Gelap sudah mendekap, namun mas Amri dan yang lain tak kunjung tiba. Aku duduk merangkul lutut di dalam tenda, mencoba menawar dingin yang mulai merambat masuk. Johan dan Iqbal sudah tergeletak pulas di samping kanan dan kiriku, baru saja menghabiskan nasi bungkus yang (untungnya) sempat dibeli di basecamp Pemancar.
Aku takut rombongan mas Amri memutuskan untuk membangun tenda sendiri karena kondisi yang kurang mendukung. Mereka udah tahu juga ‘kan kita bakal nenda di pos 6.
Eh, udah tahu belum ya?
Aku meragukan diri sendiri. Mendadak tak yakin apakah aku sudah memberitahu saat briefing atau belum.
Terus gimana kalau sampai mereka nggak dateng? Minta gas dan pinjem nesting dari tenda sebelah? Apa gue coba kirim sms ya? Eh iya, hape gue mati, dan hape anak-anak yang lain juga nggak ada sinyal. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di dalam kepalaku.
“Mamat!”
Sontak aku terkesiap. Aku yang mulai terkantuk, mendadak terjaga sepenuh raga, yakin ada yang baru saja menyerukan namaku.
Aku lalu menerobos keluar tenda. Berbekal pencahayaan dari headlamp, aku mencari-cari sang sumber suara. Tak ada seorang pun yang kukenal. Halusinasi doang nih?
Butuh waktu beberapa saat untuk aku menyadari keberadaan sosok-sosok itu dan mengenali mereka sebagai mas Amri, mas Feri, mas Adit, dan mbak Ajeng. Mereka berdiri agak jauh dari tenda, berada di jalan pendakian. Kecemasanku lantas menguap lenyap bersama dengan hawa dingin Cikuray.
Anggota tim dari dalam tenda pun beranjak keluar dan bersama-sama menyambut rombongan yang tertinggal. Mas Amri singkat bercerita, kakinya sempat kram sehingga butuh waktu istirahat. Kami lalu saling bantu mendirikan tenda ketiga, setelah sebelumnya sedikit menggeser dan mengkondisikan dua tenda yang sudah berdiri agar tenda ketiga memiliki ruang yang cukup. Sedikit berdesak-desakkan di pos 6 yang sempit dan jalur pendakian yang berada persis di samping tenda-tenda kami.
Tim sudah lengkap, kami lalu menghabiskan malam dengan memasak mi instan dan menikmati makanan ternikmat sepanjang masa. Lebay sik. Tapi ya udahlah, makan di gunung itu emang selalu enak, meski aslinya rasa nggak karuan. Lepas makan, kami menyediakan waktu beberapa saat untuk kebersamaan di bawah galaksi, ditemani cangkir-cangkir kopi penambat hati.
Esok harinya, 9 Agustus 2015, kami bangun pagi-pagi buta memecah lelap dan menaklukkan malas. Agenda untuk berburu momen sunrise kami sambut dengan semangat, apalagi kemarin sore juga nggak dapet momen sunset. Aku, Johan, Iqbal, Sania, Tania, dan mas Adit, bergegas ke puncak berbekalkan headlamp dan perbekalan seperlunya. Sementara tiga kakak-kakak yang lain memilih untuk ditinggal dan akan menyusul kemudian.
Kami kembali melalui jalur menanjak dengan akar-akar besar yang melintang menjadi tempat berpijak aman. Melalui Pos 7 dan Pos 8 yang, surprisingly, lebih luas dari pos 6. Hm, agak menyesal kenapa nggak di pos atas aja, ternyata lebih luas, kurang informasi.
Perjalanan menuju puncak Cikuray dari pos 6 berlangsung selama kira-kira… yah, katakanlah, hampir satu jam jalan. Mendekati puncak, kami kembali menapaki jalan yang berdebu dan rawan tergelincir. Semburat kemerahan perlahan tersingkap di balik siluet pepohonan, mengangkat semangat yang mulai tersikat.
Puncak Gunung Cikuray yang berada di titik 2.818 mdpl ternyata sempit dan sangat riuh pagi itu. Ratusan pendaki berdesak-desakan berebut tempat untuk berfoto dan memfoto. Menyeruak kerumunan massa, kami berhasil menemukan spot di ujung puncak yang tepat menghadap bentang pegunungan bumi priangan.
Tak mau kalah dengan instagrammer yang lain, kami lalu mengeluarkan seperangkat atribut yang telah kami siapkan: bendera merah putih dan selembar kertas bertuliskan Backstrip. Lupa bawa banner. Eh, tenang, kertasnya kami masukkan lagi ke dalam tas setelah selesai foto-foto. Kami bukan pendaki abal-abal yang latah dan hanya numpang ngeksis. #angkuh
Bosan dengan spot pertama, kami melipir ke sudut puncak yang menyajikan panorama samudera awan di depan mata. Puji Tuhan, akhirnya aku bisa melihat langsung keindahan samudera awan Gunung Cikuray yang sudah tersohor di kalangan para pendaki. Awan-awan itu bergulung di bawah naungan langit fajar, bagai kapas-kapas raksasa yang melayang di angkasa. Pendar keemasan tergurat tegas di wajah cakrawala, melengkapi keindahan pagi yang rasanya berat untuk diakhiri.
Aku tertawan dengan pesona samudera awan. Terpaku melihat keindahahan syahdu dari lukisan Sang Penguasa Waktu. Berkali-kali kami mengabadikan imaji, berpindah di sudut demi sudut untuk berfoto selfie, namun seolah kami tak pernah puas menangkap keindahan puncak Cikuray.
Matahari mulai merangkak naik, kami memutuskan untuk kembali merayap turun. Entah kenapa aku ingin berjalan cepat dan tak terlalu menghiraukan teman-teman yang lain. Jangan dicontoh ya. Aku menuruni puncak dengan setengah berlari, seperti menikmati kemampuan diri yang mampu bergerak gesit di luar prediksi. Kadang langkah sedikit terhambat saat bertemu medan yang terlalu curam dan licin hingga harus melangkah pelan dengan bantuan batang-batang pohon. Banyaknya pendaki yang ada di sepanjang jalur sedikit menawar rasa takut karena berjalan sendirian. Di tengah jalan pula, aku bertemu dengan mas Amri dan anggota trionya yang sedang berjalan naik menuju puncak.
Aku pertama tiba di tenda, mendahului Johan dan yang lain. Segera berinisiatif untuk mempersiapkan alat-alat masak dan bahan makanan yang tersembunyi di balik ujung tenda yang menjuntai. Beberapa menit kemudian, Johan tiba bersama Iqbal, Sania, Tania, dan mas Adit.
Dibantu si kembar, aku membuat sarapan dan merebus air untuk teman-teman yang ingin ngopi. Pagi ini, kami memasak nasi dan memanfaatkan bumbu-bumbu nasi goreng yang belum tersentuh. Ditambah dengan potongan-potongan sosis dan kornet, kami membuat nasi goreng ala kadarnya yang susah payah dibuat dengan nesting. Nggak ada teflon atau wajan kecil. Nasinya berkali-kali ditambah air karena terlalu kering, kebanyakan masukkin beras di dalam nesting.
Yah, nasi goreng buatan kami nggak terlalu buruk, meski banyak butir-butir nasi yang masih agak keras karena tingkat kematangan yang nggak merata. Ada rasanya, bisa masuk mulut, dan bisa mengenyangkan. Tiga kriteria itu terpenuhi, sudah cukup. Bahahaha.
Saat rombongan mas Amri tiba dari puncak, mereka membuat menu sarapan tambahan dari kangkung dan sambal pecel kemasan yang dibawa. Pada akhirnya, masih ada saja nasi yang tersisa, padahal kami sudah memaksakan sekuat kami. Bukan karena nggak enak, tapi mungkin karena dimakan bersama-sama dalam satu wadah, rasanya jadi lebih cepat kenyang. Akhirnya aku kemas beberapa bungkus dengan kertas coklat yang sudah kusiapkan dari keberangkatan.
Pukul sebelas siang, kami selesai membereskan tenda dan bebersih. Molor dua jam dari jadwal. Setelah memastikan tak ada sampah yang tertinggal dan sudah diangkut seluruhnya di dalam kantong kresek yang diikatkan di ujung carrier, kami pun bergerak turun. Agak kerepotan karena ada kantong-kantong sampah yang menghambat mobilitas, tapi aku tetap berusaha bisa bergerak cepat.
Sama seperti saat keberangkatan, pada pendakian turun kali ini pun kami mengalami perpecahan grup. Seperti sebelumnya, aku bersama Johan, Iqbal, Sania, dan Tania berada di barisan depan.
Di tengah jalur pendakian, kami dikejutkan dengan insiden kebakaran yang melahap pepohonan hutan. Para anggota SAR sedang berusaha memadamkan api, sementara anggota yang lain berjaga di sepanjang jalur dan bolak-balik mengambil air dari basecamp. Iqbal bercerita, dia sudah melihat ada titik merah menyala dari sejak pendakian ke puncak, namun dia tak menduga itu adalah kebakaran.
Sebagian besar medan dapat kulalui dengan langkah cepat, namun ada saat-saat di mana langkah melambat karena turunan yang terlalu curam dan licin. Aku pun harus berjalan pelan atau bahkan merayap bersetubuh dengan bumi, masa bodoh dengan debu yang menyelimuti sekujur tubuh.
Menggabungkan antara kecepatan dan istirahat minim, kami hanya membutuhkan waktu tiga jam untuk sampai di basecamp Pemancar. Dimulai dari Iqbal yang sudah mendahului rombongan dan tiba sebelum jam dua, lalu aku, Johan, dan si kembar. Aku sampai jam 2 siang, langsung mengkonfirmasikan kedatangan grup di pos basecamp yang tak dijaga saat itu.
Baca juga cerita pendakian lainnya: Tertawan Dalam Pendakian di Gunung Papandayan
Setelah beristirahat sebentar di warung sambil menunggu kedatangan Johan dan si kembar, aku lalu ngacir ke toilet untuk mengeluarkan sampah dan gas yang sudah meronta di dalam perut. Eh, sampai di toilet ngantrinya minta ampun, dan ada dua toilet yang airnya mati.
Selesai urusan perut, kami berlima duduk menunggu rombongan mas Amri di samping warung sambil makan, ngemil, dan ngeteh-ngeteh. Mas Amri datang saat kami sudah terkantuk-kantuk dan mulai kembali kedinginan, saat basecamp yang semula riuh kini hanya menyisakan dua rombongan terakhir untuk diangkut ke terminal.
Meski kesorean, aku bersyukur kami dapat bersatu kembali. Dengan cara dan harga yang sama, kami naik mobil pick-up menuju Terminal Guntur, Kota Garut, di bawah langit senja yang mulai temaram. Setelah 2 jam perjalanan penuh goncangan, kami tiba di terminal yang sudah dibungkus malam. Kami saling berpamitan dan berterima kasih, hingga kami benar-benar harus menyudahi kebersamaan ini saat rombongan Jakarta beranjak masuk ke dalam bus.
Baca Juga: Perjuangan Hari Menuju Merbabu [Bagian 3]
Aku dan mas Adit menyempatkan diri untuk makan malam, membuat kami kehabisan bus ke Bandung. Tak ada pilihan lain, kami pasrah masuk ke dalam mobil camry yang difungsikan sebagai angkutan umum. Yang lebih buruk, kami harus menunggu selama dua jam sampai mobil penuh! Dengan harga yang harus ditebus setinggi Rp 40.000 dan dibayar di muka, kami tiba di Bandung tengah malam.
Berada di dalam taksi menuju kost, aku diajak berbincang dengan pak sopir yang tampak tertarik dengan naik gunung. Sambil bercakap, aku bersyukur diberikan kesempatan menikmati satu lagi gunung negeri yang menyimpan keindahan nan asri. Satu lagi gunung yang berhasil mengasah karakter dan kemampuanku, Cikuray, menuliskan lembar-lembar baru untuk aku ceritakan.
wuiiihhh… saya ada rencana buat daki cikuray nanti pas setelah UTS, tapi untuk sekarang mau daki Ciremai dulu. haha
Wuih, Ciremai! Kita kebalik ya, gue malah ke Cikuray dulu 😀
Eh kemarin kan Ciremai habis kebakaran. Edelweis terbakar habis. Udah mekar lagi belum ya.
Jadi ceritanya melancong ke atas awan ya 🙂 kereeen
Begitulah, om 😀
Wihh… disana juga sempat kebakaran ya??… akhir akhir ini banyak taman nasional yang kebakaran..
Itu kesengajaan atau faktor alam ?
Entahlah.
Iya, bro. Nggak keduanya. Katanya sih kelalaian. Ada yg bakar api unggun atau semacam itu.
Seru banget naik gunung cikuray 😀 Mayan rame juga yak yang naik cikuray, deket sama papandayan kan ni gunung ya kalau nggak salah?
Iya deket, mas. Sama2 di Kab Garut juga kok. Yok cobain 🙂
campingnya sepertinya seru yah. semua rame2 dan ngobrol2.
Iya, kak.
jangan buang sampah di gunung yah. sayang disana gk tukang pungut sampah yang lewat.
Siap!
[…] Menggapai Gunung Cikuray, Tertawan Samudera Awan […]
[…] samudera awan kedua yang berhasil gue nikmati setelah pendakian ke Gunung Cikuray, Garut, di tahun […]