Akhirnya, tanggal 9 Agustus lalu, aku menyaksikan sendiri keindahannya.
Sebenarnya, ada 14 orang yang mendaftarkan diri untuk ikut dalam pendakian ke Gunung Cikuray ini. Tapi karena satu dan yang lain hal — mana yang mendadak ada acara kantor, yang kelupaan tanggal dan udah pesan tiket kereta ke luar kota, mana yang ternyata salah baca jadwal dan tertukar dengan agenda pendakian ke Gunung Lawu, sampai yang nyerah tiba-tiba di Terminal Guntur dengan alasan ngantuk. Ngantuk ngana bilang?!!
*timpuk pakai keril*
Jadilah, hanya kami bersembilan — aku, Iqbal, Johan, si kembar Sania Tania, mas Amri, mas Adit, mas Feri, dan mbak Ajeng — yang masih tetap melanjutkan komitmen menggapai Puncak Cikuray.
Oh ya, dari segelintir orang yang membatalkan pendakian tadi, salah satunya adalah mas Adi, sang pemimpin tim. Tadinya, agenda ini pun mau dibatalkan, namun aku lalu menawarkan diri untuk mencoba menangani pendakian ini. Mencari perlengkapan grup yang belum ada, mengkoordinasikan keberangkatan, dan mengatur terselenggaranya acara. Kok jadi kayak panitia pensi SMA. *pfffft*Kami bersembilan bertemu di Terminal Guntur, Garut, pada hari Sabtu dini hari, 8 Agustus 2015. Aku tiba bersama mas Adit dan mas Pandu dengan mobil dari Bandung, sementara 6 orang lainnya berangkat dari Terminal Kampung Rambutan, Jakarta. Terminal Guntur penuh dengan rombongan muda-mudi pemanggul keril pada dini hari itu. Sebagian wira-wiri tak tentu arah, sebagian lagi terduduk ngantuk sambil merapatkan tubuh, mencoba melawan udara dingin kota Garut.
Setelah makan malam, kami beristirahat sebentar di depan sebuah agen bus antar kota yang menyediakan bangku-bangku panjang di luar kantornya. Lumayan, meski hanya beberapa jam, bisa tidur secukupnya sampai badan kembali bugar untuk memulai pendakian. Pukul 5.30, aku mengumpulkan tim untuk memulai perjalanan menuju basecamp di Stasiun Pemancar. Mas Pandu yang saat itu tidur di mobil, memilih untuk membatalkan pendakian. Entah alasan ngantuk itu adalah jawaban yang jujur atau bukan, namun aku tak mau terlalu memaksanya. Sayang sih, dia sendiri udah bawa perbekalan lengkap, sampai rela ngubek-ngubek Bandung tengah malam demi mencari kelengkapan yang belum ada.
Namun rupanya ada sedikit miskomunikasi yang membuat perjalanan kami sedikit tertunda. Kami hanya membawa dua kaleng gas, kurang dari jumlah yang kami butuhkan. Sania bertugas membawa kompor, aku membawa bahan-bahan makanan. Sania mengira aku sudah membeli gas karena biasanya memang sekalian dibeli oleh orang yang beli bahan makanan. Aku mengira Sania udah sekalian bawa gas karena dia yang bawa kompor. Salahku nggak memastikan dulu kelengkapan logistik, dan malah bermain asumsi. Mending main perang bantal, lebih asik.
Hanya mbak Ajeng membawa 2 tabung gas. Jadi kami tunggu Alfamart mulai beroperasi pukul 7.00, beli gas tambahan, dan baru berangkat menuju basecamp.
Perjalanan menuju Stasiun Pemancar dilakukan dengan menyewa mobil pick up dengan ongkos Rp 45.000,00 per orang. Nggak mau ditawar, meski aku sudah pasang berbagai tampang, dari tampang judes, melas, sampai tampang penggoda pun nggak mempan. Katanya, itu sudah harga kesepakatan, rombongan lain pun dipatok harga serupa. Ya sudah, kami naik dan mobil pun berjalan.
Setelah menyusuri keramaian kota Garut di pagi hari, mobil berbelok kanan memasuki jalanan desa yang diapit oleh rumah-rumah warga. Perjalanan yang semula berjalan mulus berubah menjadi penuh goncangan dan aduhan karena melalui jalanan berbatu yang naik turun. Nasib apes punya bokong tepos, nggak punya bantalan yang cukup empuk untuk menjadi shock-breaker alami. Nggak hanya jalanan berbatu, namun juga jalanan kering berdebu yang membuat kami menenggelamkan wajah ke dalam lautan cintamu celah lutut atau tersembunyi di balik masker.
Kami sempat sekali berhenti untuk mendaftarkan diri di pos, lalu kembali melanjutkan perjalanan membelah jalan pegunungan yang memanjakan mata. Hamparan persawahan yang berundak-undak ala terasering Ubud tersaji di sisi jalan, berpadu dengan bentang pegunungan dan gunung-gunung tetangga yang berdiri gagah berlatarkan lazuardi. Ah, Cikuray, sepertinya kau memang benar menjanjikan keindahan yang tak mampu didustakan.
Saat tiba di Stasiun Pemancar, kami beristirahat sejenak karena ada beberapa warung sederhana namun menggoda. Yah, ngemil gorengan dulu, ngopi-ngopi dulu, ngerumpi dulu, bahkan ada yang sempet tidur. Baru setengah jam kemudian, atau sekitar pukul 9.30, kami memulai pendakian setelah sebelumnya berdoa dan briefing singkat agar pendakian dilancarkan.Kami kembali mendaftarkan diri di basecamp Pemancar. Ada sebuah pos kecil ala kadarnya yang akan pendaki temukan di awal jalur pendakian.
Baca Juga: Keindahan Syahdu di Puncak PrauMenit-menit pertama langsung terasa mencekik leher karena jalur pendakian yang berdebu parah. Parahhh!!! Sekali injek, debunya ke mana-mana. Kami beringsut perlahan di bawah gelora sang surya sambil menyelimuti setengah wajah kami untuk menghindari debu. Salah banget nggak bawa masker. Jujur, ini adalah pertama kalinya aku mendaki di musim kemarau, dan aku nggak menyangka jalur pendakian bisa sangat kering dan berdebu seperti ini. Mulai saat itu, masker aku masukkan dalam daftar barang wajib pendakian.
Sebentar kemudian kami sempat berhenti untuk berfoto. Ada satu spot yang sangat instagrammable tak lama setelah memulai pendakian. Ketika panorama Gunung Papandayan dan lembah hijau terbentang di depan mata, menyapa raga.
Memasuki area hutan, jalanan tak lagi berdebu. Tanah masih kering, namun rambatan akar-akar pohon dan bebatuan membuat teksturnya lebih padat. Sudut kemiringan bertambah. Kami menapak jalur menanjak yang diapit pepohonan. Nafas mulai memburu, tubuh mulai basah oleh keringat yang bercampur debu, kami melihat ke depan dan… Naudzubillah! Ini tanjakan nggak ada habisnya dong! Sejauh mata memandang, hanya ada jalan menanjak dengan akar-akar besar yang melintang.
Benar kata orang, jalur Gunung Cikuray adalah jalur Kepala Ketemu Lutut. Bukan hanya tanjakannya yang panjang, namun juga ada banyak medan vertikal sedada orang dewasa. Kami harus berpijak pada akar-akar besar dan bebatuan sambil berpegangan pada akar atau batang pohon, lalu mengangkat tubuh kami yang berpanggulkan keril. Kami mengangkat kaki tinggi-tinggi sampai lutut berpaut dengan dagu, mendesak tubuh terus bergerak ke depan.
Baca Juga: Perjuangan Haru Menuju Merbabu [Bagian 3], Kepingan Surga di Kentheng Songo
Seiring berjalannya waktu, seperti yang biasa terjadi, rombongan terpisah menjadi dua tim. Aku, Johan, Iqbal, Sania, dan Tania, berada di depan, sementara mas Amri, mas Feri, mas Adit, dan mbak Ajeng berada entah di mana. Kami mulai terpencar setelah melalui Pos 1. Aku dan Grup Depan sempat berusaha menunggu mereka agar kami dapat dipersatukan kembali #halah, tapi mereka tak kunjung menampakkan batang pensilnya.
Minimnya bonus di jalur pendakian membuat kami menjadi pendaki masa bodoh. Nggak peduli masih berada di tengah jalan menanjak, kalau udah capek, ya langsung gelesoran aja. Nggak di batang pohon, nggak di batu-batu, bahkan asal duduk ngampar di tanah sekali pun, bodo amat. Baju dan keril kami kotor kena debu juga, emang gue pikirin. Udah nggak peduli sama penampakan kami masing-masing, adek lelah bang. Lelah!
Seolah masih tak cukup dengan semua tantangan di atas, pendakian kami masih harus dipersulit dengan kehadiran — TAWON. Entah tawon nongol dari mana, nyariin siapa, mau ke mana, tapi tawon itu sekonyong-konyong muncul dan beterbangan mengikuti kami. Mau kami berteriak, “Pait pait pait,” sampai ada bunga mekar di mulut, tawonnya tetep nggak minggat-minggat. Kalau pun berhasil pergi, nanti di depan juga ketemu tawon lagi, entah tawon yang sama atau bukan. Jadi, yang tahu cara mengusir tawon dengan efektif, tolong isikan jawabannya di kolom komentar yak. Pelis. Emang susah jadi cowok manis. *dilempar kedondong*
Sekitar pukul 15.30, kami tiba di Pos 6. Rombongan Mas Amri belum juga kelihatan. Kami membangun tenda di sepetak sisa lahan sempit yang ada di tepi tanah miring, di sisi jalur pendakian. Pos 6 sendiri memang tidak luas, hanya mampu menampung kurang dari 10 tenda. Beda banget sama lahan perkemahan di Gunung Merbabu yang luasnya bisa buat turnamen futsal antar kecamatan.
[BACA JUGA: Pendakian Haru Menuju Merbabu #2]
Selesai mendirikan tenda, Grup Belakang masih tak kunjung tiba. Kami pun masuk ke dalam untuk menghangatkan diri sambil duduk-duduk ngobrol atau tiduran. Ingin rasanya memasak air lalu menyeduh segelas kopi, atau merebus mi instan untuk dinikmati, tapi kami tidak membawa gas. Ketiga gas ada di dalam tas mbak Ajeng, dan nesting tersimpan bersama mas Amri, yang sekarang entah berada di mana.
Ya Tuhan, akankah kami menghabiskan senja dalam dingin Gunung Cikuray? Haruskah kami mengemis gas dan meminjam nesting pada kelompok sebelah? Berhasilkah mereka menemukan kami di sini?
ajak2 kpn2
Yuk
Pengen banget naik Cikuray, tapi naik Papandayan ajah K-O wkwkwk
Dahsyat Nug!
Hahaha. Kita juga pecel lela kok, Put. Pendaki Cepat Lelah Lesu dan Lambat 😀
baca ini kok jadi ikut ngos-ngosan ya? kaki berasa pegel kaya ikutan naik gunung cikuray hahaha
Ayo coba langsung, mas. Biar beneran pegelnya 😀
Aku pernah mendaki sekali tapi bukan gunung semacam bukit untuk melihat hamparan alam, lama pendakian 15 menit tapi napas udah gak karuan. Tepar ….
Hahaha. Olahraganya ditambah, kak. Biar nafas lebih teratur 😀
duh baca aja debuan banget rasanya… *uhuk-uhuk-uhuk…
Hahaha. Debunya nyempil di blog *sodorin masker*
tertarik untuk naik Cikuray
Yuk, kak!
cikuray gunung yang ademm.
Iya, kak. Makanya jangan lupa bawa seseorang yang bisa memberi kehangatan ya 😀