
Mengintip Danau Toba dari Parapat View di pagi hari
Malam sudah lekat, namun aku baru tiba menyongsongmu. Gelap belum terangkat, namun aku sudah harus berangkat meninggalkanmu. Maafkan aku, Toba. Tak banyak waktu tersisa untuk kita dapat bersua.
Jam 3 pagi, gue sudah harus terbangun dari tidur gue yang seadanya di Hotel Parapat View. Baru tengah malam tadi gue sampai di peraduan setelah seharian menjalankan tugas di Karnaval Kemerdekaan di Balige, Toba Samosir.
Dalam perjalanan dari Balige kembali menuju Parapat pun, gue nggak bisa tidur nyenyak karena harus melanjutkan tugas dan mengurus kepulangan. Gue baru tahu kalau tiket kepulangan gue ke Jakarta berangkat jam 9 pagi, dan itu berarti: gue harus cabut dari Parapat pagi-pagi buta. Bhay! Gue lalu buru-buru menghubungi Customer Service Garuda Indonesia untuk reschedule, berharap ada penerbangan menuju Jakarta yang lebih siang. Puji Tuhan, ada penerbangan jam 14:00, dan karena harganya sama, maka nggak ada penambahan biaya. Bersyukur masih bisa melakukan perubahan jadwal hanya beberapa jam sebelum keberangkatan.
Tapi masalah belum selesai karena terbatasnya transportasi dari Parapat menuju Bandara Kualanamu.

Masjid Raya Al-Mashun, Medan, dibangun 1906-1909
Ada bus panitia yang berangkat mengantarkan rombongan menuju Bandara Silangit, tapi buat besok. Gue hanya bisa mengandalkan Parapat Travel, jasa travel jadi-jadian satu-satunya yang kak Rea temukan buat gue. Melalui kak Rea, travel itu bilang bersedia jemput gue sekitar jam 3 pagi untuk diantar ke Bandara Kualanamu. Setelah mendapat perubahan jadwal, gue coba meminta keberangkatan lebih siang. Ya ngapain buru-buru sampai di Kualanamu kalau penerbangannya masih setengah hari kemudian? Tapi pihak travel berdalih macetnya perjalanan Parapat – Medan, bisa-bisa siang baru sampai — begitu katanya.
Gue dan kak Rea sih nggak percaya. Eng-gak-per-ca-ya. Itu bohong. Dusta. Ngibul. Ngapusi!

Masjid Raya Medan ini dibangun oleh Sultan Ma’mum Al-Rasyid Perkasa Alam, Kesultanan Deli
Mungkin betul, saat ini kondisi jalanan menuju Medan padat karena pengunjung karnaval serempak kembali ke rumah setelah karnaval berakhir. Namun prediksi kami, lewat tengah malam udah nggak macet lagi, itu juga kalau beneran macet. Asumsi berikutnya, mungkin pihak travel males harus bolak-balik Parapat – Medan hanya untuk satu penumpang ucluk-ucluk ini, jadi mereka mau gue ini sekalian diangkut bersama penumpang pagi lainnya. Okelah, daripada nasib gue nggak jelas, gue terpaksa sepakat.
Gue belum mandi, belum cukup istirahat. Duduk kedinginan di dalam mobil travel yang tidak ber-AC dan membiarkan udara dingin menerobos masuk dengan leluasa ke dalam mobil. Kondisi mobil penuh dengan penumpang. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi gue saat itu?

Pembangunan Masjid Raya Medan menelan dana hingga 1 juta Gulden!
Kami sempat mampir di sebuah warung pinggir jalan di Parapat. Saat awak mobil mengumumkan rencana ini, gue berharap kami mampir di warung makan khas batak. Ekspektasi gue tak terwujud. Warung makan yang kami singgahi hanya warung makan yang menjual indomie dan makanan / minuman instan. Pffft. Daripada kedinginan dan kelaparan, sepiring indomie goreng dengan suwiran daging ayam pun tandas. Entah lapar atau diberi bumbu tambahan, tapi rasanya nikmat banget.
Sang sopir batak mengemudikan mobil dengan kencang, meliuk gesit melalui tikungan demi tikungan, menyalip kendaraan demi kendaraan hingga menjadi yang terdepan. Prediksi gue tepat, jalanan jauh dari kata macet. Gue terduduk diam di dalam mobil travel yang belum professional ini, menyesal kenapa gue belum punya asuransi perjalanan perorangan yang akan siap memberikan tanggung jawab bila sesuatu musibah terjadi dalam perjalanan.

Diawali oleh Theo van Erp, Masjid Raya Medan lalu dilanjutkan perancangannya oleh J.A. Tingdeman
Gue semakin nggak nyaman saat sang sopir dan seorang krunya mendapat kabar dari handphone kalau mobil travel rekan mereka (yang tadi sempat bertemu di warung makan) mengalami insiden dengan mobil lain. Bukan insiden parah yang mengundang iba atau rasa berduka, hanya insiden ringan yang cukup untuk menyulut emosi kedua pria itu. Sambil tetap berkendara, mereka terus ngedumel dengan suara lantang, ya menyalahkan kebodohan teman mereka, ya mengutuk mobil pengendara lain juga. Kedua mobil akhirnya bertemu di sebuah pom bensin. Beberapa menit berdebat, masing-masing sopir kembali masuk ke mobilnya masing-masing setelah sebelumnya sempat muncul wacana penggantian sopir travel sebelah dengan kru mobil kami yang dirasa lebih becus. Whatever, sak karepmulah.
Betul lah dugaan gue, sekitar jam 7 pagi, mobil sudah nyaris sampai Bandara Internasional Kualanamu, Deli Serdang. Tinggal berbelok ke kanan dan berjalan terus, sampailah di bandara. Namun gue menyuruh sopir untuk melanjutkan perjalanan sampai Medan, dan dia tunduk dengan patuh.

Uniknya, Masjid Raya Medan ini berbentuk segi delapan dengan sayap di keempat arah
Di tengah lalu lintas padat pagi hari, gue tersenyum geli melihat bentor-bentor (becak motor) yang terisi penuh oleh anak-anak SMP. Duduk berdesak-desakkan memenuhi semua kursi dan sudut mana pun yang bisa diduduki hingga satu bentor mampu menampung sembilan anak. Amajing!
Sekitar setengah jam kemudian, mobil sudah memasuki wilayah kota Medan yang sedang padat dengan kesibukan pagi hari. Ternyata jarak dari Bandara Kualanamu menuju Medan nggak sejauh yang gue kira. Pertama-tama, mobil mengantarkan salah seorang penumpang ke dalam sebuah jalan kecil dengan deretan pabrik di salah satu sisinya. Awak mobil turun untuk menanyakan alamat kepada seorang bapak-bapak, karena penumpangnya sendiri nggak paham di mana alamat tujuannya. Oh, God…
Lalu, entah apa yang dikatakan pemuda awak travel itu, si bapak orang lokal mendadak marah-marah dan menghajarnya.
Sungguh.
Bapak itu memukulnya, menendangnya, sambil berseru lantang, “Orang mana kau?”
Gue syok. Tiba di kota Medan, dan gue disambut dengan insiden seperti ini? Oh, well, welcome to Medan!

Jendela Masjid Raya Medan dengan kayu dan kaca patri, khas arsitektur art-nouveau
Satpam pabrik yang berada di sampingnya pun nggak banyak membantu, malah memperkeruh keadaan dan berpihak pada si bapak. Awak mobil yang kewalahan buru-buru kembali masuk ke dalam mobil dengan amarah menggelegak. Sambil berkendara keluar gang, dia dan sopir travel beradu mulut lagi mempersoalkan harga dirinya. Kali ini, bapak sopir tampak sedikit lebih dewasa dan menyarankan pemuda itu untuk tenang. Pasalnya, pemuda bernama Oki itu berniat melaporkan tindakan penganiayaan yang dia terima kepada polisi saat itu juga, berbekal kartu tanda pengenal pers yang dia punya dan bahkan dia tunjukkan pada gue.
Whaaattt? Terus lo mau mengabaikan penumpang lo gitu aja? Gue butuh Asuransi Perjalanan Perorangan deh!

Desain interior Masjid Raya Medan diisi 8 pilar berdiameter 0.6 meter yang menyangga kubah utama
Mendekati pusat kota Medan, mobil berhenti di suatu titik untuk berganti sopir. Gue bersyukur bangeeettt ya Allaaahhh, bebas dari pasangan sopir dan awak mobil yang jauh dari kata professional itu.
Saat ditanya, “Mau turun di mana?” Gue spontan menjawab, “Masjid Raya, bang.” Nah, dari lokasi pertukaran mobil, sebetulnya udah nggak jauh ke Masjid Raya Medan. Namun entah karena kelewat belok atau gimana, abang sopir bilang kalau gue turun terakhir aja. Gue mengiyakan tanpa banyak tuntutan.
Keputusan yang akhirnya gue sadari adalah sebuah kesalahan.

Konon, Tjong A Fie juga berkontribusi dalam pendanaan Masjid Raya Medan
Mobil lalu menurunkan dua orang penumpang di sebuah pasar dan di sebuah komplek perumahan yang jaraknya lumayan dari Masjid Raya Medan. Penumpang terakhir, seorang ibu-ibu dengan anaknya yang masih kecil, turun di sebuah komplek perumahan yang berada di luar Jalan Lingkar kota Medan. Jauh bangeeettt. Waktu satu jam terbuang percuma di dalam mobil!
Saat akhirnya mobil sampai di seberang Masjid Raya Al-Mashun Medan, gue turun dengan rasa lega dan sukacita yang meluap. Akhirnya, salah satu masjid yang berada dalam salah satu daftar impian ini berhasil gue kunjungi. Dirancang oleh seorang arsitek Kristen dan digunakan untuk tempat beribadah umat Muslim, Masjid Raya Medan memancarkan kemegahan dan keagungan yang dapat dirasakan oleh setiap orang beragama.
Gue berjalan menghampiri masjid melalui seorang bapak petugas kebersihan masjid yang bertampang angker. Dari dekat, gue mengagumi keunikan Masjid Raya Al-Mashun Medan yang memadukan arsitektur Moor, Melayu, dan Mughal. Seorang pemuda penjaga masjid mempersilakan gue untuk melepas alas kaki dengan ramah dan menyimpannya di tempat penitipan gratis. Gue menanyakan toilet, dan dia menunjuk ke arah sebuah bangunan kecil di seberang bangunan utama masjid. Pemuda itu dengan sigap meminjamkan sendalnya buat gue pakai.

Masing-masing serambi (sayap) Masjid Raya Medan memiliki langit-langit tinggi dan kubah sendiri
Sekembalinya dari toilet, gue dipersilakan masuk ke dalam bangunan masjid agar bisa lebih puas mengambil gambar. Mungkin karena dia memperhatikan sebuah kamera yang terkalung di leher gue ini.
Puas melihat-lihat desain interior masjid dan berkeliling singkat, gue kembali ke pos penitipan sepatu. Pemuda itu menawarkan bantuan untuk mengambil foto, yang tentu gue sambut dengan senang. Maklum, sebagai seorang solo traveler, salah satu tantangan terberat yang harus dihadapi adalah saat diri ingin berfoto tapi nggak punya mitra foto, hahaha.
Dia menggiring gue menuju titik yang baik untuk berfoto dengan seluruh bangunan masjid yang menjadi latar utuh di belakang. Setelah beberapa kali jepret, gue mencukupkan sesi foto ini. Gue nggak tahu apakah gue perlu memberinya tip atau tidak, tapi saat gue merogoh tas untuk mencari dompet dan meraih beberapa lembar uang, pemuda itu buru-buru pamit untuk menyambut pengunjung yang lain. Gue pun hanya berdiri melihatnya lari menjauh, kembali ke pos penitipan sepatu.

thetravelearn.com sudah menjejak di Masjid Raya Al-Mashun, Medan
Yah, semoga kebaikanmu dibalas oleh Allah ya, bro. Terima kasih atas sambutan hangat dan bantuan tulusnya.
Usai perjalanan yang mendebarkan bersama Parapat Travel itu, gue mulai mencari-cari informasi seputar asuransi jiwa perorangan. Wah, ada banyak jasa asuransi yang menawarkan perlindungan jiwa untuk nasabahnya. Sebagai orang yang nggak terlalu jago hitung-hitungan, gue bingung milih yang mana karena semua kelihatan sama aja, hahaha.
Gue udah sering ditelfon telemarketing asuransi, tapi mereka harus membutuhkan jawaban saat itu juga, sementara gue membutuhkan waktu ekstra untuk menimbang. Syukurlah, sekarang ada Futuready.com, broker asuransi online pertama dengan lisensi dari OJK (otoritas jasa keuangan). Dengan kata lain, Futuready.com ini adalah online shop khusus produk asuransi. Waaaaaahhh! Jadi bisa membandingkan berbagai produk asuransi sekaligus dalam satu wadah nih.

Salah satu produk di Futuready.com
Ada beberapa macam asuransi yang dapat dipilih, misalnya asuransi perjalanan, asuransi kesehatan, dan asuransi kecelakaan. Lalu kita pun bisa menentukan sendiri periode asuransinya, jadi nggak perlu harus ikut selama bertahun-tahun penuh! Seperti platform online shop lainnya, hasil pencarian dapat disaring berdasar premi termurah 😀
Gue pribadi sangat senang dengan hadirnya Futuready.com. Gue bisa membandingkan sendiri berbagai produk asuransi sesuai kebutuhan, dan gue bisa menentukan sendiri periode asuransi gue. Apakah transaksi aman? Yes, dan terjamin. Selamat berbelanja asuransi 🙂
Wakssd gw baru tau nama nya masjid al mashun, gw tau nya mesjid raya medan hehehe. Padahal dah bolak balik pernah sholat disana
Kalau nama aku, tau kan mas?
Drama betul ya perjalanannya. Beruntung deh, bisa jalan jalan ke masjid raya itu. Kan sayang, udah ke Medan gak sempat ke situ. Hehehw
Betul betul betul hehehe
Inertor mesjidnya bagus banget, kaya di Turki #padahalbelumpernahkesana
Hahaha. Virtual traveling ke Turki 😀
Gie, aku kok ngerasa antara isi cerita sama foto-fotonya nggak nyambung ya? Itu bisa jadi 2 entitas yg terpisah. Karena kalau aku perhatikan foto-fotonya, aku rasa kamu bisa cerita lebih banyak tentang seluk-beluk Masjid Raya Al-Mahsun.
Ini memang disengaja, mas.
Aku pikir, kalau mau cerita soal sejarah dan arsitektur Masjid Raya Al-Mashun, udah banyak sumbernya. Jadi aku cerita perjalanan mencapainya aja. Aneh ya?
kurang pas Gie. Klo nggak ada foto dicoba pakai foto stock dr internet atau gambar ilustrasi.
Oke, mas. Makasih masukannya ya, sangat berguna 🙂
wow… dramanya seru… aku dong, pernah mau dilempar kereta sm orang gara2 salah nyeberang jalan!
Tunggu.
Dilempar “kereta”?
motor
Oh iya, hahaha
Hahaha..penuh drama sejuta makna.
Iya, mas. Unforgettable 😀
[…] Baca Juga: Drama Perjalanan Menuju Masjid Raya Al-Mashun, Medan […]
[…] masjid-masjid agung tanah Melayu yang lain — misalnya Masjid Baiturrahman di Aceh atau Masjid Raya Medan, Masjid Agung Palembang justru dirancang tanpa kubah bulat besar yang menjadi mahkotanya. Masjid […]