Gerimis mulai turun saat kami beranjak keluar dari gedung Lawang Sewu. Namun rintik hujan tidak menyurutkan hasrat kami untuk… berfoto selfie di samping Lawang Sewu dan di depan Monumen Tugu Muda, tepat membelakangi Lawang Sewu. Manuver monopod (baca: tongkat narsis, tongsis) dilakukan dengan gesit di bawah rintikan air hujan, nggak peduli dengan tetes air yang membasahi layar ponsel murahan kami — oke, ponsel murahan gue, smartphone punya Sulis lebih mahal kayaknya.
Menerobos rintik gerimis, kami berkendara mencari sarapan untuk memenuhi hak kami sebagai makhluk biologis yang selalu kelaparan. Sulis mempersilakan gue duduk di depan, paham betul kegengsian cowok duduk di belakang dibonceng cewek. Tadinya kami ingin mencari sarapan di Simpang Lima, namun karena warung-warung di sana masih tutup, kami lalu beranjak ke Taman KB. Tutup juga. Kami kemudian secara tidak sengaja menemukan sebuah warung Tahu Gimbal tepat di depan gedung SMAN 2 Semarang.
Cerita tentang Tahu Gimbal ini akan gue bahas sendiri pada tulisan terpisah.
Syukurlah, kelar sarapan, hujan sudah reda, meski awan kelabu masih menggelayut di bawah tingkap langit. Sulis menyarankan untuk berkunjung ke Gereja Blenduk lebih dulu. Gue sepakat, taat tanpa perlu berdebat. Lokasinya nggak terlalu jauh dari Lawang Sewu, dekat dengan kawasan Johar, jadi kami sudah sampai beberapa menit kemudian.
Kami memparkirkan sepeda motor di depan Taman Srigunting yang berada di depan Gereja Blenduk. Sulis kemudian disibukkan dengan telepon dari temannya yang sedang kebingungan dengan agenda liburannya di Bali. Gue berjalan meninggalkannya sejenak di bangku taman, masuk ke dalam gedung gereja. Selembar uang Rp 10.000 itu lalu berpindah tangan begitu saja kepada sang penjaga gereja.
Agak kecewa, sebetulnya, kenapa harus diberlakukan HTM segitu mahalnya untuk pengunjung. Gereja ini masih difungsikan sebagai tempat ibadah, setiap minggu jemaat akan memberikan persembahan dan setiap bulan akan memberikan perpuluhan yang tentu dapat digunakan untuk perawatan dan pembangunan gereja. Mungkin, harga tiket masuknya dapat sedikit diturunkan, atau digratiskan untuk sesama kaum Nasrani.
Di dalam gedung gereja pun nggak banyak yang bisa dilakukan. Gue hanya melihat-lihat, mengambil beberapa foto, dan membaca daftar pendeta pada sebuah lempengan yang ditempelkan pada dinding. Interior di dalam memang bagus, khas gaya neo klasik yang megah. Namun ukurannya kecil, apalagi pengunjung tidak diizinkan naik ke lantai 2. Jadi, jujur aja, tiket masuk sebesar Rp 10.000 tadi memang terlalu mahal buat gue.
Gereja Blenduk merupakan salah satu landmark kota Semarang yang populer, sehingga kunjungan ke gereja tertua di Jawa Tengah ini adalah sebuah kewajiban setiap traveler. Dibangun pada tahun 1753 dengan gaya rumah panggung khas Jawa, Gereja Blenduk kemudian direovasi pada tahun 1894 oleh de Wilde dan Westmas hingga memiliki bentuk kubah besar seperti sekarang. Karena bentuk kubahnya yang menonjol itulah, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) jemaat Imanuel ini lebih populer disebut Gereja Blenduk oleh masyarakat (blenduk: bentuk membulat).
Selesai melihat-lihat interior Gereja Blenduk, gue mengajak Sulis untuk sedikit berjalan-jalan menyusuri Kota Lama Semarang. Kami berjalan menyusuri jalanan yang dilapisi dengan batu alam, sementara bangunan-bangunan tua berdiri sekarat di kedua sisi jalan dengan cat yang sudah kusam dan terkelupas di sana sini. Hanya gedung-gedung di jalan utamanya saja yang masih difungsikan dan dirawat dengan baik.
Dari kawasan Kota Lama, kami kemudian beranjak menuju kawasan Pecinan di Gang Lombok.
Seperti namanya, Gang Lombok ya wujudnya berupa dua jalan kecil layaknya gang yang mengapit Kali Semarang. Dinamakan Gang Lombok, karena memang tempat ini pada awalnya adalah sebuah kebon lombok.
Pelancong yang belum mengenal Semarang, atau yang bepergian tanpa bantuan warga lokal, mungkin akan sedikit kesulitan menemukan gang ini. Ada sebuah klenteng populer yang berdiri di salah satu sudut gang, dengan beberapa rumah makan Tiongkok (termasuk Lumpia Gang Lombok yang juga terkenal itu) yang berderet di depannya.
Kami berjalan menghampiri Klenteng Tay Kak Sie yang berdiri dengan bersahaja di bawah teriknya matahari siang itu. Gue nggak melihat adanya pengunjung klenteng selain kami berdua. Ada beberapa orang di dalam klenteng, namun mereka semua adalah orang-orang yang memang tinggal dan atau bekerja di klenteng Tay Kak Sie. Klenteng tampak lengang. Orang-orang memilih untuk berkerumun mengelilingi warung Lumpia Gang Lombok.
Tay Kak Sie berarti “kesadaran”. Klenteng ini dibangun untuk memfasilitasi kaum Tionghoa yang bermukim di kawasan tersebut setelah sebelumnya mereka harus pindah dari kawasan pecinan terdahulu di Kedung Batu. Daripada harus selalu berjalan kaki jauh-jauh ke Klenteng Sam Poo Kong, mereka memutuskan untuk membangun klenteng baru di lokasi tempat tinggal mereka.
Klenteng Kwan Im Ting dibangun pada tahun 1724 di salah satu sudut di pemukiman. Namun karena terjadi sebuah perkelahian di halaman klenteng dan klenteng dianggap tidak aman, pada tahun 1771 klenteng dipindahkan ke sebuah lokasi baru seperti yang dapat dilihat saat ini dan dinamakan Klenteng Tay Kak Sie. Di sini, warga dapat melakukan ritual keagamaannya dalam menghormati Lakzamana Cheng Ho / Zheng He dan memuja Dewi Welas Asih, Kwan Im, yang juga disebut Avalokitesvara.
Beberapa menit hanya melihat-lihat dan mengambil foto, Sulis lalu mengajak gue untuk mencoba Ciam Si, semacam praktek uji keberuntungan atau meramal ala Tiongkok. Tawarannya lumayan menarik. Kami lantas bertanya kepada seorang bapak tua yang sedang duduk leyeh-leyeh di salah satu bangku. Bapak itu lantas mengarahkan tangannya kepada seorang wanita tua yang terduduk di sudut klenteng.
Namanya ci Su Lan. Perawakannya kurus dengan kulit kuning langsat yang tak lagi mampu mempertahankan kemudaannya. Kami berdua mengutarakan maksud kami kepadanya. Dia mengangguk, siap melayani kami.
Ada beberapa tahapan untuk melakukan Ciam Si. Pertama-tama, individu memutar-mutarkan kedua telapak tangannya di atas hio. Kedua, individu diminta untuk menjatuhkan sepasang kepingan kayu, seperti praktek menjatuhkan dadu dalam permainan ular tangga. Ci Su Lan kemudian akan melihat sisi mana yang menghadap ke atas. Terakhir, individu diminta untuk menggoyang-goyang sebuah wadah berisi lidi-lidi hingga ada satu lidi yang terjatuh dengan sendirinya. Ini adalah tahap yang paling susah! Jumlah lidinya banyak, memenuhi wadah, dan berat. Menggoyang-goyangkannya hingga ada satu lidi yang jatuh adalah pekerjaan yang tidak mudah. Gue malah menjatuhkan 2 lidi sekaligus. Ci Su Lan memilih lidi yang jatuh pertama, memungutnya untuk dijadikan panduan lembar ramalan yang akan diberikan.
Setelah kami berdua melakukan semua prosesi, ci Su Lan lantas mengajak kami duduk untuk membacakan lembar ramalan yang terpilih dan mengartikannya. Satu petuah yang paling gue ingat hingga saat ini, gue akan hidup dengan makmur setelah gue menikah nanti. Sementara Sulis diberikan nasehat untuk mengaitkan peniti pada bajunya untuk perlindungan, bahwa dia juga harus bersabar untuk mendapatkan pekerjaan yang paling tepat.
Well, gue bukan tipikal orang yang percaya dengan seni ramal meramal seperti itu. Begitu pun Sulis. I did this just for fun! Namun, beberapa petuahnya gue anggap baik, jadi gue gunakan untuk mengubah pola pikir. Bayangan hidup yang lebih susah setelah menikah lantas gue tepis jauh-jauh!
Kami berdua lalu undur diri kepada ci Su Lan. Sayang, kami lupa berfoto bersama.
Deretan rumah makan Tiongkok di depan klenteng Tay Kak Sie itu tidak gue sia-siakan. Gue spontan melipir masuk ke dalam salah satu rumah makan yang sepi, lalu memesan Bakmie Goreng Babi atau Pork Noodle. Sementara Sulis… yah, karena dia muslim, jadi dia memesan es teh manis — Teh Botol sih lebih tepatnya. #sebutmerek
Harganya standar Bandung atau Jakarta, sekitar Rp 20.000-an, gue lupa berapa tepatnya. Tapi enak kok, daging babinya empuk, cukup mengenyangkan! Niat hati ingin membeli Lumpia Gang Lombok, sayang sudah kehabisan. Lain kali gue ke Semarang, gue akan mendatangi Lumpia Gang Lombok pagi hari.
Lepas dari kawasan Gang Lombok, kami beranjak menuju destinasi berikutnya: Pagoda Avalokitesvara di Watugong. Nah, tempat ini cukup spesial buat gue, jadi akan diceritakan juga pada tulisan terpisah.
Sore hari menjelang jam-jam terakhir gue di Semarang, kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke Masjid Agung Jawa Tengah. Destinasi ini disimpan di tempat terakhir karena jaraknya cukup dekat dengan pool Bandung Express di Karangsaru. Terima kasih banyak, Sulis. Kamu benar-benar membantu! *smooch*
Syukurlah, nggak perlu tiket untuk masuk ke dalam Masjid Agung Jawa Tengah, cukup bayar parkir. Tapi, tidak seperti masjid-masjid raya di kota lainnya, Masjid Agung Jawa Tengah tidak terletak di pusat kota atau di tepi jalan protokol. Kompleksnya cukup luas. Selain gedung masjidnya sendiri, juga ada perpustakaan, Islamic Center, menara observasi, pusat makanan, auditorium, bahkan blok perkantoran, dan tempat parkir yang lapang.
Masjid Agung Jawa Tengah selesai dibangun pada tahun 2006. Selain perpaduan arsitekturnya yang menawan, keistimewaan masjid ini adalah adanya 6 buah payung hidrolik raksasa yang berdiri jangkung di pelataran masjid. Payung-payung hidrolik akan mengembang dan menguncup dengan sendirinya untuk melindungi jemaah di bawah naungannya, persis seperti yang ada di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi.
Menara Al Husna mengangkasa setinggi 99 meter di sudut barat daya masjid. Sayang, menara observasi sedang ditutup saat itu dan baru dibuka lagi nanti malam. Jadi kami hanya melihat-lihat dan mengambil foto di pelataran masjid, terpukau dengan arsitekturnya yang memadukan gaya tradisional Jawa, Eropa dan Timur Tengah. Di sini, Sulis kembali disibukkan dengan temannya yang kebingungan di Bali, jadi gue berjalan masuk sendiri ke dalam masjid, berjalan ekstra hati-hati melalui pelataran yang masih basah oleh hujan.
Konon, pelataran masjid ini mampu menampung sebanyak 10.000 jemaah! Tidak heran, karena memang luas halamannya sendiri adalah 7.500 meter persegi dan luas bangunan utama mencapai 7.669 meter persegi.
Interior Masjid Agung Jawa Tengah memang memukau. Lantainya dilapisi dengan batu marmer yang mewah dan sejuk, sementara tiang-tiang beton berbalutkan ornamen kayu menyangga langit-langitnya dengan kokoh. Lampu-lampu kecil ditata dengan bentuk melingkar, menggantung di bawah kubahnya yang megah, sementara lampu-lampu yang lain berderet menempel pada dinding. Sorot keemasannya terpantul pada lantai marmer, menguatkan kesan mewah yang dihadirkan.
Suasana yang nyaman ini menggoda beberapa jemaah untuk sekedar duduk-duduk santai di tepi ruangan, bahkan ada yang tak segan-segan merebahkan diri di atas lantai.
Menjelang maghrib, langit senja yang semula kelabu mulai memainkan warnanya. Semburat jingga menggores cakrawala, berpadu dengan awan abu-abu dan barisan pegunungan. Semarang seolah ingin melepas kepergianku dengan panorama senjanya yang dramatis.
Semarang memang tidak memiliki pantai pasir putih yang menawan, atau danau magis yang dapat berubah warna. Kota ini menunjukkan keindahannya dengan harmonisasi para warganya. Di mana masjid, gereja, dan klenteng hidup berdampingan dengan damai. Di mana Jawa, Tiongkok, dan suku-suku lain berinteraksi dengan tenang di dalam satu hunian. Nuansa multikuturnya membuat Semarang layak mendapatkan lebih banyak perhatian dan kepedulian Kementerian Pariwisata.
Terima kasih untuk 2 hari ini, Semarang. Waktu yang memang singkat, namun aku bersyukur dapat lebih mengenalmu, lebih mengenal warna-warni negeriku… Indonesia.
Menurut saya, hikmah dari tulisan perjalanan yang njenengan lakukan adalah mencerminkan harmoni tiga tempat ibadah di Semarang, ada pesan toleransi di sana 🙂
That’s it, boy!!! Toleransi itu indah :))
Lantai di pelataran masjidnya memantulkan bayangan struktur bangunan dan lukisan senja di angkasa, keren sekali.
Nah, saya tampaknya harus coba kuliner bakmi dan lumpia itu! :hihi *brb cari teman traveling*
Paling suka dengan foto kubah mbenduknya, presisi betul pembangunannya itu :hehe
Perjalanan melintas keberagaman (tiga tempat ibadah, satu kota) oleh para pejalan yang toleran dalam perbedaan (dua pejalan yang bukan satu agama, tapi toleran satu sama lain). Ini yang patut diacungi jempol. Two thumbs up for you guys! Hidup memang lebih asyik dalam damai!
Eh kamu non-muslim juga, bro?
Yup. Lumpia itu kuliner khas Semarang. Wajib coba kalau ke sini. Kuliner Tiongkok juga, karena masyarakat Tionghoa sangat berkembang di Semarang.
Terima kasih apresiasinya, bro. Traveling mengajarkan kami untuk saling menghargai perbedaan 🙂
Yep, nonmuslim!
Haah, saya kalau ke Semarang tahunya cuma tahu baso dan tahu petis :hehe. Terima kasih infonya.
Siap, memang itulah tujuan traveling! 😀
Tahu Gimbal, Soto Bangkong, Nasi Ayam Semarang, wajib coba!
Kemarin baru sempat cicip Tahu Gimbal, Nasi Pecel sama Tahu Petis. Oke, noted. Lain kali coba Soto Bangkong dan Nasi Ayam Semarang. Terima kasih!
Menurut aku klenteng tay kek sie lebih worthed daripada ke Sam poo Kong. Lebih bisa menghayati ibadah umat…
Kamu udah pernah ke sana juga? Mungkin karena Sam Poo Kong udah komersil banget kali ya.
semarang emang keren
Betul. Layak diangkat sebagai kota pariwisata.
oh kayak gitu ya dalamnya gereja blendhuk
dari dulu penasaran krn selalu g kesampaian untuk masuk ke dalamnya
penasarannya ilang, deh.
Wah, senangnya dapat menghilangkan rasa penasaran seseorang. Hihihi 😀
Kenapa nggak pernah kesampaian, mas?
Dulu cuma lewat aja Semarang >.< harus siapin waktu khusus ini untuk "ubekubek" Semarang.
Sama, om. Biasanya Semarang juga cuma jadi tempat perlintasan dalam perjalanan Bandung-Jogja dan sebaliknya.
Ayo bulatkan tekadmu. Just book and leave! 😀
Sy sering ke Semarang tp blm pernah masuk ke Gereja mBlenduk & Masjid Agung. setelah baca artikel masbro, sy jd pengen sekali lihat langsung interior dua bangunan iconic ini.hehehe. salam kenal masbro…
Terima kasih sudah mampir. Senangnya dapat menumbuhkan antusias berkunjung :))
Yes. Gak bakal nyesel deh, bro!
Hah gereja dikarciskan? ciyusan? ada karcisnya gak yg menandakan itu tiket masuk?
Duh kok aneh ya rasanya tempat ibadah dikarciskan begitu -_-
Iya, mas. Aku juga kaget dan sedih. Nggak ada karcisnya deh.
Aku sih nggak tahu ya apakah itu terjadi setiap waktu atau nggak. Huft.
Klo gak ada karcis resminya berarti itu oknum #eh #soknuduh
Bisa jadi sih ya, mas. Mungkin dia memang penjaga gereja, tapi mungkin dia memanfaatkan situasi.
Mungkin.
Yah, semoga uangku digunakan dengan baik aja lah.
kalo tempat ibadah di komersilkan dgn ada nya tarif masuk..hmmmm sayang sekali. moga z dia atow oknum tsb baca jg tulisan ini. biar jd masukan yg positif buat dia.
by the way..salut dgn tata cara penulisan artikel ini..tersusun rapih,menarik bikin geli hati untuk nge klik hehehehe…
keep travelling and blogging bro.. jgn lupa share dgn kita” yua. 🙂
best regard .http://alampangandaran.com/..
Wow, terima kasih sudah mampir dan atas apresiasinya, kak! Sukses juga buat alam pangandaran.
Iya sayang banget dikomersilkan seperti itu. Jadi tergelitik buat browse alamat email GPIB Immanuel itu.
happy browsing..keep blogging bro
sayang gak kebagian lumpia gang lombok yang terkenal itu 🙂
Iya nih, mas. Next time harus datang lebih awal.
[…] wisata selanjutnya adalah kawasan Kota Lama dan Gereja Blenduk. Kalau mau masuk ke Gereja Blenduk, pengunjung diminta untuk memberikan sumbangan sebesar Rp […]
[…] Semarang Ekspres: Gereja, Klenteng, dan Masjid Agung […]
Saya orang semarang yg merantau ke kota lain sejak 5 taun yg lalu. Tulisan di blog kamu keren bro. Saya jadi malu belum pernah menulis tentang kota sendiri hehehehe. Btw yg kamu kunjungi masih secuil upil dari keseluruhan kota hahahaha.
Terima kasih sudah mampir dan atas apresiasinya, mas.
Aku juga belum nulis banyak tentang Jogja, kampung halaman, hahaha. Maklum cuma 2 hari di Semarang, bisa ke tempat-tempat itu aja udah seneng banget 😀
[…] setiap masjid raya di kota-kota Indonesia yang aku hampiri. Dari Masjid Raya Bandung, Cirebon, Semarang, Solo, hingga Palembang. Nah, siapa yang tak kenal Masjid Agung Baiturrahman? Kemegahannya sudah […]
[…] Baca Juga: Semarang Ekspres — Gereja, Klenteng, dan Masjid Agung […]
[…] dan tim dari Pacific Paint. Agenda berkeliling kota Semarang pun ditutup dengan kunjungan ke klenteng Sam Poo Kong, setelah sebelumnya menyambangi Soto Ayam Pak Man, Kota Lama, Gang Lombok, dan Lawang Sewu di bawah […]
[…] Area Kota Lama Semarang bisa dicapai dengan berjalan kaki dari Stasiun Semarang Tawang karena jaraknya hanya sekitar 500 meter. Menurut gue, pusat Kota Lama Semarang ini adalah Gereja Blenduk, atau yang saat ini secara resmi bernama GPIB Immanuel. Tulisan selengkapnya tentang Gereja Blenduk bisa dibaca di: Semarang Ekspres: Gereja, Klenteng, dan Masjid Agung […]
[…] Ada juga Klenteng Sam Poo Kong bagi yang ingin berwisata religi sambil berburu foto estetik, atau Masjid Agung Jawa Tengah yang memadukan arsitektur Romawi dan Timur Tengah. Kamu juga bisa sedikit melipir ke untuk […]