu setelah mendapatkan arahan dari mas Adi dan Vandra. Bersama Doni, Ikhsan, dan Alvin, Vandra bertahan di perkemahan dan membiarkan kami memulai pendakian lebih dulu.
Jadi, pada pagi menjelang siang itu, kami berduyun-duyun mendaki Merbabu dengan tubuh yang dilapisi dengan ponco atau jas hujan. Nyaman? Jelas enggak. Rempong, cyin! Agar lebih nyaman, gue memilih menggunakan sendal gunung (bukan sepatu) dan tetap memakai celana pendek sepaha. Lupa bawa celana pendek yang lebih layak pakai, dan cuma bawa celana kolor yang rencananya hanya akan gue pakai selama di tenda.
Jalur Wekas adalah jalur pendakian yang terjal dan berbatu-batu. Gue berada di barisan depan, salip-salipan sama Aji, Jabbar, Nico, dan mas Hery — Jomblo Kuartet! Stamina gue sudah lebih terjaga dan dapat bergerak dengan lebih gesit daripada saat memulai pendakian kemarin. Maklum, saat itu masih pemanasan. Selama pendakian, gue juga nggak peduli kalau jas hujan gue yang baru dibeli itu kotor kena tanah dan lumpur. Hih.
Seiring dengan pohon-pohon besar yang semakin jarang terlihat, medan pendakian pun semakin terjal dan menantang, tepatnya setelah kami melalui sebuah medan lapang yang berbatu-batu. Kami kemudian bertemu dengan sebuah jalan sempit berbatu-batu dengan jurang yang menganga di kedua sisi. Errr, inikah Jembatan Setan itu?
Udara dingin semakin terasa menusuk tulang saat angin menerabas segala penjuru dengan leluasa tanpa terhalang pohon-pohon besar. Kami nggak bisa terlalu lama beristirahat atau kami akan kedinginan. Terus bergerak adalah satu-satunya cara untuk menghangatkan tubuh, sebelum jemari ini membeku dan mati rasa.
Bego, harusnya gue pakai sarung tangan.
Bersambung~
Fotografer: Arifin Aji Pamungkas
duh jadi kangen naik gunung. Sudah lebih dari 10 tahun sejak pendakian terakhir saya di Gunung Dempo.
Lama banget, maaaaaasss! Hahaha. Eh, di mana itu Gunung Dempo? 😐
Kabut di gunung dapat membuat tubuh lebih menggigil selain ditambah angin 😀
Hasiikk bgt nih pengalamannya..
Yg bagian pertama wkt mau brkt bner2 kerasa kejar2annya,, untung Dia menghendaki pembuat blog utk k merbabu kali itu ya.. 😀
Ditunggu sambungan ceritanya..
Kereen !
Wah, bisa turut merasakan! Itu adalah momen berpacu dengan waktu hingga rela mengeluarkan uang berapapun biar cepat sampai!
Makasih sudah menyimak. Ditunggu ya 😀
Duh, saya pasti gal kuat deh ada di situasi pendakian. Dingin dan melelahkan sangat. Bacanya doang aja ikut ngos2an
Hihihi. Kalo pas jalan nggak kerasa dinginnya sih, kak 😀
Btw, mbak Donna punya 2 blog ya?
Waah suka naik gunung nih Matius, aku blm pernah 😀 tp kepingin anak2ku nanti bisa bersahabat sama gunung 🙂
Hihihi, iya suka naik gunung. Tapi nggak sering kok, cuma kalo ada ajakan aja.
Pas pertama naik gunung ke Gunung Prau, ada lho bapak ibu sama anaknya yg masih kecil 🙂
[…] Perjuangan Haru Menuju Merbabu [Bagian 2] […]
Jadi inget lagu ninja hatori. Mendaki gunung lewati lembah bersama teman petualang. Naik gunung sambil dengerin lagu ini, tambah semangat Matius 😀
Hahaha. Nggak pernah dengerin lagu sambil naik gunung. Asik ngobrol sih, hehe.
Hi Matius, mau tanya dong. Setiap kali nenda dan masak di gunung, sampahnya dibawa turun lagi atau ditinggal di lokasi?
Dibawa turun lagi. Sampai bawah bahkan kantongnya beranak pinak karena ngambilin sampah selama di jalan. Ada lagi yang ingin ditanyakan?
[…] [BACA JUGA: Pendakian Haru Menuju Merbabu #2] […]
[…] [BACA JUGA: Pendakian Haru Menuju Merbabu #2] […]