Minggu, 9 November 2014.
Nggak biasanya gue memaksakan diri untuk bangun pagi di hari Minggu seperti itu. Sama seperti saat hari-hari kerja, gue membiarkan diri segera bangkit dari kasur begitu alarm mengeluarkan suara nyaringnya.
Pagi ini gue excited banget! Untuk pertama kalinya, gue akan mengikuti sebuah kegiatan light-traveling bersama sebuah klub pecinta sejarah di kota Bandung: Komunitas Aleut. Apalagi, kegiatan hari ini akan diisi dengan menelusuri sisa-sisa pecinan Bandung yang berada di kawasan Pasar Baru. Sebagai pecinta bangunan dan pengamat sosial, tema hari ini menarik banget buat gue.
Keikutsertaan gue dalam kegiatan jalan-jalan dalam kota bersama komunitas ini terinspirasi setelah membaca cerita-cerita perjalanan mas Halim Santoso dan kak Olive Bendon. Dalam hati gue berpikir, “Hm… asyik ya, bisa blusukan sekaligus belajar sejarah seperti itu.”
Lalu, setelah beberapa kali terbuai dengan cerita-cerita kedua kakak pejalan itu, gue lantas berkata kepada diri sendiri, “Hei, kenapa gue nggak coba cari-cari info tentang keberadaan komunitas seperti itu di kota Bandung?” Maka jemari ini lantas gesit menekan huruf demi huruf pada papan kunci netbook, didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi.
Hasil pertama yang gue dapatkan dari mesin pencari paling populer sejagad itu adalah: Komunitas Aleut!
Gue lantas membuka blog dan akun Twitter mereka, @KomunitasAleut. Mata sontak berbinar-binar karena tepat keesokan harinya, mereka akan melakukan penelusuran di kawasan pecinan Bandung. Sempat bimbang karena waktu berkumpul yang terlalu pagi, sementara gue ingin sedikit menikmati hari libur dengan bangun lebih siang. Namun kemalasan itu dikalahkan oleh semangat bertualang yang bergolak di dalam dada, dan gue segera mengirimkan pesan konfirmasi kepada nomor yang diberikan.
Eh, kepanjangan nggak sih cerita pendahuluannya ini? *pffft*
Gue tiba di depan Bank BJB Braga hanya beberapa menit berlalu dari waktu berkumpul yang ditetapkan, pukul 07.30. Saat itu hanya ada seorang wanita berusia 20-an akhir (atau 30-an awal) yang berdiri di depan bangunan. Sementara tak jauh darinya, ada beberapa anak muda lagi yang berdiri sambil berbincang-bincang ringan.
“Komunitas Aleut?” tanya gue memastikan.
Wanita itu lantas memperkenalkan dirinya sebagai Mai. Sosok yang ramah dan mudah bergaul, karena saat anggota yang lain berdatangan, dia aktif berkenalan dengan semua orang dan seperti tidak pernah kehabisan topik pembicaraan. Bangunan ini, sejarah itu, kejadan itu. Gue hanya terdiam bego karena sama sekali belum tahu apa-apa.
Singkat cerita, semua peserta yang mengkonfirmasikan dirinya sudah hadir. Kegiatan diawali dengan pengantar dan perkenalan singkat dengan dipimpin oleh komandan upacara para anggota inti: Vecko, Arya, dan… duh, gue lupa siapa nama cewek hijabers itu. Sebagai anggota baru, gue harus merelakan selembar uang Rp 10.000,00 berpindah tangan, lalu mendapatkan sebuah pin komunitas sebagai gantinya.
Let the journey begins!
Kami beriringan berjalan kaki menuju tujuan kami yang pertama, sebuah masjid bergaya Tionghoa bernama Masjid Al-Imtizaj yang berada di sudut Jalan ABC. Di depan masjid yang pintu gerbangnya tertutup rapat itu, kami berkumpul sementara anggota-anggota inti memaparkan tentang sejarah kedatangan bangsa Tionghoa di Indonesia, khususnya Bandung.
Disebutkan bahwa kaum imigran Cina mayoritas datang dari Provinsi Fujian dan Guangdong. Kedatangan orang-orang dari Cina selatan tersebut juga berdampak pada penyebaran muslim di Indonesia. Tahu Laksamana Cheng Ho, ‘kan? Nah, beliau itu ternyata beragama muslim. Jejak-jejak penyebaran agama Islam oleh bangsa Cina dapat dilihat dari keberadaan beberapa masjid dengan gaya arsitektur oriental, misalnya Masjid Lao Tse di Jakarta dan Bandung.
Laksamana Cheng Ho melakukan sebuah ekspedisi perdagangan pada abad ke-15 (sekitar tahun 1405-1433) yang akhirnya membuat bangsa Tionghoa berdatangan dan menetap di kota-kota besar di Pulau Jawa. Sebutlah Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Semarang. Tak hanya untuk misi berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam karena mereka telah lebih dulu memeluknya.
Ya, Islam sudah lebih dulu masuk Daratan Cina (utamanya Cina Selatan), dibawa oleh kaum saudagar Timur Tengah yang memasuki Tiongkok melalui India atau Jalur Sutera. Bahkan, 4 dari ke-9 Wali Songo adalah orang Tionghoa asli atau keturunan Tionghoa, yaitu: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunungdjati.
Namun, pihak VOC menutup bumi Priangan (Bandung saat ini) dari pendatang (utamanya etnis Tionghoa) melalui keputusan pada tanggal 6 April 1764 agar kegiatan bisnis mereka tidak tersaingi. Etnis Cina baru mulai berdatangan di Bandung pada tahun 1810 saat Daendels mengatur penempatan kaum Tionghoa di kampung-kampung di Bandung, Cianjur, Sumedang, dan Parakanmuncang untuk mendongkrak ekonomi setempat. Kompeni tak bisa menampik realita bahwa keberadaan etnis Cina diperlukan untuk menggenjot roda perekonomian. Kedatangan besar-besaran terjadi pada saat Perang Diponegoro pada tahun 1825. Mereka kemudian bermukim di kawasan yang sekarang disebut dengan Jalan Suniaraja dan Jalan Pecinan Lama.
Mayoritas pendatang etnis Cina bekerja sebagai pedagang dan pekerja kereta api, sehingga kehidupan mereka terkonsentrasi di kawasan Pasar Baru dan Stasiun Kereta Api. Hm, kalau dilihat-lihat kondisi sekarang, memang masih kelihatan ya. Kawasan Bandung Tengah tersebut didominasi dengan pertokoan. Pecinan Bandung kemudian berkembang pesat pada tahun 1905.
Setiap pecinan dipimpin oleh seorang wijkmeester (semacam kepala kampung). Untuk pecinan Bandung, wijkmeester dipegang oleh Tan Nyim Coy untuk distrik Citepus dan Thung Pek Koey untuk distrik Suniaraja. Keduanya dipimpin oleh seorang Liutenant bernama Tan Djoen Liong (menggantikan Tan Hai Liong / Chen Hai Liong, ayahnya, yang menjadi Liutenant sebelumnya).
Saat terjadi peristiwa Bandung Lautan Api (1946), kios-kios di Pasar Baru ikut terbakar. Kaum Tionghoa pun berpencar hingga ke Tegalega, Sudirman, Kosambi, dan Cimindi, sehingga pecinan pun meluas dan batas-batasnya menjadi semakin kabur. Itulah sebabnya kawasan pecinan di Bandung bersifat sporadis, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia dan Asia Tenggara yang benar-benar terkonsentrasi di satu kawasan.
Kami lantas melanjutkan perjalanan menuju Pabrik Kopi Aroma (Fabriek Koffie Aroma) yang ternyata sudah tersohor itu. Kuper banget gue. Pabrik kopi ini masih menempati rumah tuanya yang sudah didiami sejak 1930 di sudut Jalan Banceuy, begitu pun dengan cara pembuatannya. Ada dua macam kopi yang dibuat di Pabrik Kopi Aroma, yakni arabica dan robusta.
Fabriek Koffie Aroma didirikan oleh, tak lain dan tak bukan, seorang Tionghoa bernama Tan Houw Siaw. Biji kopi arabica dan robusta disimpan selama masing-masing 5 dan 8 tahun! Hal ini dilakukan untuk menghilangkan beberapa sifat buruk kopi, seperti kandungan kafein dan asamnya. Sehingga, kopi racikan Fabriek Koffie Aroma aman dikonsumsi untuk lambung.
Hasil produksi Pabrik Kopi Aroma dipasarkan di beberapa toko dan kedai kopi yang ada di Bandung, termasuk Warung Kopi Purnama yang nanti juga akan disambangi. Konon, Kopitiam Oey juga memasok komposisi kopinya dari Pabrik Kopi Aroma ini lho. Hm, tapi sayang nih, kami datang saat pabrik sedang tutup, padahal gue pengen banget melihat langsung proses pengolahan kopinya dan mendengarkan sang pemilik menuturkan ceritanya. Lain kali gue atur waktu sendiri deh buat berkunjung ke Pabrik Kopi Aroma.
Lepas dari Pabrik Kopi Aroma, kami berjalan menyusuri Jalan Pecinan Lama. Rumah-rumah toko kuno bergaya khas Tiongkok berdiri dalam kesuraman di sepanjang sisi jalan. Catnya sudah terkelupas, warnanya sudah kusam, dan sepertinya tak lagi ditempati. Kondisi lingkungan sekitar pun tak dapat menutupi kekurangan itu, malah memperburuk keadaan dengan suasana kumuhnya. Jauh berbeda dengan Pecinan Singapura yang pernah gue kunjungi sebelumnya. Bersih, rapi, terawat, dan berwarna!
Ah, andai saja pemerintah dan dinas pariwisata setempat lebih mempedulikan kebersihan kawasan-kawasan tua seperti ini, pecinan Bandung mungkin bisa menjadi objek wisata alternatif.
Rombongan kemudian berbelok ke kiri pada persimpangan, masuk ke Jalan Alkatiri.
Tunggu. Jalan “Alkatiri”?
Nama “Alkatiri” tersebut sangat tidak bernuansa Tiongkok banget ya. Ya, Jalan Alkatiri ternyata merupakan kawasan Kampung Arab yang ada di Bandung. Wah, ada apa saja ya di sana? Sejarah apa lagi yang akan kami kupas? Temukan jawabannya pada cerita selanjutnya!
Kayaknya di setiap kota di Indonesia ini selalu ada Pecinan ya dan umumnya bangunan di sana itu tua-tua. Kalau untuk urusan pelestarian bangunan tua, kayaknya pemerintah belum tergerak deh soalnya kan umumnya bangunan-bangunan tua itu bukan aset pemerintah. Apalagi di jaman serba sulit kayak gini, ngeluarin duit untuk merehab bangunan kayaknya lebih berat daripada buat bayar cicilan, hahaha. 😀
Iya. Memang tidak dipungkiri merawat bangunan tua itu membutuhkan modal yang besar. Sementara masyarakat kita sendiri belum berminat dengan jenis pariwisata sejarah seperti ini.
Sejak pertama kali napas kolonial masuk ke negeri ini, kaum Tionghoa sudah turut serta jadi penggerak di bidang ekonomi, ya. Dan dengan membaca ini, ternyata denyut ekonomi Tionghoa tidak hanya merambah daerah pesisir saja, bahkan pada kota dataran tinggi seperti Bandung pun, Pecinan sudah menggoreskan sejarahnya dalam bidang ekonomi dan kultur 🙂
Keren! Penjelasannya mantap, fotonya juga ciamik! Saya tunggu cerita keliling-keliling yang lainnya, Mas! Senang rasanya bisa ketemu blog yang penulisnya juga suka bangun-bangunan tua dan cerita sejarah di baliknya, hehe.
Pada awalnya kaum Tionghoa juga kurang berminat dengan Bandung karena saat itu masih berupa perkebunan. Bandung itu terbilang kota yang baru jika dibandingkan kota2 lain di Indonesia.
Makasih apresiasinya, bro. Jadi terus semangat untuk menulis dan bertualang 🙂
Siap, sama-sama!
ada juga ya tempat tempat seperti itu di Bandung. menyesal dulu tidak banyak eksplore.
Menurutku di setiap kota besar pasti ada, bro. Malah ini lokasinya di tengah kota lho. Nanti eksplor lagi ya 🙂
siap! lapor2 lagi yaaa
kemarinn lewatt mesjid ituu, pad jalan kaki dari museum asia afrika mau ke BIP hehehe
nemu Kopi Aroma juga, tapi tutuuoo syebeel :((
Hah? Dari Museum Asia-Afrika ke BIP kan jauh gilak! Lo lagi on diet? :p
[…] Baca juga cerita sebelumnya: Menjejak Sisa-Sisa Pecinan Bandung […]
Baru tau kalo orang2 cina itu juga kerja di kereta api 🙂
Aku pun. Mudah-mudahan sumbernya memang kredibel 😀
Btw aku ada loh turunan Arab dari kakek buyut 😀
ah itu cakuenya bikin laper deh…
Masak? Tapi muka lo nggak ada arab-arabnya 😀
Nanti kalau ke Bandung kita makan cakue bareng deh.
[…] bahwa Kopitiam Oey melayani pembelian bubuk Kopi Aroma. Nah, di sini gue membuktikan bahwa Fabrik Koffie AROMA Bandung yang gue sambangi beberapa hari lalu benar mensuplai kopinya ke Kopitiam Oey ini […]
[…] juga perlu lebih ditata, dibersihkan, dirawat, sehingga lebih terkonsep. Misalnya adalah kawasan Pecinan Bandung. Agar lebih menarik, kawasan ini perlu dibersihkan dan dihias lagi, mungkin dengan dibangun semacam […]
[…] uang, dan tenaga. Contoh: Balai Kota, Jalan Braga, Jalan Asia-Afrika, Alun-Alun, Masjid Raya, dan Pecinan Bandung dapat lo kunjungi dalam satu rangkaian karena berada di satu area […]
Mas ikut bareng dong kalo main lagi sama aleut
Aku udah nggak pernah lagi sih haha, tapi nanti dikabari
Klo ke Bandung lg, ajakin aku kesana ya beb. Awas kalo gak
hahaha siap!
Sejak jaman dahulu etnis Tionghoa memang menjadi bagian dari sejarah Indonesia. tapi masih ada aja yang benci etnis ini. Saya pribadi memang selalu tertarik mempelajari sejarah berbagai etnis di nusantara sihh.. dan Bandung justru yang belum pernah saya telusuri memang.
Nice post mas.
Nah, coba yang lain juga berpikir sama kayak kamu hahaha. Etnis Tionghoa itu udah jadi bagian bangsa Indonesia, kita merdeka juga mereka ikut kontribusi kok.
Sini sini ke Bandung, kita blusukan 😀
Andai kemarin punya waktu lama di bandung..blm sempet keliling kawasan pecinaan bandung
Kemarin kapan nih mas? Nggak berkabar 😦
[…] ceritanya di: Menjejak Sisa-Sisa Pecinan Bandung dan Antara Pecinan dan Kampung Arab […]