Dengan dilandasi oleh semangat Ketuhanan Yang Maha Esa untuk meramaikan kembali travelblog yang nyaris membusuk ini, didukung dengan belum jelasnya tanggal pasti rencana jalan-jalan ke Jakarta, gue mengambil inisiatif buat ngebolang sendiri hari ini. Yep, tujuan gue blusukan hari ini adalah mengunjungi beberapa objek heritage di Bandung yang belum pernah gue kunjungi: Museum Pos Indonesia, Museum Geologi, dan Masjid Raya Bandung. Jadi, karena destinasi pertama yang gue datangi adalah Museum Pos Indonesia, maka cerita jalan-jalan kali ini pun akan dimulai dengan cerita tentang… Masjid Raya Bandung #gubrak
Ahahaha, maaf maaf, tapi karena pengalaman di Masjid Raya Bandung adalah pengalaman yang gue sukai, jadi gue cerita yang ini dulu ya 😉
Dari starting point di Museum Geologi, gue bergerak ke kanan (ke arah Gedung Sate) dengan “menunggang” angkot Cicaheum-Ledeng. Turun di simpang Sulanjana, gue sambung menyambung jadi satu itulah Indonesia dengan angkot Panghegar-Dipati Ukur. Ehem, sebenernya gue agak ngasal sih pilih angkotnya, karena sejujurnya gue nggak tahu pasti apa angkot paling pas dari Museum Geologi ke Masjid Raya Bandung. Nah, gue pilih angkot ini karena gue biasa naik angkot itu ke BE Mall di Jl. Veteran (Masjid Raya ada di ujung Jl. Asia-Afrika, dan Jl. Veteran ada di ujung Jl. Asia-Afrika #pffft)
Gue turun agak kebablasan dikit, sampai ujung Jl. Veteran yang udah banyak pedagang asongan dan toko-toko. Sempet bingung jalan ke mana. Gue tanya ke Tuhan, dan Dia menjawab melalui sebuah papan jalan gede yang menunjukkan arah Masjid Raya Bandung. Oke, tinggal jalan lurus, entah berapa kilometer. Meskipun jalannya juga nggak deket-deket amat, tapi jalan kaki menuju Masjid Raya Bandung ini cukup gue nikmati. Tak jauh dari titik awal gue jalan kaki, gue melalui H.M. Harris yang udah kondang itu. “Ooohh, di sini toh rumah makan sate itu.” #katrok #kuper #bodoamat.
Gue juga melalui sebuah persimpangan yang besar, nyaris seperti sebuah bunderan, dengan sebuah bangunan kuno bergaya art-deco berdiri anggun di salah satu sudutnya. Bangunan ini saat ini difungsikan sebagai sebuah gedung instansi perbankan.
Sampai akhirnya, gue pun masuk ke wilayah Jl. Asia-Afrika. Gue suka banget dengan jalan ini, mungkin jalan yang paling gue sukai di Bandung. Jalan Asia-Afrika ini mulus, bersih, diapit dengan trotoarnya yang lebar. Gedung-gedung perkantoran yang modern berdiri bersanding gedung-gedung masa kolonial yang masih tampak anggun di tengah perkembangan jaman. Buat kalian pecinta arsitektur, atau para fotografer lanskap, this is the perfect place for you in Bandung! Hasrat seni dan fotografi kalian akan terpuaskan! Beberapa bangunan klasik di sini adalah: Hotel Grand Preanger, Hotel Savoy Homann, Gedung OCBC NISP, Gedung Merdeka, Museum Konferensi Asia-Afrika, dan teman-temannya. Gue sampai bingung mau ambil foto yang mana.
Oh ya, baru-baru ini gue dapat informasi, ternyata Bandung adalah kota dengan bangunan art-deco terbanyak ke-9 di dunia. Nggak heran, karena emang banyak bangunan art-deco sih di sini. Ada di sepanjang kawasan Asia-Afrika, Braga, dan Balai Kota. Mungkin di bagian lain juga ada, seperti di simpang Jl. Ir. H. Juanda – Jl. Sultan Agung, di mana berdiri Gedung Tiga Warna (De DrieKleur) yang sekarang difungsikan menjadi gedung instansi perbankan. Mayoritas terspesialisasi pada gaya modern streamlined atau Nieuw Bowen.
Finally, sampailah gue di belakang Masjid Raya Bandung. Masuk ke dalam, gue sempet bingung (lagi) gimana caranya bisa masuk dan naik ke puncak menara. Selama beberapa menit gue berjalan mengelilingi masjid, mengacuhkan kerumunan orang yang bersantai-santai di pelataran masjid. Gue balik lagi ke titik semula, dan baru gue ngeh ada pos masuk ke menara di situ. Hadeh, mata gue ini emang kurang jeli sih -_____-
Karena menara berada di dalam gedung masjid, maka pengunjung diharuskan melepas alas kakinya. Bisa dititipkan, atau bisa juga dibawa naik ke atas menggunakan tas kresek. Ada penjual tas kresek di area masjid dengan harga “seikhlasnya”, serius. Gue kasih seceng ajalah, segitu udah lebih dari cukup kayaknya. Tiket masuk untuk dewasa adalah Rp 3.000,00 dan hanya buka sampai pukul 17.00 pada hari Sabtu dan Minggu. Hari biasa hanya melayani rombongan. Jadi kalau lo pengen naik ke menara masjid pada hari Jumat tapi lo sendirian nggak ada temen, ajak aja tuh pedagang-pedagang di sekitar, kali aja mau #pffft
Tadinya, gue mengira gue harus berjalan menaiki ratusan anak tangga untuk bisa sampai ke puncak menara. Ternyata ada lift, jiahahahaha. Duh, katrok banget gueee. Di dalam lift ada seorang petugas yang siap membantu pengunjung naik ke deck view di lantai 19, lalu juga melayani pengunjung yang ingin turun. Teruuusss kayak gitu, udah kayak masinis kereta komuter yang kudu bolak-balik seharian kayak pacaran anak SMA #eh.
Sampai di atas… ternyata lumayan rame, bo! Ada beberapa geng pengunjung yang asik berfoto-foto narsis di situ. Serius, mereka cuma foto-foto narsis, nggak ada fotografer profesional yang khusus mengabadikan keindahan panorama Bandung dari ketinggian. Ada sih segerombolan anak muda yang bawa DSLR, tapi… buat narsis-narsisan jugaaa. Aaaaaaaaakkk, kameranya kasih ke gue aja siniii, gue lebih butuh kayaknyaaa. Nah, ini nih, sekarang fotografi dan travelling lagi ngetren, dan banyak orang berbondong-bondong membeli DSLR meskipun mereka sebenernya nggak concern di bidang fotografi atau travelling. Lebih buat gengsi. Fak!!!
Oke, kembali ke cerita jalan-jalannya. Karena gue ini emang suka dengan panorama perkotaan (tapi panorama alam yang kece badai juga suka kok), gue sampai ambil foto beberapa kali untuk objek yang sama. Gue berjalan mengelilingi deck, agak menahan geli saat melihat ibu-ibu berfoto agak alay di depan jendela.
Harap maklum kalau foto view-nya agak kabur, kehalang kaca soalnya, dan nggak ada area yang bebas kaca jendela. Mau foto dengan posisi persis di depan view juga susah, selalu gelap. Foto gue di atas udah dengan posisi terbaik, cahayanya dapet. Oh ya, karena gue sendirian, makanya gue minta tolong seorang bule Perancis yang kebetulan lagi naik buat fotoin gue, hihihihi. Merci, Madame :))
Puas foto-foto dan menikmati pemandangan sambil bergalau ria nginget-nginget masalah hidup, gue bergerak turun bersama segeng cowok-cowok SMA yang tadi juga minta tolong difotoin sama si bule Perancis. Duh, jadi fotografer dadakan deh bulenya. Mungkin dia ngebatin, “Cih, orang-orang Indonesia itu pada memuja diri sendiri ya.” Hahahaha, kali yaaa.
Nah, di akhir pekan (hari Sabtu dan Minggu), Masjid Raya Bandung ini lebih ramai. Pedagang-pedagang segala jenis (makanan, pakaian, sampai spiker aktif abal-abal) tumplek blek di pelataran masjid alias alun-alun. Demi memuaskan hasrat bercinta lapar dan haus yang mulai melanda sukma dan raga, gue menghampiri sebuah warung mie ayam yang bersanding dengan sebuah warung es kelapa muda. Gue pesen mie ayam sama es jeruk. Warung-warung macem ginian banyak di situ, tinggal pilih. Rata-rata menu makanannya adalah mie ayam, bakso, dan nasi goreng, semua dalam satu warung.
Penampakan mie ayamnya sedikit di luar dugaan. Selain dagingnya banyak, ada sebutir besar bakso dan sebiji bakso kecil bersama dua buah… eh, nggak tahu apa namanya, pokoknya bentuknya bulet dan agak alot. Urang Sunda, ada yang tahu itu apa?
Sesuap mie lantas gue dorong masuk ke dalam mulut, dan ternyata rasanya… biasa aja sih, hehe. Well, cuma sebuah warung di alun-alun juga, what do you expect? Sementara es jeruknya sedikit kemanisan. Di sela-sela makan, tiba-tiba aja kepikiran buat cek dompet, dan gue agak lega setelah mendapati selembar uang dua puluh ribuan dan beberapa lembar uang ribuan #hiyaaa #BukaAib. Pikir gue, “Yah, semahal-mahalnya mie ayam, nggak bakal sampai Rp 20.000 juga kali ya.”
Makanan abis, minuman abis, saatnya buat bayar-membayar. Total harganya adalah… JREEENGGG! Rp 19.000,00!!!
Buset, itu mahal banget untuk semangkok mie ayam dan segelas es jeruk biasa (nggak pake susu, nggak pake telor). Iya sih, nggak nyampe Rp 20.000,00, tapi tetep aja mahaaalll. Jadi, kesimpulannya, makan dan minum di kawasan Masjid Raya Bandung / Alun-Alun Bandung itu tidak direkomendasikan. Paling pol minum aja deh. Sukur-sukur kalau udah bawa minum sendiri.
Selesai sudah perjalanan kecil gue hari ini. Dengan angkot Sukajadi-Kalapa lalu dilanjutkan dengan angkot Cicaheum-Ciroyom, gue bergerak pulang ke kontrakan. Tunggu liputan selanjutnya yak, gue bakal berjalan mundur buat nyeritain Museum Pos Indonesia dan Museum Geologi. Cheers! 😀
jadi pengen nyobain kalo ke Bandung
Iya, mas. Deket sama objek wisata yg lain juga kok, dan gak butuh waktu lama 🙂
Belum sempat ke Bandung. Kapan-kapan deh…
Emang domisili di mana?
salam kenal… baru ngeh kalo menaranya dibuka untuk umum -_-
Salam kenal juga, mas. Iya emang tempat ini belum populer buat turis.
padahal bisa jadi tempat wisata tuh… di jakart aja punya monas kenapa bandung enggak 🙂
Promosinya kurang kayaknya. Hihi.
yups
Saya jajan baso tahu di sekitar barisan kiri masjid, murah meriah. ga nyampe 10rb
Iya. Salah pilih tempat saya kayaknya. Huhu 😦
mas mau nanya, sy mau ke bandung desember besok dr st lempuyangan jogja naik kereta turun di st kiaracondong.. kira2 tempat wisata yang deket dr stasiun kiaracondong apa ya mas? makasih
Nggak ada, kak. Kiaracondong itu di daerah pinggiran. Nggak kayak Lempuyangan yg tetep di pusat kota (secara Jogja cuma kota kecil).
[…] Di sudut kompleks, berdiri sebuah menara setinggi 33 meter yang dibangun pada masa Paku Buwono X, sekitar tahun 1914. Pada masa pemerintahan beliau jugalah, dibangun kolam yang mengelilingi masjid. Bentuk gapura yang semula berbentuk limasan khas Jawa diubah dengan gaya Timur Tengah seperti yang saat ini dapat terlihat. Sayang, menara tidak dibuka untuk umum. Padahal aku ingin naik dan menikmati pemandangan dari ketinggian, seperti yang pernah kulakukan di Masjid Raya Bandung. […]
[…] lokal. Aku mengunjungi hampir setiap masjid raya di kota-kota Indonesia yang aku hampiri. Dari Masjid Raya Bandung, Cirebon, Semarang, Solo, hingga Palembang. Nah, siapa yang tak kenal Masjid Agung Baiturrahman? […]
[…] efisiensi waktu, uang, dan tenaga. Contoh: Balai Kota, Jalan Braga, Jalan Asia-Afrika, Alun-Alun, Masjid Raya, dan Pecinan Bandung dapat lo kunjungi dalam satu rangkaian karena berada di satu area […]
[…] Baca Juga: Naik ke Menara Masjid Raya Bandung […]
[…] menjadi tempat ngumpul komunitas dance, korean cover-dance, cheerleader, break-dance, dsb), atau Masjid Besar Bandung yang berada di sisi alun-alun. Lo bisa naik ke atas menaranya dengan harga murah meriah dan dapet […]
[…] lantai 19 unit 17. Ini berarti, INAP at Capsule Hostel deket sama kawasan wisata Jalan Asia Afrika, Alun-Alun dan Masjid Raya Bandung, dan kawasan kuliner Jalan […]
[…] yang bisa dikunjungi. Contohnya adalah kawasan Pasar Baru, pecinan, Jalan Braga, Jalan Asia-Afrika, Masjid Raya Bandung, Alun-Alun Bandung, dan Balai Kota […]