
Sebagai traveler yang lebih suka berpetualang di antara hutan beton perkotaan, gue memang jarang banget mengembara di hutan sungguhan, padahal separuh dari wilayah daratan Indonesia adalah hutan. Pengalaman gue bisa dihitung jari, dan semuanya adalah hutan di gunung.
Secara total, ada 5 pengalaman: Gunung Salak di Bogor, Gunung Prau di Dieng, Gunung Merbabu, Gunung Papandayan, Gunung Cikuray di Garut, dan Gunung Purba Nglanggeran di Gunungkidul. Pas SMA pernah ikut kegiatan pecinta alam lalu kami diajak praktek mountaineering sekaligus nenda di salah satu bukit di Jogja, tapi nggak tahu nama tempatnya.


Dari daftar di atas, gue cuma akan share 4 pengalaman aja yang menurut gue paling banyak diingat dan banyak dokumentasinya.
Gunung Prau (dan Puncak Sikunir), Dieng
Sebelum cerita soal pengalaman gue di Dieng, mau ngobrol singkat dulu soal pengalaman gue di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Saat itu akhir 2013 atau awal 2014, gue mengikuti kegiatan outdoor training dari sebuah perusahaan retail nasional di Jakarta. Masing-masing trainee tidur di dalam bivak dengan lokasi berbeda-beda.

Baru sebentar ditinggal di dalam bivak, gue sudah berseru memanggil panitia memecah keheningan malam. “Cakrawala, cakrawala, cakrawala,” teriak gue. Alasannya simpel, korek api gue nggak bisa nyala 😂 Lha itu jadi salah satu alasan yang dicontohkan buat memanggil tim panitia, ya gue lakukan.
Sayangnya nggak ada dokumentasi buat pengalaman ini. Atau mungkin ada, tapi di tangan panitia dan perusahaan.
Baca juga: Camping di Bukit Alesano, Bogor


Beberapa bulan kemudian, gue nanjak perdana di Gunung Prau, Dieng, Jawa Tengah, bersama komunitas BACKSTRIP yang gue bentuk sendiri. Syukurlah di dalam grup sudah ada beberapa mas dan mbak yang punya pengalaman naik gunung. Gimana rasanya? Capek, tapi seneng karena ada banyak temen, bisa menghirup udara segar, dan menikmati pemandangan yang membuat mata terbelalak.
Bersyukur banget temen-temen di Backstrip adalah orang-orang yang memang suka naik gunung untuk bertemu dengan alam, nggak sekadar banci konten yang nyari bahan. Mereka mengingatkan untuk tidak meninggalkan sampah di gunung dan membawanya kembali ke bawah. Nah, komunitas positif seperti ini penting banget perannya untuk menjaga lingkungan kita.

Sekitar 6 tahun kemudian, gue menjejak Puncak Sikunir yang belum sempat disambangi di 2014 silam.
Gunung Merbabu, Jawa Tengah
Kayaknya ini pengalaman terbesar gue bersinggungan dengan hutan. Sebagai gunung tertinggi yang pernah gue daki, durasi perjalanannya pun paling lama. Hutan yang ditemui pun lebih beragam, termasuk padang sabana 😍

Selain sebagai obyek foto Instagram kamu, hutan punya banyak peran untuk bumi kita. Ia adalah supermarket alam, tempat kita mengambil beragam makanan dan minuman yang kita butuhkan. Ia adalah asuransi jiwa, yang menjamin kelangsungan hidup dan mata pencaharian masyarakat di sekitarnya. Ia adalah pahlawan, jawaban atas masalah perubahan iklim dan pelestarian lingkungan.
Semoga hutan-hutan kita seperti di Gunung Merbabu ini terus terjaga. Apalagi, luas wilayah hutan di Pulau Jawa kian menipis, padahal di pulau sempit inilah sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal.


Ngomong-ngomong, Merbabu juga gunung yang tingkat kesulitannya paling tinggi. Pas berangkat, kami melalui jalur sempit yang bersisian dengan jurang, sementara gue takut ketinggian. Pas pulang, kami melalui turunan berlumpur sehingga otot betis bekerja ekstra keras agar tidak tergelincir. Gue lebih suka medan berbatu-batu terjal dah daripada yang licin kayak gini.
Gunung Cikuray, Garut
Meski bukan gunung tertinggi yang pernah gue daki, tapi tingkat lelahnya paling tinggi 😂 Medan pendakiannya curam dan minim bonus.

Saat kami dalam perjalanan mendaki, kami mendapat kabar bahwa ada area hutan yang baru saja terbakar, menyisakan kepulan asap yang tampak di jalur pendakian. Kemungkinan karena cuaca panas, memang saat itu puncak musim kemarau, berkebalikan dengan Gunung Merbabu. Kalau di sana gue basah kuyup, di Cikuray gue berlapis debu.
Nah, hutan aja bisa terbakar karena sebab-sebab alami, jadi tolong nggak usah ditambah-tambahi dengan sengaja membakar hutan. Hutan hujan tropis di Indonesia itu terbesar ke-3 di dunia setelah Brazil (Amazon) dan Kongo lho. Sayangnya, dalam 5 tahun terakhir luas hutan kita hilang sebanyak 3,5 Pulau Bali! Setengah dari deforestasi kita disebabkan oleh industri pulp & kertas dan kelapa sawit, sekitar 28 juta hektar hingga 2030.

Gunung Purba Nglanggeran, Gunungkidul
Karena cuma gunung kecil (atau malah lebih tepat disebut bukit?), pengalaman di Gunung Purba Nglanggeran memang nggak serimba 4 pengalaman sebelumnya. Yang unik, temen jalan gue saat itu, mas Hery, mengaku bahwa ada makhluk tak kasat mata yang berpapasan dengan kami. Perempuan, memakai baju adat jawa, katanya. “Tapi dia nggak jahat,” mas Hery menambahkan.
Selain gunung purba, di Nglanggeran juga ada Embung Nglanggeran yang menjadi sumber air bagi masyarakat sekitar.

Hutan memang lebih dari sekadar kumpulan pepohonan, ia adalah sebuah ekosistem. Keberadaannya krusial untuk segenap makhluk bumi. Nggak hanya kita manusia, namun juga hewan dan tentunya tumbuhan itu sendiri. Menjaga kelestarian hutan adalah usaha utama kita melawan perubahan iklim.
Online Gathering yang ke-2 dari #EcoBloggerSquad (EBS) 2023 kemarin Senin, 29 Mei 2023, membuat gue semakin sadar akan pentingnya hutan, seberapa besar kerusakan yang sudah kita buat, dan cara-cara apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkannya. Mas Tian dari @hutanituID (HII) menyampaikan materi dengan sangat baik. Tema yang diangkat di gathering kali ini adalah Peran Komunitas untuk Menjaga Hutan dalam Mitigasi Perubahan Iklim.


Mbak Azizah dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pun melanjutkan dengan memberitakan kabar baik soal Gambo, kain tradisional yang menggunakan pohon gambir sebagai pewarna alaminya. Produk ini dikerjakan oleh warga setempat untuk dijual dan menjadi sumber penghasilan. Dari petani, ke lemari.
Ada 2 contoh besar tentang aksi nyata masyarakat kita dalam menjaga hutan yang dipaparkan. Pertama, ada Pak Nasiun di Desa Air Tenam, Bengkulu Selatan, yang menjaga 1.677 hektar hutan pohon duren di desanya. Siapa sangka, ternyata setiap pohon duren mampu menyerap 1,42 ton CO²/tahunnya! Gue memang bukan penyuka buah duren, tapi fakta ini membuat gue sedikit lebih mencintai pohonnya 😅 Kedua, ada Ibu Sumini yang aktif melakukan patroli untuk 251 hektar hutan di desa Damaran Baru, kab. Bener Meriah, bersama Lembaga Pelindung Hutan Kampung Mpu Uteun. Hutan ini merupakan bagian dari 1 juta hektar hutan di kawasan Leuser, Aceh.


Kita tentu tidak harus menunggu bisa melakukan hal besar seperti 2 contoh di atas untuk mulai #JagaHutan. Dimulai dari hal kecil, kita #BersamaBergerakBerdaya #UntukmuBumiku. Cari teman-teman sefrekuensi atau komunitas biar bareng-bareng menjaga lingkungan, sesimpel nggak kebiasaan nyampah pas jalan-jalan. Gue sendiri ikut komunitas J5 (transportasi umum), traveler, dan blogger. Nggak usah minder kalau belum merasa punya banyak ilmu atau pengalaman. Ilmu bisa dipelajari nanti, tapi aksi diperlukan dari kini. Keep learning by traveling~














Iya, sedih sih liat kondisi hutan di Indonesia makin hari makin mengkhawatirkan. Gara-gara industri minyak sawit yang minim regulasi, akhirnya banyak hutan yang dipapas dan ubah jadi perkebunan. Akhirnya generasi selanjutnya yang musti menanggung bencana dan berbagai huru-hara yang terjadi akibat global warming.
Tapi yang lebih ngeselin lagi, udah mah hutan digundulin segitu banyaknya, MINYAK GORENG MAH TETEP MAHAL. Kzl