SUPERTRIP #1 – SIKUNANG Part 6
Mungkin istilah menemukan surga ini terkesan agak berlebihan buat kebanyakan traveler yang mempersepsikan surga itu dalam wujud pantai pasir putih dengan air biru sebening kristal, atau lembah yang hijau dengan petak-petak sawahnya yang seolah tak terbatas, atau panorama terbitnya matahari dari puncak gunung tertinggi. Ya, itu semua juga surga, gue nggak menampisnya. Tapi, buat gue yang juga pengagum arsitektur dan tata kota, keindahan Chinatown Singapura ini nggak kalah dari keindahan di puncak gunung atau di tepi pantai.
Sore itu, selesai gue mandi dan udah bosen tidur-tiduran manja di dalam kamar hotel, gue memutuskan untuk segera bergegas dan memulai petualangan kedua di negeri singa ini. Aska lebih memilih untuk beristirahat di dalam kamar dan menolak ajakan gue mengeksplor Chinatown. Meski gue agak kecewa, karena — apa gunanya traveling bareng tapi ujung-ujungnya gue harus jalan sendirian? — gue toh tetap memantapkan langkah menuju Chinatown.
Alih-alih langsung turun di stasiun MRT Chinatown, gue memutuskan untuk turun di stasiun Outram Park. Itu karena setelah gue perhatikan, jalan-jalan utama Chinatown berada di antara kedua stasiun tersebut. Rencana gue, menyusuri Chinatown dari Outram Park ke arah stasiun MRT Chinatown, terus lanjut hingga Singapore River dan Marina Bay. Dari stasiun Outram Park, gue keluar dan berbelok ke kiri menyusuri jalanan yang dipayungi dengan pepohonan, sebelum akhirnya masuk ke New Bridge Road.
Gue menyeberang, melalui sebuah taman kecil dengan banyak burung dara yang berkerumun di atas rerumputan. Sebenernya gue pengen berhenti sebentar dan duduk-duduk sejenak di taman itu sambil menghirup atmosfer kota dalam-dalam, tapi berhubung kedua bangku yang ada sudah ditempati oleh dua orang bapak-bapak paruh baya, gue pun hanya bisa meneruskan langkah dan masuk ke Keong Saik Road. Hanya dalam beberapa langkah, gue langsung terpukau dengan bangunan-bangunan vintage yang bersih, terawat, dan berwarna-warni yang berderet rapi di kedua sisi jalan. Salah satu keindahan terbaik yang bisa Singapura sajikan buat gue!
Gue terus melangkah, menemui persimpangan demi persimpangan, masuk dari satu jalan ke jalan yang lain. Bangunan-bangunan itu seolah nggak ada habisnya! Gue hanya terus berjalan sambil senyam-senyum sendiri, menyusuri Neil Road, Duxton Hill, Kreta Ayer Road, Tanjong Pagar Road, dan entah jalan-jalan kecil apa lagi yang gue lalui. Kaki ini seakan mati rasa, tidak merasakan capek atau letih yang sejatinya sudah menggelayut sedari tadi. Smartphone ala kadarnya ini pun seperti tidak mau berhenti untuk mengambil gambar demi gambar dari setiap jalan yang gue masuki.
Kebanyakan bangunan-bangunan tersebut difungsikan sebagai sebuah cafe atau kedai makan. Ada juga yang dijadikan sebagai sebuah hostel, dan sisanya nggak jelas deh bangunan apa. Sekilas gue lihat, harga makanannya cukup standar, bisa dijadikan alternatif untuk bersantap malam sambil menikmati suasana kota dan berbaur dengan warga lokal atau turis lainnya. Saat itu hari masih cukup terang, meskipun jika diukur dengan waktu Indonesia, seharusnya pukul 5 itu udah gelap. Banyak cafe yang belum memposisikan bangku-bangkunya dengan benar.
Gue lalu menemukan sebuah kuil besar yang berdiri berdampingan dengan sebuah gedung modern. Harmoni yang apik. Gue menghampiri kuil, di mana saat itu sedang dilaksanakan sebuah upacara di dalam kuil, di mana para biksunya kemudian berbaris keluar mengitari kuil hingga masuk kembali ke dalam.
Meneruskan langkah, gue lalu menemukan Sri Maha Mariamman Temple yang berdiri tak jauh dari situ. Di dekat kuil Hindu itu, berdiri sebuah Masjid Jamek dengan warna hijaunya yang lembut. Luar biasa, tiga tempat ibadah dari tiga suku bangsa terbesar di Singapura — Cina, India, dan Melayu — berdiri berdampingan dengan damai dan tenang. Gue kagum dengan keindahan toleransi dan kerukunan umat beragama di sini.
Saat tiba di Honglim Complex, gue kembali masuk ke jalan utama — New Bridge Road dan Eu Tong Sen Street, dua jalan yang seolah menjadi satu dalam satu tempat. Gue berjalan menyusuri jajaran toko-toko yang menjual berbagai perlengkapan keagamaan dan kebudayaan Cina, khas dengan warna merahnya yang ngejreng. Sebelum kembali memasuki Keong Saik Road, gue menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak di sebuah bangku taman. Sebentar kemudian, bapak-bapak yang duduk di bangku yang menghadap kerumunan burung itu beranjak pergi setelah seorang wanita datang menghampirinya. Mungkin isteri atau teman kencannya. Gue buru-buru menempati bangku itu sebelum keduluan orang lain.
Gue duduk tenang di atas bangku taman selama beberapa menit, menikmati suasana kota sambil mengistirahatkan kaki yang mulai gagal mengabaikan rasa letih. Puluhan burung-burung dara berkerumun di atas rerumputan, sesekali beterbangan ke udara dan hinggap di atas ranting pohon atau hilang ditelan angkasa. Sepasang muda-mudi India bermain-main dengan burung-burung itu sambil tertawa senang. Sekelompok keluarga Melayu datang dan berfoto-foto dengan kawanan burung dara. Seorang pemuda meluncur melalui taman dengan kendaraan roda satunya, membuat seorang pria India menoleh ke arahnya selama beberapa saat. Seorang kakek berjalan menyeberang taman dan menghalau kawanan burung dengan tongkatnya. Lalu lintas pun tidak terlalu ramai dengan bus-bus kota yang hilir mudik dengan teratur.
Puas beristirahat, gue kembali memasuki Keong Saik Road dan berjalan menuju kuil besar yang tadi gue temui. Saat gue tiba, puluhan set makanan diletakkan berjajar di atas meja yang berderet di samping kuil. Masih bertanya-tanya untuk apa semua sesajen itu, gue mendapati sebuah upacara yang sedang diadakan di dalam kuil. Upacaranya seperti ibadah kebaktian di gereja, sarat dengan nyanyian dan doa yang dilagukan, serta jemaat yang duduk rapi membentuk formasi U. Gue bertanya-tanya, jangan-jangan ini yang namanya Buddha Tooth Relic Temple and Museum, kuil dan objek wisata populer di area Chinatown. Pertanyaan gue terjawab dengan sebuah papan kecil di depan kuil yang mengiyakan sangkaan gue. Agak geli rasanya menemukan objek tujuan secara tak sengaja.
Gue masuk ke dalam dengan ragu-ragu. Seorang bapak-bapak dan ibu-ibu sedang berbincang-bincang teras kuil. Gue bertanya apakah gue boleh mengambil foto, dan si bapak menganggukkan kepalanya sembari berkata, “Yes, can. But only from the outside.” His grammar is soooo Sing-lish! Sebelum benar-benar mengambil foto, gue mengambil posisi sedikit membungkuk kepada sang Buddha. Meski Buddha bukan kepercayaan yang gue anut, dan gue hanya mengambil foto dari luar, tapi gue tetap merasakan keagungan dan kemuliaan di kuil ini.
Perlahan, gue melangkah menghampiri kuil, hingga benar-benar masuk ke dalamnya dan mengamati upacara yang sedang berlangsung. Gue berdiri malu-malu di sudut ruangan, di samping spot suvenir, merasa agak sungkan karena gue hanya memakai celana selutut. Saat gue hendak mengambil foto langit-langit teras, seorang staf melambaikan tangannya di depan gue, “No photo lah.” #SinglishAgain
Gue patuh. Lalu mengatasnamakan rasa ingin tahu, gue masuk ke dalam Visitor Center di mana seorang petugas wanita sedang berkonsentrasi penuh dengan personal computer-nya. Meski begitu, dia tetap menyambut gue dengan seuntai senyum ramah dan wajah penuh kehangatan. Gue menanyakan perihal apa yang sedang dilakukan di dalam kuil dan sesajen yang berjajar rapi di samping kuil. Rupa-rupanya, saat itu warga etnis Cina Singapura sedang merayakan (?) Bulan Hantu. So, the foods are dedicated for the hungry ghosts, and the ceremony either (istilah hungry ghosts agak aneh jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, so I’d rather say it in English)
Puas mencari tahu, gue melipir ke Smith Street dan Sago Street yang berdiri tepat di samping kuil. Saatnya kulineran dan cuci mata di Chinatown Street Market dan Chinatown Food Market! Pasar malam kecil-kecilan ini menjual berbagai macam pernak-pernik yang bisa kamu beli untuk oleh-oleh atau koleksi. Gue nggak beli apa-apa, haram bangetlah baru hari kedua udah keluar duit buat oleh-oleh. Masuk ke bagian Chinatown Food Market yang begitu menggugah selera dengan aroma rempahnya, gue membeli seporsi Pork Shang Noodle (non-halal) dan segelas besar Peach Tea yang menyegarkan. Totalnya 9 SGD, dengan 7 SGD untuk makanannya saja. Buat kamu yang muslim nggak usah khawatir, di sini juga ada kedai makanan Timur Tengah kok. Kalau mau icip jajanannya, lebih baik dikonfirmasi dulu apakah mengandung babi atau enggak (tapi kayaknya hampir semuanya pakai sih)
Perut sudah kenyang, dan waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Gue harusnya udah ada di Esplanade dan ketemu Aska di sana. Tapi karena ternyata jam 7 malam pun masih cukup terang, dan lampionnya belum menyala (gue menunggu momen lampion menyala untuk dokumentasi), gue bertahan selama beberapa menit ke depan di Chinatown. Sampai jam setengah delapan pun hari masih belum sepenuhnya gelap, dan gue udah nggak enak telat setengah jam. Ya udahlah, gue ambil foto aja sekedarnya dan segera meluncur ke Esplanade, masuk ke stasiun MRT Chinatown melalui Chinatown Heritage Center.
hmmm… pergi berdua bukan berarti selalu harus pergi berdua kayak kembar siam kemana-mana. Daripada yang satu merengut ga setuju dengan destinasinya, mending pergi sendiri dan bertemu lagi untuk saling melengkapi cerita. Pergi bersama teman memang seru untuk mengenal lebih dalam… BTW, saya suka penjelajahannya… jadi kangen singapore!
Dia baru pertama kali ke luar negeri. Jadi nggak enak kalau aku tinggal sendiri 😀
Tapi akhirnya kita emang memutuskan buat “cerai” juga.
ooo kasihan juga ya, pasti senewen juga ditinggal hahaha… tapi pasti abis itu biasanya jadi seruuuu….
Waktu pertama kali dulu ke singapur rasanya berada di 3 negara berbeda deh, turun MRT di little India kesannya India selatan banget dengan pasarnya. turun di MRT Chinatown langsung kaget setengah mati karena sekeliling tulisannya Cina semua, berasa di Cina haha… Turun di Farrer park berasa di eropa, banyak bule berkeliaran haha
Setiap orang mempersepsikan surga itu berbeda broo, dan selamat dikau sudah menemukan surgamu.
Harmonisasi tiga suku bangsa terbesar Singapura 🙂
Tapi mas Alid nggak sampai nari-nari Bole Chudiyan, ‘kan? 😀
Klo yg itu aku nari-nari di India beneran haha :p
Hahaha. Asik tuh, saat apa yang selama ini cuma bisa kita lihat di film Bollywood, bener-bener bisa kita lihat dan kita bahkan terlibat di dalamnya 😀
Makanya aku lebih suka jalan sendiri kaka..biar gak ada yang di tinggalin, soalnya aku gak punya itenerary yng tetap kalo jalan..
Buat pelajaran, mas. Tapi enaknya jalan bareng itu bisa berbagi kesusahan sih 😀
Kapan-kapan lucu dan seru juga klo kita gabung…. yuks di arrange…. 🙂
Ayok ayok. Suka eksplor kota juga ya?
Kota, kampung, gunung, laut….hajjjaaarrrr…..hehehehe….
Oke, stay tune aja ya hehe.
Seep…
[…] menarik untuk gue kunjungi karena pasti memiliki seabrek bangunan kuno yang indah, seperti di Chinatown Singapura yang membuat gue kagum tiada henti dan Georgetown Heritage Site yang bangunan-bangunan lamanya […]
Hai hai hai…gw brangkat bsok ksingapur…17september 2014….cari2 info ttg singapur eh nemu blog ini…informatif…maklum ane bru mau jejakin kaki ke sono…dpt hostel di daerah china town 5footway.in btw ane cmm 3hari 2mlm…btw kl mau backpaker kenegara lain atau singapur lagi..bulan depan atau bulan depan lagi…info info ya
Bloomday2@gmail.com
Tng ane jg suka bgd jalan…explore ngalor ngidul….ane klamaan kerja dtambang yg lokasinya hutan blantara jd jalan naik gunung hayuuu weeehhhh…
Salam kenal semuanya
Makasih sudah mampir, kak. Oke oke nanti gue kabari kalo mau jalan2 lagi. Sepertinya kakak pejalan sejati 😀
Salam kenal dan have a nice trip. Senang bisa membantu 🙂
[…] yang mau beli oleh-oleh, kamu bisa ubek-ubek itu Bugis Street, Chinatown Street Market, Little India, sama Lucky Plaza (di Orchard Road). Chinatown Street Market buka dari sore hingga […]
[…] menutupi kekurangan itu, malah memperburuk keadaan dengan suasana kumuhnya. Jauh berbeda dengan Pecinan Singapura yang pernah gue kunjungi sebelumnya. Bersih, rapi, terawat, dan […]
[…] itu. Minimal boleh masuk kompleks deh, untuk mengamati lebih dekat bangunan klenteng dan viharanya. Buddha Tooth Relic Temple and Museum di Singapura dan Kek Lok Si Temple di Penang aja boleh kok, padahal itu kuilnya jauh lebih besar dan lebih […]
[…] destinasi wisata di negaranya. Popularitasnya sebagai tujuan turisme tenggelam ditelan ketenaran Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Phnom Penh, Hanoi, Manila, bahkan Vientiane dan Yangoon (eks ibukota […]
Wah, kemarin liburan kesana engga sempet explore chinatown lama-lama. Kayaknya lebih bagus saat malam hari ya, soalnya kalau siang-sore itu penuh dan lumayan panas disana 😦
Bener, mbak. Bagus saat malam. Ke Chinatown itu harus dihabiskan dari sore (sebelum gelap) sampai malam saat gelap. Masing-masing punya aktivitas nya sendiri.
[…] tahu dulu Exit yang sesuai dengan tujuanmu. Misalnya saat gue pertama kali ke Singapura dan mau ke Chinatown, gue terkecoh dengan Exit ke Chinatown Point. Ternyata Chinatown Point itu nama mal dan jauh dari […]
[…] repacking dan beristirahat singkat di hostel, aku mengajak para peserta menuju Chinatown dengan MRT. Tak ada peta di halte bus dekat hostel, pun tak kupahami jalur bus yang disampaikan […]
[…] 81 Dickson berada di 3 Dickson Road, di daerah Chinatown. Kamu dapat menyewa kamar di sana dengan harga mulai dari Rp 900ribuan. Jangan buru-buru protes […]
Senang deh baca blog nya. Trims infonya ya.. lengkap..
Terima kasih sudah mampir, mas. Senang bisa berbagi.
[…] Peranakan di kanan-kirinya. Selain di Hainan, desain arsitektur seperti itu juga bisa ditemukan di Singapura dan kota tua […]
[…] dalam tonality pastel yang lembut. Mungkin mirip rumah-rumah toko Peranakan di Bugis Street atau Chinatown Singapura, tapi bentuk dekorasi dan ornamennya berbeda. Kalau di Indonesia, bangunan-bangunan Portugis banyak […]
[…] dari Chinatown yuk. Ada street market di Smith Street, Buddha Tooth Relic Temple, Masjid Jamae, dan kuil Sri […]