Mengesampingkan fakta bahwa aku sudah setahun menjomblo adalah seorang penganut Kristen Protestan, aku suka blusukan di pecinan dan berkunjung ke masjid lokal. Sebagai sebuah negara di mana Islam menjadi agama mayoritas, rasanya tak lengkap bertandang ke satu kota tanpa mengunjungi masjid besarnya. Pastilah dirancang dengan arsitektur megah, penuh falsafah, dan menyimpan nilai sejarah, tak terkecuali di kota Palembang yang indah. Tsaaahhh.
Saat aku berkesempatan melawat Palembang pada akhir Juni lalu, Masjid Agung Palembang dan Masjid Cheng Ho di Jakabaring menjadi dua objek destinasi religi yang mengisi agenda perjalanan.
Masjid Agung Palembang terletak tak jauh dari Jembatan Ampera dan Benteng Kuto Besak. Usai mengikhlaskan uang Rp 300.000 untuk menyewa perahu ke Pulau Kemaro, Heru dan Nana menggiring langkahku menuju Masjid Agung. Kami berjalan di bawah matahari yang tengah menghujani kota dengan curahan kasih sayangnya. Sedikit kesulitan menyeberang bunderan lantaran warga Palembang yang keras dalam hal berlalu lintas, tak mau mengalah dan senang memberi kejutan dari arah tak terduga.
Saat pertama bertemu muka dengan fasad Masjid Agung Palembang, aku sedikit terkejut. Tak seperti masjid-masjid agung tanah Melayu yang lain — misalnya Masjid Baiturrahman di Aceh atau Masjid Raya Medan, Masjid Agung Palembang justru dirancang tanpa kubah bulat besar yang menjadi mahkotanya. Masjid Agung Palembang ini justru kental dengan arsitektur Jawa, serupa Masjid Agung Yogyakarta atau Surakarta.
Baca Juga: Memahami Arsitektur Masjid Agung Surakarta
Heru segera menunaikan kewajibannya untuk sholat. Nana yang sedang berhalangan memilih duduk di tepi air mancur yang dijadikan tempat mengambil wudhu. Aku meninggalkannya sejenak, beringsut masuk ke dalam masjid yang masih ramai dikunjungi umat-Nya. Aku melepas alas kaki, meletakkannya pada tempat penitipan yang dijaga oleh seorang pria berkumis tipis yang masih terbilang muda. Dengan langkah berjingkat-jingkat karena tak tahan dengan lantai serambi yang panas terpanggang sinar matahari, aku bergerak masuk ke dalam masjid.
Masjid Agung Palembang berdiri di persimpangan antara Jalan Merdeka dengan Jalan Jend. Sudirman, Kel. 19 Ilir, Kec. Ilir Barat I. Masjid yang merupakan peninggalan dari Kesultanan Palembang Darussalam ini dulunya disebut dengan nama Masjid Sultan karena memang dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau Jayo Wikramo (1724-1758). Dibutuhkan waktu satu dekade dari peletakan batu pertama pada 1738 hingga peresmian masjid pada 26 Mei 1748 yang berdiri di sisi utara Istana Kesultanan Palembang, di belakang Benteng Kuto Besak.
Masjid Agung Palembang dibangun dengan luas sekitar 1.080 meter persegi. Konon mampu menampung 1.200 jemaah, dan menjadi masjid terbesar di nusantara pada masanya! Paduan langgam arsitektur Jawa, Eropa, dan Tionghoa menghiasi masjid ini. Atapnya berundak tiga dengan bentuk limas pada puncaknya. Terdapat jenjang berukiran bunga tropis pada mustaka (puncak atap masjid) dengan mustika berpola bentuk merekah pada ujung mustaka.
Baca Juga: Semarang Ekspres — Gereja, Klenteng, dan Masjid Agung
Sentuhan arsitektur oriental tampak pada gaya atap utama masjid yang menyerupai atap klenteng. Terdapat jurai daun simbar yang berbentuk menyerupai lengkungan tanduk kambing pada atap limas. Setiap garis sudutnya lalu diisi dengan tiga belas jurai yang membuat atap masjid tampil lebih dekoratif.
Atap serupa juga dapat dijumpai pada atap menara yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1774). Menara dibangun menjulang setinggi 20 meter dengan bentuk segi enam. Sementara sang menara baru (45 meter) kemudian dibangun pada 22 Januari 1970, berdiri berdampingan dengan harmonis bersama menara terdahulu yang bergaya tionghoa.
Sementara itu, percik arsitektur Eropa ada pada desain pintu gerbang utama dan pilar-pilar besar yang kokoh menyangga atap masjid. Pintu dan bukaan-bukaan di sekeliling sisi bangunan juga dirancang dengan bentuk lengkung yang memanjang, khas gaya arsitektur Eropa.
Baca Juga: Naik ke Menara Masjid Raya Bandung
Saat ini, setelah mengalami beberapa kali renovasi dan perluasan, keseluruhan lahan masjid mencapai 15.400 meter persegi dan dapat menampung 15.000 jemaah!
Aku hanya bergeming di depan pintu, mengambil gambar dan mengamati desain interiornya tanpa mengganggu kekhusyukan jemaah yang sedang sholat, dzikir, atau… tidur siang. Setelah mengambil gambar dari beberapa titik, aku segera kembali keluar.
“Puasa nggak, mas?” tanya abang penjaga masjid saat aku memakai sepatu di batas suci.
“Nggak, mas,” jawabku nyengir, yang dibalas dengan senyuman hangat. Mungkin dia sedikit heran, karena aku masuk ke dalam masjid dengan kamera yang terkalung di leher, lalu keluar tak lama kemudian.
Wah, nuansa multikultur rupanya tak hanya melapisi fisik bangunan Masjid Agung Palembang. Kehangatannya merasuk ke dalam hati setiap pribadi, hingga sudi menerima kunjungan setiap pelancong dengan harmoni.
Aku dan Heru mengunjungi Masjid Cheng Ho pada siang yang terik keesokan harinya. Dari pusat kota, kami bergerak ke arah selatan, menuju kota baru Jakabaring. Masjid yang bernama lengkap Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho tersebut terletak di tengah komplek Perumahan Amin Mulia, Jakabaring, sehingga dibutuhkan kendaraan pribadi untuk mencapainya.
Tak seperti dugaanku, rupanya Masjid Cheng Ho ini bukanlah sebuah masjid bersejarah peninggalan zaman kerajaan. Masjid berukuran 20×20 meter ini dibangun atas prakarsa Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Palembang pada tahun 2005 hingga 2008. Pembangunan masjid didasarkan atas tujuan untuk mempererat dan mempertahankan kerukunan antar etnis di Palembang.
Baca Juga: Bertandang ke Palembang #1: Pulau Kemaro
Masjid dibalut dengan guyuran warna merah khas arsitektur Tionghoa. Sepasang menara setinggi 5 tingkat (17 meter) mengapit masjid berkubah hijau tua tersebut. Angka 5 melambangkan 5 waktu sholat yang dilakukan umat muslim setiap harinya, sementara angka 17 adalah jumlah rakaat yang dilakukan. Setiap tingkat menara memiliki atap yang memiliki ornamen tanduk kambing dan jurai-jurai di setiap sudut atapnya. Serupa dengan gaya atap Masjid Agung Palembang, ‘kan?
Masjid Cheng Ho berdiri di atas lahan seluas 4.990 meter persegi yang merupakan tanah hibah dari Gubernur Provinsi Sumatera Selatan saat itu, Syahrial Oesman. Kapasitasnya mencapai 500-600 jamaah dengan tempat parkir yang cukup luas.
Seperti biasa, aku pun melepas alas kaki dan masuk ke dalam masjid untuk mengintip interiornya. Tak ada yang terlalu istimewa. Dinding interiornya dipoles dengan warna oranye yang segar dengan pilar-pilar berwarna merah yang menyangga atap bangunan. Pada bangunan utama masjid, lantai parket dilapisi dengan sajadah. Tak ada apapun di lantai 2 masjid yang melingkar di atas lantai dasar, hanya lantai parket yang dibiarkan telanjang dan pagar pengaman berwarna merah.
Ada sebuah lampu gantung yang menjulur dari langit-langit masjid di bawah kubah. Selain dengan bukaan-bukaan lebar yang ada di sekeliling masjid, sistem sirkulasi udara juga dibantu dengan kipas angin elektronik yang menempel di sudut dinding dan langit-langit masjid.
Baca Juga: 15 Hal yang Dapat Kamu Lakukan di Palembang
Selesai mengambil foto, aku duduk-duduk santai di luar bangunan sambil menunggu Heru yang masih menyelesaikan kewajibannya. Sayang tak ada penjual makanan atau fasilitas hiburan lain di sekitar masjid, sehingga tak banyak yang dapat dilakukan. Hanya ada angin sepoi yang berusaha membuatku nyaman di tengah cuaca terik dan kawasan minim area hijau ini. Setelah Heru selesai sholat, kami segera beranjak dan melanjutkan perjalanan ke Jakabaring Sport Complex.
Bagaimana, tertarik berwisata religi ke Masjid Agung Palembang dan Masjid Cheng Ho? Lokasinya yang ada di pusat kota dan arsitekturnya yang kaya membuat Masjid Agung Palembang wajib kamu kunjungi. Entah sekedar mengambil foto, duduk santai di pelataran luarnya yang diisi beberapa penjaja makanan, atau menyempatkan diri beribadah di dalamnya. Sementara Masjid Cheng Ho dapat disimpan jika masih ada waktu luang, atau saat kebetulan berada di kawasan Jakabaring. Senangnya jalan-jalan sambil belajar 😀
duhh yang masjid cheng ho di Surabaya aja aku belum nih, padahal lumayan deket dari rumah
Lah, gih ke sana Dit! Rumah sendiri malah lupa ya wkwkwk.
Mesjid agung palembang ini penampakan nya mirip2 kayak mesjid gede ngak sech ??? dengan pilar2 nya gitu
Nah iya, mas. Kayak Masjid Gede di Jogja sama Solo. Makanya aku juga surprised 😀
Masjid Cheng Ho malah aku baru tahu ada di Palembang. Sakngertiku cuma ada di Surabaya thok. Penasaran juga, memangnya komunitas muslim tionghoa di Palembang ya banyak ya? Karena setahuku orang tionghoa di Sumatera kan banyaknya ada di Medan.
Eh bener katamu. Nyebrang ke masjid agung Palembang itu susah! Posisinya pas di tengah-tengah kayak bunderan dan zebra crossnya nggak persis ada di pintu masuk yg gede. 😀
Tionghoa Muslim sih kurang ngerti, mas. Tapi di Palembang memang banyak etnis Tionghoa. Yg di Medan belom kesampaian 😦
Iya itu susah kampret! Untung sama 2 orang lokal hahaha.
Masjid Agung Palembang benar-benar unik ya? Kalau sekilas dikasih gambarnya aja, dan disuruh nebak, pasti langsung berpikir ini salah satu masjid tua di Jawa, bukan di Sumatra. Tapi mungkin karena memang sejak jaman dulu, kerajaan di Sumatra Selatan memiliki hubungan mesra tarik ulur dengan kerajaan2 di Jawa, maka kebudayaan mereka pun bersaling silang.
Nice article Guh 🙂
Iya, bang. Katanya sih Kesultanan Palembang Darussalam itu keturunan Kerajaan Demak 😀
Dan seandainya mereka masih keturunan Sriwijaya, maka mereka pun masih bersaudara dengan para bangsawan Mataram.
Sepertinya begitu. Kalau mengamati bahasanya, memang ada beberapa kosakata yg mirip atau sama persis dengan bahasa Jawa 🙂
Yup, betul banget 🙂
Duh, wisata masjid kayaknya menarik sekali Kak. Cuma kadang saya agak sungkan untuk masuk ke dalam sana, pernah tergoda buat jelajah sampai ke dalam Masjid Agung Demak ketika tandang ke sana cuma saya lihat ada papan kalau nonmuslim tidak diperkenankan masuk jadi saya melipir ke museumnya :hehe. Ah, lain kali kalau tandang ke masjid yang tak menampilkan aturan seperti itu, permisi lihat kanan kiri kemudian cus masuk agaknya boleh kali ya :hehe.
Indonesia dan Tionghoa memang punya hubungan erat! Agaknya hampir semua agama di negeri ini punya cerita dengan tanah Tiongkok, dalam bentuk dan nuansa yang unik satu sama lain. Keren!
Eh, aku baru tahu Masjid Agung Demak gak boleh dimasuki sama kalangan non muslim. Tenang, kak. Masih banyak masjid lain yg dapat dimasuki siapapun 🙂
Mungkin bisa dilihat masjid2 mana saja yg pernah saya masuki 😀
Iya, ada papan pengumumannya seperti itu :hehe. Sip, saya izin berkeliling ya, terima kasih :hoho.
Hm.. Aku menyayangkan sih, tapi pasti ada reason behind. Selamat menjelajah, bro!
Yo, thank you :)).
Unik mesjid Cheng ho’nya ada pagodanya juga. Bisa masuk pagoda gak kiranya? 😀
Mm.. Yg di Masjid Cheng Ho bukan pagoda sih, cuma menara masjid tapi atapnya dirancang seperti gaya tiongkok 🙂
Wah, gue kok gak kepikiran ya buat masuk menaranya. Jadi gak tau deh boleh atau enggak.
Oh menara aja. Dipikir macam pagoda gitu. Di previous aja gar 😀
Hahaha. Macam video aja di-previous. Coba hidup bisa gitu 😀
Eh, “gar”?
Belum pernah ke Masjid cheng ho Palembang, kalo yg di pasuruan n surabaya udah pernah 🙂
Nanti dicoba, kak. Aku malah belom ke Masjid Cheng Ho Surabaya dan Pasuruan 😀
eh, iya loh? itu di palembang kan? kalau liat di foto – fotonya arsitekturnya beneran jawa banget. Masjid dekat rumah, bagian dalamnya mirip kayak masjid agung palembang 😀 kok bisa gitu ya? Kalau yang masjid ceng ho emang pasti ada sentuhan arsitektur china ya.
Nah kan, nggak cuma aku yg surprised! 😀
Konon Kesultanan Palembang Darussalam itu masih keturunan Kerajaan Demak, mas. Cmiiw.
nah, kalau memang cerita itu bener, berarti memang budaya jawa ada yang dibawa kesini 😀 *baca – baca lagi ah*
Iya, mas. Salah satunya adalah bahasa. Ada beberapa kosakata bahasa Jawa dalam bahasa Palembang, misalnya “dewekan” dan “bae”. 😀
Jadi, nama Cheng Ho ini dipilih karena salah satu yang memprakarsai adalah keturunan Tionghoa ya mas? Kirain karena sejarah, karena si pak Cheng Ho ini pernah mampir ke Palembang, lantas dinamakan Cheng Ho. Saya salah menebak ternyata hehehe
Mm.. Setahu gue sih Cheng Ho nggak ke Palembang ya. Mohon koreksi temen2 kalau salah 😀
Jadi iya, dinamakan Cheng Ho sebagai penghormatan terhadap beliau.
Itu dia, awalnya nebak kalau Cheng Ho semepet mampir ke sana. Ternyata enggak pernah ya hehehe
Nanti kalau dia mampir aku kabari, Pap 😀
Waduuuh, horor juga ya. Kan udah meninggalkan dunia tuh si pakde Cheng Ho nya hehe
Bahahaha 😀
Masjid agung Palembang kukunjungi karena panas niaaannn berjalan-jalan di tepi sungai Musi. Jadilah ngadem-ngadem di situ sembari menunggu waktu bisa checkin di hotel. Bener, nyebrangnya pe-er bangett..
Iya, mbak. Kita ke Palembang saat musim kemarau. Panas terik banget, tapi syukur daripada malah hujan hehe.
Oh, iya, kalau masjid Cheng Ho-nya koq nggak menarik ya, aku jadi nggak ke sana deh.. 😛
Aku pun begitu, mbak. Pas udah ke sana, agak di bawah ekspektasi sih, karena aku kira bangunan tua bersejarah. Tapi gpp, seneng juga bisa ke sana 🙂
masjid cheng ho menarik banget, bener2 multikulture banget ya 😀
Iya, Palembang sangat multikultur. Warga Tionghoa-nya cukup kuat 🙂
Ada kampung Arab juga.
wah baru tau nih ada masjid cheng ho di palembang, setau gw sih di surabaya yg ada yaa.
Selain Palembang dan Surabaya, masih ada lagi di Pasuruan 🙂
Unik ya
[…] di kota-kota Indonesia yang aku hampiri. Dari Masjid Raya Bandung, Cirebon, Semarang, Solo, hingga Palembang. Nah, siapa yang tak kenal Masjid Agung Baiturrahman? Kemegahannya sudah terekspos di berbagai […]
[…] Muslim atau non muslim, kamu sebaiknya menyempatkan diri mampir di masjid ini. Nggak seperti masjid-masjid di tanah melayu, Masjid Agung Palembang justru tampak seperti masjid khas keraton di tanah Jawa. Selengkapnya, baca di SINI. […]
[…] Blog yang paling saya suka adalah blog milik kak Nugi, The TraveLearn. Sesuai dengan namanya, Blog ini banyak mengajarkan saya tentang tips-tips travelling dan Blogging, yang sedikit demi sedikit membuat saya mulai banyak tahu tentang kedua dunia tersebut, salah satu tips yang saya suka adalah Travel Blogger tapi jarang traveling ?? ini tipsnya , dari tips itu saya mulai membuat post yang berisi perjalanan di satu atau dua tempat saja, padahal dulunya saya langsung membuat cerita perjalanan di suatu Kota atau Negara langsung dalam satu post. Selain itu, Kak Nugi juga seorang city explorer, yang blognya banyak diisi dengan cerita perjalanan mengeksplorasi kota, mengunjungi tempat-tempat yang banyak dijumpai di kota, seperti alun-alun, museum, dan masjid. Kendati Kak Nugi adalah seorang Non Muslim, saya sangat kagum karena Masjid adalah salah satu tempat yang sangat suka ia kunjungi ketika melakukan perjalanan ke kota-kota di Indonesia. Post yang paling saya suka adalah Memahami arsitektur masjid agung surakarta dan nuansa multikultural masjid Agung Palembang dan Masjid Cheng Ho . […]
[…] Muslim atau non muslim, kamu sebaiknya menyempatkan diri mampir di masjid ini. Nggak seperti masjid-masjid di tanah melayu, Masjid Agung Palembang justru tampak seperti masjid khas keraton di tanah Jawa. Selengkapnya, baca diSINI. […]
[…] ditanya, “Mau turun di mana?” Gue spontan menjawab, “Masjid Raya, bang.” Nah, dari lokasi pertukaran mobil, sebetulnya udah nggak jauh ke Masjid Raya Medan. Namun […]
[…] Muslim atau non muslim, kamu sebaiknya menyempatkan diri mampir di masjid ini. Nggak seperti masjid-masjid di tanah melayu, Masjid Agung Palembang justru tampak seperti masjid khas keraton di tanah Jawa. Selengkapnya, baca di SINI. […]
[…] Sport City. Sebagian besar objek wisata di Palembang terkonsentrasi di kawasan Ampera, seperti: Masjid Agung Palembang, Monpera, pecinan, kampung Arab, dan beragam tempat kuliner. Ketek (perahu kecil) menuju Pulau […]
[…] Sport City. Sebagian besar objek wisata di Palembang terkonsentrasi di kawasan Ampera, seperti: Masjid Agung Palembang, Monpera, pecinan, kampung Arab, dan beragam tempat kuliner. Ketek (perahu kecil) menuju Pulau […]